You Are My Soft Spot - Bab 250 Hati Ini Tidak Pernah Berubah

Vero He berbaring di ranjang. Mau menghadap kanan, atas, ataupun kiri, ia tetap tidak bisa tidur. Bayangan gambar bergerak yang muncul di ponsel terus terbayang di benaknya, lagu “The Phantom of The Opera” juga terus terngiang di telinga. Ia mengantuk, tetapi akhirnya malah jadi tidak mengantuk. Wanita itu memutuskan turun dari ranjang dan pergi ke lantai bawah.

Lantai bawah sangat sepi, satu-satunya cahaya yang ada di sana adalah cahaya lampu kekuningan di tengah ruang tamu. Vero He memasuki dapur, lalu mengambil sekaleng bubuk susu dari lemari. Ia membuat segelas susu, lalu meminumnya sembari bersandar pada furniture masak.

Tiba-tiba ada cahaya mobil yang masuk ke dapur sampai si wanita menyipitkan mata. Sebuah Volvo putih terparkir di parkiran, lalu Angela He turun dari sana dan melangkahkan sepatu hak tinggi ke vila. Meski sudah berusaha meringankan langkah, namun suaranya masih tetap terdengar kencang berhubung malam super sunyi.

Vero He kembali membuat segelas susu. Ketika menyantapnya, ia melihat Angela He tengah berganti sepatu di lorong masuk vila. Di bawah cahaya lampu lorong yang otomatis menyala tiap ada orang, rambut wanita itu terlihat bersinar-sinar. Meski begitu, ia tidak bisa melihat raut wajahnya dengan jelas.

“Angela He, lembur di kantor ya?” tanya Vero He setelah bergegas ke ruang tamu.

“Astaga!”

Angela He memegangi jantung saking kagetnya ada suara yang tiba-tiba. Wanita itu refleks mengangkat kepala dan mengecek siapa yang memanggilnya. Setelah memastikan itu bukan orang yang aneh-aneh, ia membuang nafas lega dan bertanya balik, “Sudah sangat malam, kok kamu belum tidur?”

“Tidak bisa tidur, jadi ini minum susu sebentar. Kamu mau dibuatkan segelas?” tawar Vero He sambil mengangkat gelas yang dipegang. Wanita itu lalu kembali ke dapur dan menyalakan lampunya.

Cahaya lampu dapur yang kekuningan memberi kesan yang lembut pada Vero He. Angela He menghampirinya, lalu menerima sodoran gelas begitu susu jadi. Ini bubuk susu yang ia bawa dari Selandia Baru. Aromanya kental, bahannya pun alami dan tidak seperti bubuk susu dalam negeri yang sudah ditambahi zat buatan macam-macam.

Mereka berdua duduk di kursi tinggi dapur. Segelas susu ini membuat Angela He terkenang masa lalu, “Hari-hariku di Selandia Baru mungkin hari-hari yang paling membahagiakan hidupku. Sederhana, ceria, tidak ada kekhawatiran sama sekali. Setiap pagi aku terbangun oleh suara hewan. Kalau aku menatap luar jendela, di kejauhan sana bakal ada padang rumput luas yang tidak berbatas. Di atas padang rumput itu, ada kambing, sapi, kuda dan hewan-hewan lain berjalan kesana kemari. Langit pun selalu biru, udara yang dihirup juga sangat segar. Tinggal di sana, aku merasa begitu nyaman.”

Vero He mendengarkan dengan seksama cerita sang adik. Ia jadi ikut terbayang suasana di sana. Ini membuat suasana hatinya yang tidak begitu oke jadi agak lebih baik. Ia menanggapi, “Mendengar ceritamu ini, aku jadi kepingin kesana.”

Angela He tertawa, “Ayo! Nanti saat kamu sudah tidak sibuk, kita pergi ke sana sebulan. Kamu pasti akan jatuh cinta dengan suasana di sana.”

“Oke. Tunggu aku tidak sibuk, aku ajak kamu ke sana. Kamu yang bawa uangnya ya! Kita bakal berpetualang sepuasnya nanti,” ledek sang kakak.

Keduanya berbincang seru di sana. Vero He menyadari, terlepas dari konflik di antara mereka tujuh tahun yang lalu, Angela He punya banyak kelebihan. Mungkin adiknya itu dulu masih terlalu muda dan sering dimanja, jadinya punya kecenderungan untuk bersikap egois dan mau menang sendiri. Kalau tidak bisa didapat maka harus dipaksakan, begitu mungkin pikir Angela He dulu.

Sekarang, melalui berbagai pembelajaran hidup yang terus menerus datang, Angela He sudah tumbuh jadi seorang wanita yang kuat dan cerdas. Siapa pun bakal dibuat terpesona olehnya.

Setelah menghabiskan susu, Vero He teringat pemandangan yang tadi siang terpampang di depannya. Ia memulai cerita, “Angela He, waktu aku pergi inspeksi, aku melihat Wayne Shen dan Jennifer Li. Mereka kelihatannya tinggal serumah.”

Tangan Angela He yang tengah mengenggam gelas susu mengeras. Dengan senyum terpaksa, wanita itu merespon: “Iya, aku sempat dengar kabar ini kok. Nona Li itu baru cerai. Setelah menunggu bertahun-tahun, akhirnya Wayne Shen dapat kesempatan untuk mendekatinya lagi.”

Vero He dengan hati-hati mengamati raut wajah Angela He. Pada wajah itu tersimpan kesendirian, ia jadinya iba. Walau begitu, demi mencegahnya terluka, ia mau tidak mau harus tetap menyampaikan poin yang sudah dipikirkan: “Dalam hal cinta, Wayne Shen adalah pria yang keras kepala. Angela He, jangan biarkan dirimu malah terluka karena berharap dia bisa kembali.”

Angela He tersenyum kecut: “Pria-pria anggota keluarga Shen memang begitu. Masalah aku ini ada di ketepatan momen. Tidak peduli tujuh tahun lalu atau pun sekarang, aku tidak dapat momen yang bagus. Kak, kamu tenang saja, aku tidak bakal melakukan hal bodoh.”

Vero He mengamati Angela He lekat-lekat. Bibirnya bergerak-gerak, namun pada akhirnya tidak berucap apa-apa. Teori semua orang paham, yang sulit ada mempraktikannya.

……

Keesokan pagi, cahaya matahari keemasan masuk menyinari ruang kamar yang megah melalui jendela. Wayne Shen membuka mata lebar-lebar. Mendengar bunyi-bunyi di luar, ia buru-buru turun dari ranjang.

Di ruang tamu, Wayne Shen menemukan koper yang sudah diisi dan dirapikan. Ia mengernyitkan alis dan berlari naik ke lantai dua. Pintu kamar tidur utama lantai itu ditutup rapat-rapat. Tanpa peduli sopan santun dan apa pun, ia menekan engsel pintu. Pintu tetap tidak terbuka. Sudah ditekan-tekan beberapa kali, hasilnya tetap nihil.

Wayne Shen jadi panik. Ia memukul pintu dengan kencang, “Jennifer Li, kamu di dalam kah? Jawab!”

Apa-apaan sih Jennifer Li tiba-tiba mengepak barang ke koper begini? Dia memang melakukan kesalahan? Atau jangan-jangan wanita itu ngambek karena kondom Okamoto 003 yang dia beli dari mal?

Tidak mendapatkan jawaban, Wayne Shen jadi makin gelisah, “Jennifer Li, aku sudah bilang aku bukan orang yang suka memaksa. Melihat kamu tanpa bisa memberi ciuman atau pun pelukan, itu sebuah siksaan yang amat berat bagiku. Aku mengaku aku membeli kondom untuk melihat responmu. Kalau kamu setuju, maka kita lakukan. Kalau kamu tidak setuju, aku juga tidak bakal memaksamu sama sekali. Aku sudah menunggumu tujuh tahun, jangan sampai penantianku yang sudah berujung ini malah gagal sekarang.”

Jennifer Li memang sedang lanjut mengepak barang-barang untuk angkat kaki dari sini. Semalam, mamanya menelepon dan menanyakan kabar. Ia tiba-tiba jadi kangen dengan kedua orangtua. Mama bilang kalau kangen pulanglah, Sally juga rindu dengan dia dan Adam Song.

Saat itu juga, Jennifer Li berjanji untuk pulang besok. Kalau dihitung-hitung, dia dan Wayne Shen sudah datang menetap di Kota Tong selama dua bulan. Ini sudah saatnya buat berpisah.

Tidur Jennifer Li semalam juga tidak nyenyak. Suara lembut wanita yang terdengar saat dia menelepon Wayne Shen terus terngiang-ngiang. Ia tahu, kalau ia terus di sini, Wayne Shen tidak akan bisa memulai hubungan percintaan baru.

Ia sebenarnya memang dari awal menjaga jarak dengannya, hanya dia saja yang terus menikmati kelembutan sikap Wayne Shen. Sekarang, ia ingin berhenti menikmatinya. Sebelum Wayne Shen memperkenalkan wanita pemilik suara di telepon itu atau pun wanita yang lainnya, ia sudah harus sadar diri dan berinisiatif pergi.

Setelah mengambil keputusan ini, Jennifer Li langsung bisa tidur. Pagi-paginya waktu bangun, ia langsung mulai mengepak barang ke koper. Ia tidak ingin pergi sembunyi-sembunyi, sebab kalau ia melakukan itu Wayne Shen bakal mengejarnya sampai Kota Jiangning. Ia paham betul kekerasan hati si pria.

Jadi, ia daritadi memang sengaja menimbulkan suara-suara biar Wayne Shen terbangun.

Tetapi sekarang, mendengar suara engsel pintu digerakkan, ia jadi panik dan ingin kabur. Keberaniannya untuk berhadap-hadapan dengan Wayne Shen dan menjelaskan keputusannya jauh dari kata cukup.

Satu per satu kalimat yang tadi Wayne Shen ucapkan membuat jantung Jennifer Li berdebar kencang. Melihat Adam Song hampir terbangun karenanya, ia bergegas ke pintu dan menyuruh tegas: “Wayne Shen, tutup mulut.”

“Jennifer Li, buka pintu, biarkan aku masuk. Kita bicara baik-baik dan dengan kepala dingin, oke?” Mendengar jawaban si wanita, si pria jadi lega. Ternyata Jennifer Li masih di dalam……

Kata “oke?” yang diucapkan Wayne Shen sudah menyiratkan sikap tunduk dan siap bernegosiasi baik-baiknya. Meski begitu, yang diajak bicara tidak bergeming. Jennifer Li menegaskan sikap, “Wayne Shen, biarkanlah aku pergi. Aku dan Adam Song tidak bisa mengganggumu lebih lama lagi. Kamu sudah bukan anak kecil atau pun remaja, sudah seharusnya kamu cari wanita untuk dinikahi.”

Hati si pria berdesir mendengar penjelasan Jennifer Li. Ia menendang pintu dengan kesal, “Jennifer Li, buka pintu. Aku tidak mau kita berbicara dengan terhalang pintu begini.”

Tadi saat si pria tidak marah saja Jennifer Li tidak mau buka pintu, apalagi sekarang saat dia sudah terpancing emosi? Berselang beberapa saat, di luar sana tiba-tiba tidak ada suara lagi. Jennifer Li mendekatkan telinga ke pintu, memang benar di depan sudah hening. Ia memejamkan matanya yang berkaca-kaca dan kembali ke tempat membereskan koper tadi. Baguslah kalau Wayne Shen sudah pergi, dia jadi tidak harus berpamitan di hadapannya.

Kini tiba giliran pakaian Adam Song yang dipak ke koper. Tiba-tiba, lubang kunci pintu bergerak-gerak. Sedetik kemudian, pintu sudah dibuka dengan mudah oleh pria yang tadi memohon-mohon di luar. Pria itu berdiri di depan pintu seperti baru turun dari khayangan.

Jennifer Li menatap Wayne Shen dengan kaget, “Bagaimana bisa kamu masuk?”

Di tangan Wayne Shen ada sepaket kunci cadangan. Ia melangkah cepat menghampiri si wanita. Melihat pakaian anak yang terlipat rapi di sisi ranjang, ia mengernyitkan alis. Pria itu lalu bertanya, “Mengapa kamu mau pergi? Kamu ketakutan denganku?”

Wayne Shen mengenakan baju lengan panjang garis-garis putih abu. Bawahannya adalah celana santai warna coklat muda. Karena baru bangun tidur, rambutnya agak berantakan. Meski begitu, ini sama sekali tidak merusak ketampanannya. Pesona dia selalu ada dan bertahan dalam situasi dan kondisi apa pun.

Beberapa tahun ini, meski tidak sering bertemu Wayne Shen, tiap ikut acara reunian Jennifer Li pasti ditanyai soal dia. Para teman perempuan iri ingin punya kekasih macam dia, sementara para teman pria cemburu ingin bisa punya pesona yang setara.

Wayne Shen semakin lama semakin sering muncul di berita dan majalah. Ia ingat sempat membaca sebuah wawancara majalah dengannya. Pria itu mengenakan jas biru gelap dengan rambut yang disisir ke belakang sewaktu diwawancara. Fotonya itu dipasang di halaman depan majalah. Respon masyarakat umum sudah ditebak jauh-jauh hari, angka penjualan edisi itu naik luar biasa dibanding edisi biasa.

Jennifer Li tahu cinta mendalam Wayne Shen pada dirinya, kalau tidak pria itu sejak ditinggal menikah pasti sudah langsung cari wanita lain. Ia ingat, dalam sebuah wawancara di televisi, pembawa acara wanita menanyakan satu pertanyaan pada si pria. Pertanyaan itu berbunyi begini: “Dengar-dengar cinta pertamamu, Nona Li, sudah punya keluarga yang bahagia. Apa ucapan dan doa yang paling ingin kamu ucapkan padanya?”

Wayne Shen terdiam cukup lama. Ia akhirnya menjawab: “Kebahagiaan dia adalah kebahagiaan aku juga."

Dalam menghadapi cinta yang mendalam ini, Jennifer Li sekarang merasa dirinya sudah tidak punya apa-apa yang bisa diberikan pada Wayne Shen. Ia tidak merasa layak menerima cintanya. Ia kan sudah bekas pria lain……

“Kakak Wayne Shen, waktu itu saat meninggalkanmu dan menikah dengan Patrick Song, aku langsung berpikir tidak peduli seberapa berat jalan itu, itu adalah pilihanku dan aku harus berjuang di dalamnya. Sekarang adalah waktu di mana aku harus menanggung konsekuensi dari keputusanku itu. Aku perlu menjalani hasil ini tanpa perlu ditemani kamu. Aku tidak mau kamu ikut kesusahan, biarlah aku jalan sendiri. Jadi, tolong lepaskan aku. Dengan sangat, aku mohon kamu cari wanita lain yang bisa mencintaimu sepenuh hati dan bersedia melewati seumur hidup denganmu.”

Si pria mengenggam tangan si wanita. Jennifer Li mendongak melihat rambut-rambut kumis halus yang ada di atas bibrinya. Pria itu terlihat sangat ketakutan ditinggal pergi. Wayne Shen kemudain berkata: “Jennifer Li, kamu tidak paham juga? Kalau aku bisa menerima wanita lain, aku tidak bakal menunggumu sampai sekarang. Aku cinta kamu, hati ini tidak pernah berubah.”

Wayne Shen dari dulu tidak pernah seblak-blakan ini menyatakan cinta. Waktu usia dua puluhan, ia memang sudah jatuh cinta pada wanita ini. Ia berhasrat untuk bisa memilikinya, namun tidak pernah menyatakan kata cinta sedikit pun.

Setelahnya, terjadi insiden di antara mereka. Wayne Shen menidurinya dan hampir merebut kesuciannya, namun pria itu juga tidak berucap cinta. Sekarang, Wayne Shen secara mengejutkan malah menyatakan kalimat sayang ini!

Kekuatan tiga kata tadi luar biasa kuat. Jennifer Li sampai-sampai tidak sanggup menanggungnya, juga tidak tahu harus menjawab apa.

“Kakak Wayne Shen……” Hanya panggilan itu yang bisa dikatakan Jennifer Li. Satu detik kemudian, ia sudah dijatuhkan Wayne Shen ke karpet lantai dan ditimpa. Ciuman panas yang dipaksakan satu pihak mengikuti setelahnya……

Novel Terkait

Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
4 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
5 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
My Enchanting Guy

My Enchanting Guy

Bryan Wu
Menantu
4 tahun yang lalu
My Beautiful Teacher

My Beautiful Teacher

Haikal Chandra
Adventure
4 tahun yang lalu
My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu