You Are My Soft Spot - Bab 190 Aku Percaya Seratus Persen Padamu (3)

James He mengambil sumpit dan menyodorkannya pada Tiffany Song. Melihat ekpresi keenganan si wanita, ia membujuk lembut: “Kalau pun tidak nafsu, tetaplah makan sedikit. Jangan menyiksa dirimu sendiri.”

Tiffany Song menerima sodoran sumpit dan makan dengan patuh. James He mengamati gerak-geriknya ketika makan. Tiffany Song sudah menerima banyak sekali cobaan sampai air mata terakhirnya pun sudah menetes. Ketahanan hatinya sampai detik ini sungguh membuat kagum.

Pada saat bersamaan, James He sadar Tiffany Song menyimpan lukanya rapat-rapat di hati biar tidak menangis di hadapannya. Semakin Tiffany Song menahan luka, ia semakin khawatir. Ia khawatir Tiffany Song pada akhirnya tidak bisa menahan semua luka ini dan runtuh berkeping-keping. Kalau itu terjadi, pikiran untuk bunuh diri bisa saja melintas di benak wanita itu.

Tiffany Song hanya bisa makan beberapa suap. Ia menaruh sumpit di kotak makan lalu menatap sel penjara dengan gundah.

“Tiffany Song, makan sedikit lagi.” James He menyendokkan satu daging sapi dan mengantarkannya ke mulut si wanita. Yang disuapi menggeleng, “Tidak bisa lagi. Tuan He, terima kasih sudah datang menjengukku.”

James He bisa membaca maksud dari perkataan ini. Tiffany Song tengah berusaha memintanya pulang. Si pria menaruh sumpit dan daging di kotak makan, lalu berujar lembut: “Menangislah kalau kamu ingin menangis. Jangan ditahan-tahan.”

“Aku tidak apa-apa.” Tiffany Song menunduk. Ia sudah merasa cukup senang bisa dikunjungi seseorang. Di dunia ini setidaknya masih ada satu orang yang simpati padanya. Tiffany Song berkata lagi, “Pergilah kamu, tempat ini tidak cocok untuk kamu berlama-lama singgahi.”

James He menutup kotak makan dan menaruhnya di sisi ranjang penjara, “Kotak makan ini bisa menahan panas kira-kira sampai besok pagi. Kalau kamu lapar, kamu makan lagi ya. Besok aku akan kemari lagi.”

Tiffany Song terharu dengan perhatian pria ini. Ia mengembalikan mantel James He, namun ditolak. Pria itu berkata: “Aku akan minta polisi untuk berikan kamu selimut baru. Jangan pikirkan apa pun ya, kamu tunggu saja sampai aku bebaskan.”

Tiffany Song terhenyak menatapnya: “Mungkin karena kamu terlalu mirip dengan dia.”

James He bangkit berdiri dan berjalan keluar. Langkah kakinya semakin lama terdengar semakin pelan, lalu pintu dikunci. Tiffany Song memeluk mantel pemberiannya namun tidak merasa hangat lagi. Setengah jam kemudian, jeruji besi kembali dibuka. Polis penjaga lagi-lagi memanggil: “Tiffany Song, keluar.”

Yang dipanggil melipat mantel dengan rapi, lalu berjalan keluar sambil memeluknya. Polisi penjaga mengikuti Tiffany Song dari belakang. Mereka melintasi lorong jalan yang panjang dan gelap. Angin malam bertiup kencang sampai membuat Tiffany Song mengencangkan pelukannya pada mantel.

Setelah berjalan beberapa menit, mereka akhirnya tiba di ruang interogasi. Polisi penjaga membuka pintu dan di dalam sudah ada seorang wanita. Melihat ketibaan mereka, Stella Han bangkit berdiri dan memegangi lengan sahabatnya, “Tiffany Song, bagaimana keadaanmu? Kamu baik-baik saja kan?”

Tiffany Song tidak menangis melihat sahabatnya datang. Yang menangis malah Stella Han sendiri. Dengan terisak, Stella Han berujar lagi, “Maaf, kami untuk sementara belum berhasil membebaskanmu dengan jaminan. Kamu jangan takut, Jordan Bo sedang terus mencari cara. Kamu akan segera keluar dari tempat menjijikkan ini kok.”

Tiffany Song memegang balik lengan Stella Han. Mendengar kata “Jordan Bo sedang terus mencari cara”, ia berpikir pesimis. Ia tidak boleh berharap yang tinggi-tinggi lagi, paham kan? Tiffany Song menggeleng, “Tidak apa-apa. Tidak ada yang tidak baik kok di penjara. Ada makanan, ada kasur, kamarnya sendirian lagi.”

Stella Han kaget sahabatnya serileks ini bak sedang liburan. Ia tidak kuasa menahan tawa, “Dasar, aku khawatir setengah mati sama kamu, kamu malah masih bercanda-bercanda. Sini duduklah.”

Setelah memperhatikan dengan lebih seksama, Stella Han sadar tangan Tiffany Song dingin dan wajahnya pucat. Ia tidak serikels yang ia bayangkan. Stella Han menarik kursi untuk dirinya sendiri, lalu bercerita: “Barusan rumah sakit mengabarkan operasi Angelina Lian sudah selesai. Tengkorak belakangnya retak dan dapat tiga puluh jahitan. Tulang rusuknya patah dua dan salah satunya menusuk paru-paru, jadi bagian paru-paru yang rusak harus dipotong. Selain itu, tangan kiri dan lutut kanannya patah. Dia sampai sekarang belum siuman juga. Dokter bilang ia kehilangan banyak sekali darah jadi jaringan otaknya rusak. Tidak ada yang tahu apakah ia akan siuman atau tidak, yang jelas kalau pun siuman, ia mungkin harus bed rest seumur hidup. Sungguh tega dia mempermainkan nyawanya sendiri.”

Tiffany Song tidak peduli dengan keadaan terkini Angelina Lain. Pada momen ketika wanita itu jatuh di bawah, ia sudah menebak akhiran yang seperti ini. Tiffany Song menegaskan lagi status tidak bersalahnya: “Aku tidak mendorong dia, aku berani sumpah.”

“Tiffany Song, aku percaya denganmu. Aku sekarang pengacaramu. Saksi dan bukti material yang ada sekarang sangat memberatkan kamu. Ini diperparah dengan kondisi Angelina Lian yang belum siuman juga, sebab pengadilan biasanya berpihak pada yang lemah. Kesimpulannya, peluang kita untuk bisa menang dalam kasus ini super tipis.” Wajah Stella Han jadi semakin serius, “Sebelum kejadian itu terjadi kalian kan ngobrol di bordes tangga lantai dua, itu ngobrolin apa? Coba cerita padaku, aku akan coba pikirkan apa kita bisa susun strategi dari ceritamu.”

Tiffany Song menaruh kedua tangannya di lutut dengan posisi terkepal. Angelina Lian saat itu terus menerus mengajaknya bicara. Ia berusaha menghindar berulag kali, tetapi terus dihalangi. Ia lama kelamaan jadi kesal. Ketika ia ingin menghindar untuk yang terakhir kalinya sebelum insiden terjadi, ia mendengar Angelina Lian berucap dingin: “Kakak Ipar Keempat, aku belum keburu memberikanmu hadiah tadi.”

Tiffany Song saat itu sudah tidak sabaran. Ia menanggapi ketus: “Aku tidak butuh hadiahmu. Kamu beri aku jalan saja sudah cukup.”

“Loh, mana bisa? Ini hadiah aku siapkan sepenuh hati. Kalau kamu tidak mau terima, aku akan sangat kecewa,” balas Angelina Lian.

Tiffany Song menatap si adik ipar dengan waspada. Ia tidak paham apa yang sedang ingin dilakukan wanita itu. Ia berusaha menutup pembicaraan: “Angelina Lian, saat ini aku tidak punya waktu untuk berbicara denganmu. Kalau kamu mau beri aku hadiah, beri nanti sesudah para tamu pulang.”

“Ih, mana bisa! Hadiah ini harus aku berikan padamu saat ini juga. Oh ya, hadiah ini ada hubungannya dan Kakak Keempat loh.” Angelina Lain tersenyum mencurigakan.

“Kamu ini sebenarnya mau apa?” Tiffany Song sudah sangat risih dengannya. Angelina Lian sudah mengajaknya berbincang hal-hal tidak penting tanpa poin utama.

“Kakak Ipar Keempat, ayo bertaruh. Kita bertaruh Kakak Keempat percaya aku atau kamu, juga bertaruh di hatinya siapa yang paling penting. Berani tidak kamu?” Ketika mengatakan ini, Angelina Lian sudah mencengkeram lengan Tiffany Song.

Yang dicengkeram saat itu tidak berpikir macam-macam. Ia hanya merasa adik iparnya hari ini lagi gila. Ia merespon: “Mengapa aku harus bertaruh denganmu? Aku istrinya, kamu adiknya, dua hal ini kan tidak saling bersinggungan. Lepaskan tanganmu, aku mau turun.”

“Mengapa tiba-tiba tidak saling bersinggungan? Kamu akan segera lihat Kakak Keempat akan menelantarkanmu demi aku.” Angelian Lian tiba-tiba menarik pergelangan tangan Tiffany Song ke ujung tangga. Ia rasa saat itu si adik ipar sebenarnya ingin membuat dia jatuh. Ketika ia melawan sekuat tenaga, yang terjadi adalah Angelina Lian terpeleset dan jatuh.

Pada momen itu, Tiffany Song baru tahu “bertaruh” yang Angelina Lian maksudkan adalah bertaruh pakai nyawa dirinya sendiri.

“Ini jalan buntunya. Para saksi lihatnya aku yang mendorong dia, rekaman kamera CCTV juga begitu. Stella Han, tidak akan ada orang yang percaya dengan keteranganku. Kamu tidak akan bisa memecah jalan buntu ini,” tutur Tiffany Song putus asa. Ia sama sekali tidak menyangka Angelina Lian rela mengorbankan dirinya sendiri untuk merusak hubungan dirinya dengan si suami.

Stella Han mematikan perekam suara. Ia menanggapi: “Waktu Angelina Lian berucap yang kamu tadi ceritakan, ada tidak orang yang melihat kalian?”

“Tidak ada. Acara pernikahan dihelat di aula pertemuan, jadi semua pembantu juga sibuk bantu-bantu di sana. Di vila tidak ada orang,” geleng Tiffany Song. Waktu dikerumuni orang-orang, Tiffany Song tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya secara detail. Ia tahu tidak akan ada yang percaya padanya. Kalau ia cerita, ia akan dianggap sedang berkilah.

“Ia pasti sudah merencanakan ini semua dengan matang. Wanita ini sungguh nekat sampai tega menyakiti dirinya sendiri. Tiffany Song, kamu jangan khawatir. Aku pasti akan membantumu agar bebas dari tuduhan.” Meski mengucapkan kata-kata yang penuh optimisme, hati terdalam Stella Han sebenarnya tidak percaya diri sama sekali.

Bukti saksi ada, bukti material ada, Angelina Lian juga belum sadarkan diri. Kalau diputar di pengadilan, rekaman keterangan Tiffany Song sepertinya hanya akan dianggap omong kosong oleh hakim. Mereka tidak akan percaya dengan keterangannya, jadi jelas tidak akan berpihak pada Tiffany Song.

Satu-satunya solusi adalah mencari bukti saksi dan bukti material baru. Yang jadi masalah, dari mana ia bisa mencari bukti-bukti baru ini?

Pintu ruang interogasi tiba-tiba diketuk. Stella Han mendongak menatap gagang pintu, lalu mempersilahkan, “Masuk!”

Pintu dibuka dan seorang polisi cantik masuk sambil membawa nampan. Di atas nampan ada dua gelas berisi air hangat. Ia menyodorkan nampan itu di hadapan mereka berdua, lalu tersenyum ramah: “Pengacara Han, Nona Song, kalian haus kan pasti? Minum dululah baru diskusi lagi.”

Stella Han kebetulan memang kelelahan. Mereka sudah berbincang cukup lama dan ia sendiri sangat gelisah daritadi. Ia mengucapkan terima kasih dan meneguk air dengan cepat.

Tiffany Song juga kehausan. Si polisi cantik mengamati Tiffany Song meminum air dengan tatapan aneh, namun tatapan itu langsung disembunyikan. Setelah Tiffany Song selesai minum, ia mempersilahkan keduanya mengembalikan gelas ke nampan. Polisi cantik berujar ramah, “Aku isikan air lagi ya untuk kalian. Kalian kelihatannya sangat kehausan.”

Stella Han mengangguk mengiyakan. Begitu polisi cantik sudah keluar, ia melanjutkan percakapan: “Tiffany Song, Angelina Lian bisa memfitnahmu begini pasti ada motifnya. Kira-kira motif dia apa? Kalau kita tahu motif dia, kita bisa cari jalan keluar dari situ.”

Tiffany Song garuk-garuk kepala, “Ada beberapa hal yang aku tidak tahu harus dibicarakan bagaimana denganmu.”

“Memang itu apa sampai tidak bisa dibicarakan antarsahabat?”

“Sebenarnya aku curiga Angelina Lian bukan adik kandung Taylor. Aku pernah liat tatapan dia ke Taylor Shen bukan seperti tatapan seorang adik perempuan pada kakak laki-lakinya, melainkan tatapan seorang wanita pada pria yang ia cintai. Itu bukan hanya sekali, tapi berulang kali. Ia kali ini memfitnahku mungkin untuk mengakhiri hubunganku dengan Taylor Shen. Firasatku ini betul-betul kuat,” cerita Tiffany Song.

Mata Stella Han berbinar-binar. Ia berujar sumringah: “Asal kita bsia membuktikan Angelina Lian bukan adik kandung Taylor Shen, itu bisa kita jadikan motif dia memfitnahmu.”

“Misalnya aku salah dan mereka benar-benar kakak adik bagaimana?” Tiffany Song waktu itu melihat sendiri Angelina Lian mencabut rambut dan memberikannya pada Taylor Shen. Mereka keesokan harinya terbang ke Amerika sambil membawa sampel itu. Tidak ada orang yang mengutak-atik sampel rambut Angelina Lian. Selain itu, Karry Lian sebelumnya lagi juga sempat menukar sampel yang dipegang Stella Han. Itu berarti Karry Lian tahu bahwa Angelina Lian memang Tiara. Kepala panti asuhan pun memberi keterangan serupa.

“Untuk sementara kita bekerja berdasarkan firasatmu itu saja dulu, toh situasinya tidak akan lebih buruk dibanding situasi sekarang.” Stella Han tidak sabar segera bekerja. Ia bangkit berdiri dan pamit: “Tiffany Song, aku pulang dan menyusun taktik dulu. Kamu untuk semalam tinggalah di sini dulu, besok pagi Jordan Bo akan bebaskan kamu dengan jaminan.”

Tiffany Song ikut bangkit berdiri. Ia berujar dengan penuh rasa syukur: “Stella Han, terima kasih!”

“Sungkan apa pula denganku, kita kan sahabat baik.” Stella Han tergerak untuk memeluk Tiffany Song. Sambil memeluknya, ia berujar lembut: “Tiffany Song, jangan takut. Kami pasti akan bisa menolongmu.”

“Iya.” Tiffany Song mengangguk. Stella Han menatap Tiffany Song sekilas lalu berbalik badan dan pergi. Kalau saja ia tahu ini bakal jadi pertemuan terakhir mereka…… Ia pasti tidak akan pergi begitu saja.

Novel Terkait

Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Half a Heart

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
4 tahun yang lalu
Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Mi Amor

Mi Amor

Takashi
CEO
5 tahun yang lalu
Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
Someday Unexpected Love

Someday Unexpected Love

Alexander
Pernikahan
5 tahun yang lalu
My Tough Bodyguard

My Tough Bodyguard

Crystal Song
Perkotaan
5 tahun yang lalu
Awesome Guy

Awesome Guy

Robin
Perkotaan
4 tahun yang lalu