You Are My Soft Spot - Bab 204 Pikiran Kacau (2)

Membayangkan Taylor Shen bakal dikurung di ruang gelap, kemarahannya mereda. Ia pulang kerja awal-awal dan masak makanan sendiri demi merayakan momen ini. Ia pikir, Vero He pasti juga akan sangat senang.

Sungguh tidak disangka, dia tidak senang. Wanita itu bahkan bertanya apa semua ini ia yang dalangi.

Satu pertanyaan yang tidak punya maksud apa-apa langsung dianggap James He sebagai menyematkan gelar pembunuh di kepalanya. Baginya, itu sungguh tidak bisa diterima.

Semua orang boleh salah paham dan mengira itu dia yang dalangi, kecuali Vero He!

Ponsel di atas meja tiba-tiba berdering. James He berjalan ke meja dan mengecek sekilas identitas penelepon. Ia tidak mengangkat. Suasana hatinya kini sedang sangat kacau, siapa pun yang menganggunya kemungkinan bakal dijadikan tempat pelampiasan.

Ponsel terus berdering tanpa henti. James He dengan kesal mematikan ponsel biar bisa tenang. Ketika suasana ruang buku sudah tenang kembali, kekesalannya entah mengapa malah meningkat. Telepon rumah di ruangan itu tiba-tiba berdering. James He menghampirinya dan mengangkat dengan suara dingin: “Ada urusan apa?”

“Tuan Muda, ada dua polisi datang kemari, entah cari siapa.” Dari seberang terdengar suara Bibi Yun. James He melihat ke luar jendela. Langit saat ini masih belum gelap, namun ia tetap bisa melihat cahaya merah dan biru yang berkilatan dari mobil polisi.

“Baik, aku tahu. Layani dulu mereka sebagai tamu.” James He mematikan telepon. Ia menatap sekilas ponselnya, pada akhirnya meninggalkannya begitu saja dan keluar ruang buku.

Di lantai bawah, Vero He tengah memasak makan malam di dapur. Untuk menebus kesalahannya, ia mengurusi kocokan telur bekas peninggalan kakaknya biar jadi telur matang. Begitu mendengar sirine mobil ponsel yang mendekat, wanita itu kaget setengah mati. Piring yang ia pegang jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping. Telur yang ada di piring jelas ikut jatuh. Yang jadi masalah, minyak panas dari telur yang baru keluar teflon mengenai ujung kakinya. Itu pedih sekali.

Tanpa peduli luka di kaki, Vero He langsung berlari keluar dapur dan berdiri di depan pintu. Ia melihat dua orang personel polisi berjalan masuk. Ia terhenyak teringat sesuatu. Salah satu personel polisi itu adalah polisi yang menangkapnya sehabis menikah.

Polisi menyadari tatapan salah satu orang rumah padanya. Ketika mereka menoleh ke sumber tatapan, mata mereka berdua jadi bertemu dengan mata Vero He. Polisi yang dulu menangkap dia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi kaget atau apa. Ia malah senyum dengan “sambutan” dari si wanita.

Sekelebat perasaan heran muncul di hati Vero He. Kasus ia mendorong Angelina Lian waktu itu sangat panas, kemudian kantor polisi diledakkan pada hari yang sama. Ini salah satu polisi yang membawanya ke kantor polisi waktu itu. Ia tidak mungkin lupa pada dirinya. Ketika bertemu dengannya, si polisi setidaknya seharusnya kaget seperti ketika Taylor Shen dan Stella Han melihat dirinya. Mengapa dia setenang ini?

Lamunan ini tidak bertahan lama, sebab ia mendengar polisi berujar sesuatu pada Bibi Yun: “Mohon tanya, apa Tuan He ada di rumah? Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan dengannya.”

Si bawahan belum pernah melihat polisi datang ke rumah. Meski kaget, ia tetap bisa menampilkan raut tenang. Wanita itu bertanya: “Yang kamu tanya Tuan Besar He atau Tuan Muda He?”

“Tuan James He.” Polisi tidak tahu James He itu gelarnya apa di rumah ini.

“Silahkan tunggu sebentar, aku telepon Tuan Muda He untuk turun.” Bibi Yun tidak berani naik ke atas untuk memanggil James He. Vero He masih di bawah, ia khawatir dia tidak bisa menghadapi kedua polisi sendirian.

Vero He berdiri di depan pintu dapur. Hatinya bertanya-tanhya, mengapa polisi datang kemari mencari kakaknya? Kakak sudah bilang, penangkapan Taylor Shen sama sekali bukan dia yang dalangi.

James He akhirnya turun ke bawah. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan panjang yang digulung, jadi lengannya sendiri terlihat jelas. Di pergelangan tangan kiri, ia mengenakan jam tangan yang mewah dan tidak murah. Itu jam tangan yang diberikan Vero He padanya tiga tahun lalu ketika ia genap berusia 30 tahun. Sejak saat itu, pria itu jarang sekali melepasnya.

Vero He menghampiri kakaknya dan memanggil gelisah: “Kakak……”

James He melihat wajah pucat si adik. Ia mengelus-elus bahu wanita yang cemas ia akan diapa-apakan polisi itu. Sekali pun ia masih marah, yang terpenting sekarang adalah menenangkannya dulu, “Tidak akan terjadi apa-apa, jangan khawatir.”

Si pria menunduk. Melihat adiknya masih mengenakan sepatu hak tinggi dengan ujung kaki yang merah karena kena minyak panas, ia mengernyitkan alis. Pria itu lalu memerintah Bibi Yun: “Bibi Yun, ambilkan sendal rumah nona kemari.”

James He berujar “tunggu sebentar” pada kedua polisi. Ia memapah Veoro He duduk di sofa, lalu berjongkok di hadapannya dan melepaskan sepatu serta kaus kakinya. Ia mengamati luka di ujung kaki itu. Si pria kesal, “Kok kamu tidak hati-hati sih? Untung ini udaranya dingin. Kalau udaranya panas, bisa makin parah lukamu.”

Kedua mata Vero He terasa panas. Ia menunduk menatap James He yang berlutut di hadapannya. Saat marah, yang paling dikhawatirkannya tetap dirinya. Ia memanggil, “Kakak, kalian……”

Si kakak mendongak dan menggeleng, “Jangan khawatir, tidak akan terjadi apa-apa. Kedua polisi ini datang hanya untuk mengajakku berbincang biasa. Bibi Yun, sudah ambilkan sendal rumahnya belum?”

“Ini sudah, aku segera datang.” Si bibi berlari kecil menghampiri keduanya dan memberikan sendal rumah ke James He. Si pria membantu adiknya memakai sendal rumah, lalu memerintah asisten rumah lagi: “Bibi Yun, papah nona ke atas dan oleskan obat luka bakar ke lukanya.”

“Baik, tuan muda.” Bibi Yun memapah sang adik naik. Vero He menatap James He sebentar. Ia tenang-tenang saja, sepertinya memang tidak akan terjadi apa-apa. Ketika Bibi Yun memapahnya naik, ia bisa merasakan di belakangnya ada tatapan dua orang yang mengikuti.

Ketika mereka berdua sudah naik, Jame He berjalan menghampiri kedua polisi. Ia menyambut: “Maaf sudah membuat kalian menunggu lama. Mari duduk sini.”

“Ah, Tuan He tidak perlu sungkan, kami kemari hanya untuk berbincang biasa. Tuan He pasti sudah dapat kabar CEO Shen’s Corp, Taylor Shen, ditangkap karena dugaan pembunuhan kan? Saat diinterogasi, ia bilang ia mengambil sebuah mantel dari pemilik toko kecil. Mantel itu katanya punya kamu. Kasus ini berkaitan dengan kasus enam tahun lalu, tepatnya kasus Nona Song dipenjara karena mendorong Angelina Lian dari tangga, jadi kami kemari untuk menanyai detail kasus itu padamu,” mulai salah satu polisi.

James He mengernyitkan alis. Ia menatap sebentar bordes tangga lantai dua, lalu kembali menatap kedua polisi: “Aku waktu itu memang ada ke kantor polisi untuk menjenguk Tiffany Song. Melihat dia terus gemetar kedinginan, aku melepaskan mantelku dan memberikannya pada dia. Saat mau pulang, aku tidak mengambilnya balik. Memang ada apa? Waktu itu area penjara hancur lebur karena ledakan, masa sekarang mantelnya masih ada?”

“Benar, Tuan He, mantelnya masih ada. Mantel itu diambil oleh pemilik toko kecil. Mantel ini jugalah yang kami curigai sebagai alasan Taylor Shen membunuh si pemilik toko kecil,” jawab seorang polisi lainnya.

“Coba jelaskan,” pinta James He.

“Karena mantel ini, kami menyimpulkan ledakan malam itu bukan didalangi oleh geng gelap, melainkan oleh Taylor Shen dengan maksud mengeluarkan istrinya dari penjara. Waktu itu kami sama sekali tidak menemukan mayat Nyonya Song, jadi kami meyakini sebelum terjadinya ledakan si suami sudah menukar istrinya dengan orang lain. Ketika ia membawa istrinya bergegas pergi, mereka panik dan mantel itu jatuh di jalan. Momen ini dilihat oleh pemilik toko kecil, jadi Taylor Shen membunuhnya biar ia tidak cerita ke siapa-siapa soal itu,” urai polisi.

Dari border tangga lantai dua terdengar suara-suara gemerisik. Ketiganya mendongak. Mereka hanya bisa melihat sekilas sosok orang yang mengenakan pakaian rumah warna coklat.

James He kembali fokus ke pembicaraan. Ia tersenyum dingin: “Kalian menyelidiki kasus itu pakai imajinasi ya? Kok berani sekali bikin kesimpulan tanpa punya bukti?”

Kedua polisi terhenyak. Mereka tidak menyangka James He akan menanggapi begini. Si pria lanjut menyindir: “Ya oke, anggaplah semua kesimpulan kalian benar. Sekarang, aku mau tanya, kalian itu di kantor polisi kerja apa saja? Ada orang menaruh bom di kompleks kantor kalian, kok tidak ada satu orang pun yang sadar?”

Kedua polisi tidak tahu harus berkata apa. Mereka bangkit berdiri dan berjalan keluar tanpa pamit. James He itu orang yang bagaimana? Ayahnya seorang hakim besar. Di Kota Tong, keluarga He kuat dalam dunia bisnis, dunia polisi, maupun dunia ketentaraan. Mereka hanya berani datang untuk berbincang tanpa berani membawanya ke kantor polisi.

James He mengamati mobil polisi yang bergerak menjauh. Ia lalu menarik pandangannya dan menatapi bordes tangga lantai dua dengan pikiran kosong.

……

Vero He dipapah Bibi Yun ke kamar. Hatinya masih tidak kenang, jadi ia keluar dan ingin lihat-lihat kondisi kakaknya. Tidak disangka, ia malah mendengar percakapan macam itu.

Wanita itu tidak paham mengapa Taylor Shen sampai membunuh pemilik toko kecil. Pembicaraan kakaknya dengan polisi akhirnya menjawab pertanyaan itu. Membunuh orang untuk memusnahkan saksi, ternyata si pria itu memang bertindak begitu. Bodoh sekali dirinya terus berpikir Taylor Shen tidak mungkin bunuh orang.

Sepasang kaki Vero He lemas. Ia tidak sengaja menyenggol pohon bonsai di dekatnya, jadi timbullah suara gemerisik. Pembicaraan di bawah sekejap berhenti. Menyadari mereka berhenti karena mendengar suaranya, ia buru-buru balik kamar.

Hati Vero He sama sekali tidak tenang sesampainya di kamar. Ingatan-ingatan masa lalu bermunculan satu per satu bak dibawa ombak yang datang silih berganti. Ia lama-lama merasa berada di tengah kegelapan yang membuat orang sesak nafas. Betul, bagaimana bisa dia lupa. Anak mereka sendiri saja Taylor Shen tidak mau lepaskan, apalagi orang lain yang tidak ada hubungannya dengan semua kejadian? Apalagi orang lain itu bisa menghalangi jalan dia, dalam arti merusak nama baiknya.

Vero He meringkuk di ranjang dengan penuh rasa sakit. Kebencian yang sangat mandalam muncul dari lubuk hatinya. Benar, dia benci Taylor Shen. Ia benci semua kekejamannya, benci ia sudah menghancurkan semua hidupnya. Bodohnya, ia masih saja mencoba ingin mempengaruhi lagi hati si pria.

Saat dirinya berlari masuk rumah kediaman keluarga He dengan panik sampai belum lepas sepatu hak tinggi, saat dirinya menuduh kakak yang sudah memanjakannya lima tahun sebagai pembunuh, ia baru sadar ia kali ini dipengaruhi Taylor Shen lagi. Ia bahkan percaya pria itu polos, percaya pria itu tidak mungkin melakukan aksi criminal macam itu.

Lucu, sungguh lucu. Taylor Shen seorang ditangkap, pikirannya langsung kacau. Ia bahkan lupa penderitaan dan keputusasaan yang pria itu tinggalkan di hatinya.

Tidak peduli ia masih merupakan Tiffany Song atau sudah jadi Vero He, ia sama sekali tidak berubah. Ia tetap saja dipermainkan dan dikendalikan oleh Taylor Shen.

Vero He meringkuk pilu terus di ranjang. Tidak tahu berapa lama kemudian, di hadapannya muncul sosok bersendal hitam dan bercelana panjang. Ia mendongak dengan wajah gelisah.

Ia membuang nafas panjang, lalu menunduk dan mengelus wajah si wanita, “Vero He, kamu dengar semuanya?”

“Iya, aku dengar.” Vero He tidak buang muka. Meski matanya terlihat sangat bersedih, ia kali ini tidak ingin menyembunyikan perasaan.

“Bagimana pendapatmu?” tanya sang kakak tenang. Ia sekilas merasa tidak bisa menemukan semangat hidup wanita ini. Yang ada di hadapannya seperti orang yang mati segan hidup tak mau.

Vero He akhirnya membuang muka. Matanya penuh kemarahan dan ia menjawab keras, “Sungguh brengsek dia!”

“Vero He, berikan dia dan dirimu sendiri masing-masing satu kesempatan lagi. Dalami realitas sebenarnya kasus ini dan jangan terpengaruh oleh semua dugaanmu sekarang. Ingat baik-baik kata-kataku, aku hanya ingin kamu bahagia.” James He membuang nafas panjang. Ia tahu kata-kata polisi barusan sudah memberi petunjuk macam apa pada adiknya. Membunuh orang untuk menghilangkan saksi, ya kan? Kalau pun Taylor Shen melakukan itu, ia tidak mungkin melakukannya dengan sebodoh itu sampai meninggalkan mayat si korban begitu saja.

Masa ia bunuh orang dengan bawa pengawal pribadi, supir, dan lain-lain? Itu kan tuduhan yang sangat mengada-ngada. Kalau dia sebodoh itu, mana bisa ia sukses di Wall Street dulu?

James He diam saja soal kasus ini karena ia punya pertimbangannya sendiri. Polisi itu, saat melihat Vero He, sama sekali tidak gugup. Ia sepertinya sudah menyangka si wanita masuk hidup. Ini kan tidak rasional.

Vero He menggeleng. Ia dari dulu sudah tidak punya kesempatan untuk bahagia lagi. Kalau pun ia mau masuk neraka atau jurang, ia harus menarik Taylor Shen untuk ikut masuk.

“Kakak, aku paham betul apa yang aku lakukan. Kamu tenang saja, jangan khawatirkan aku.” Vero he bangkit berdiri dengan tatapan mata yang lebih segar. Ia sudah tidak terlihat lemah dan menyedihkan, malahan jadi kuat. Jalan yang selalu ia ragukan sekarang sudah tidak ada. Ia akhirnya tidak ragu lagi, tidak mondar-mandir lagi.

Ia membuang nafas panjang, lalu menunduk dan mengelus wajah si wanita, “Vero He, kamu dengar semuanya?”

“Iya, aku dengar.” Vero He tidak buang muka. Meski matanya terlihat sangat bersedih, ia kali ini tidak ingin menyembunyikan perasaan.

“Bagimana pendapatmu?” tanya sang kakak tenang. Ia sekilas merasa tidak bisa menemukan semangat hidup wanita ini. Yang ada di hadapannya seperti orang yang mati segan hidup tak mau.

Vero He akhirnya membuang muka. Matanya penuh kemarahan dan ia menjawab keras, “Sungguh brengsek dia!”

“Vero He, berikan dia dan dirimu sendiri masing-masing satu kesempatan lagi. Dalami realitas sebenarnya kasus ini dan jangan terpengaruh oleh semua dugaanmu sekarang. Ingat baik-baik kata-kataku, aku hanya ingin kamu bahagia.” James He membuang nafas panjang. Ia tahu kata-kata polisi barusan sudah memberi petunjuk macam apa pada adiknya. Membunuh orang untuk menghilangkan saksi, begitu? Kalau pun Taylor Shen melakukan itu, ia tidak mungkin melakukannya dengan sebodoh itu.

Masa ia bunuh orang dengan bawa pengawal pribadi, supir, dan lain-lain? Itu kan tuduhan yang sangat mengada-ngada. Kalau dia sebodoh itu, mana bisa ia sukses di Wall Street dulu?

James He diam saja soal kasus ini karena ia punya pertimbangannya sendiri. Polisi barusan, saat melihat Vero He, sama sekali tidak gugup. Ia sepertinya sudah menyangka si wanita masih hidup. Ini kan tidak rasional.

Vero He menggeleng. Ia dari dulu sudah tidak punya kesempatan untuk bahagia lagi. Kalau pun ia mau masuk neraka atau jurang, ia harus menarik Taylor Shen untuk ikut masuk.

“Kakak, aku paham betul apa yang aku lakukan. Kamu tenang saja, jangan khawatirkan aku.” Vero he bangkit berdiri dengan tatapan mata yang lebih segar. Wajahnya sudah tidak lemah dan menyedihkan, malah berubah kuat. Jalan yang selalu ia ragukan sekarang sudah lenyap. Ia akhirnya tidak ragu-ragu dan maju-mundur lagi.

Novel Terkait

Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
My Charming Lady Boss

My Charming Lady Boss

Andika
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Pernikahan Kontrak

Pernikahan Kontrak

Jenny
Percintaan
4 tahun yang lalu
Pergilah Suamiku

Pergilah Suamiku

Danis
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
3 tahun yang lalu
Loving Handsome

Loving Handsome

Glen Valora
Dimanja
3 tahun yang lalu
 Habis Cerai Nikah Lagi

Habis Cerai Nikah Lagi

Gibran
Pertikaian
4 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu