You Are My Soft Spot - Bab 252 Aku Tidak Akan Membuatnya Kecewa (1)

Vero He kembali ke kantor. Sewaktu melewati tempat sekretaris, ia melihat Erin termenung menatap ponsel. Ia sebelumnya belum pernah melihat si asisten termenung begini di jam kerja. Si bos pun diam-diam menghampirinya dan melongok layar ponsel. Layar itu semuanya hitam bagai layar ponsel mati. Tiffany Song bertanya agak gemas: “Kamu lagi lihat apa sih?”

Erin kaget setengah mati sampai bangkit berdiri. Ponsel yang dipegangnya jatuh ke lantai. Responnya ini membuat Vero He ikutan kaget. Ia mengelus dada sambil bertanya, “Erin, apaan sih responmu berlebihan begini? Bikin syok saja.”

Erin menatap Vero He dengan canggung, lalu berjongkok untuk mengambil ponsel kembali. Ia kemudian memasukkannya ke laci, “Kamu tiba-tiba bersuara ya aku kaget lah. Dengar-dengar Pengacara Han datang untuk menemuimu ya? Setelah rapat, kalian pergi ya?”

Vero He melipat kedua tangan di dada sambil menatap lekat-lekat wajah Erin yang memerah. Ini bukan ekspresi ketkautan sih…… Tanpa menjawab pertanyaan si asisten, ia malah ikutan bertanya: “Harusnya aku yang bertanya. Kamu sepanjang pagi ke mana?”

“Mengantar Tuan Muda ke kantor, lalu pergi membeli ponsel. Tuan Muda ingin memesankan edisi khusus buatmu, tetapi pembuatannya butuh waktu. Jadi, kamu pakai ini dulu untuk sementara.” Erin mengeluarkan sebuah kotak ponsel baru dari laci. Gambar yang ada di bagian atas kotak adalah ponsel iPhone enam plus warna pink muda.

Vero He sepanjang pagi tidak punya ponsel, jadinya agak kesepian. Ia menerima kotak ponsel yang disodorkan Erin, membukanya, dan mengeluarkan ponsel yang ada di dalam. Saat ini, ponsel itu merupakan salah satu ponsel termahal yang ada di pasaran. Vero He membolak-baliknya dengan rasa suka yang makin lama makin kuat, “Terima kasih!”

“Nona He jangan bilang terima kasih padaku. Itu uang Tuan Muda.” Erin ingat tadi di mobil James He bertanya wanita sekarang lagi menggemari ponsel. Ia cerita ada beberapa gadis yang rela menjual ginjal untuk beli iPhone enam plus. Setelah mendengar itu, James He merogoh kartu kredit dan menyodorkannya pada dia untuk beli satu buat Vero He. Waktu turun mobil, pria itu berhenti sebentar dan menambahkan: “Lihat ada yang kamu suka tidak, beli juga saja.”

“Wih, untung besar kamu.” Vero He menyalakan ponsel barunya. Semua kontak yang ada di ponsel lama, entah bagaimana caranya, sudah dipindahkan semua ke sana. Ia mengeceknya sekilas, lalu menyadari Erin terus mengamati ponselnya. Ia tiba-tiba teringat sesuatu: “Erin, jadi bagaimana kabar kamu dan kekasihmu?”

“Heh?” Erin agak tidak siap ditanya begini. Ketika matanya menemui mata Vero He, ia ingat percakapan mereka sebelumnya. Asisten itu menjawab: “Aku terlalu sibuk dan tidak punya waktu buatnya, jadi kami putus.”

Nada bicara Erin sangat datar. Vero He tidak mendengar emosi kesedihan karena baru putus cinta di dalamnya. Ia ingin menenangkan si asisten, namun tidak tahu harus bagaimana caranya. Di hadapan dia, Erin selalu terlihat sebagai wanita kuat yang tidak pernah galau-galauan.

Vero He memberi tawaran, “Oh begitu, mau aku kenalkan sama pria baru tidak?”

“Tidak usah, tidak usah,” balas Erin sambil melambaikan tangan tanda menolak. Wanita itu berusaha menjelaskan penolakannya biar tidak timbul salah paham, “Nona He, aku menghargai niat baikmu, namun untuk sekarang aku belum ingin menjalin hubungan baru. Urusan ini kita bicarakan lagi kapan-kapan saja.”

Vero He mendesah pasrah. Erin ini sepertinya terluka, tetapi tidak ingin mengekspresikan perasaan terlukanya saja. Dasar, menyusahkan diri sendiri saja. Dua tahun ini si asisten terus menemani dirinya ke mana pun dan kapan pun, jadi ketiadaan waktu buatnya untuk berpacaran juga jadi tanggung jawab dia sih……

“Baiklah, kalau sudah ketemu yang cocok baru kita bicara lagi,” tutup Vero He dengan diikuti langkah ke ruang kerja sambil bawa ponsel baru.

Setelah Vero He masuk ruang kerja, Erin membuang nafas lega. Wanita itu mengelap juga jidatnya yang keringatan karena dikagetkan Vero He barusan. Ia lalu kembali duduk di sofa, membuka laci, dan mengeluarkan ponsel. Pesan singkat yang tadi ia baca segera ia hapuskan.

Vero He duduk di kursi kerja. Sembari memainkan ponsel baru, ia dalam hati memikirkan sesuatu. Ia dan Erin adalah kakak adik sehidup semati. Mungkin karena sibuk mendampinginya, Erin malah jadi melupakan urusan cinta-cintaan. Ini tidak boleh terus terjadi.

Si wanita terpikir sebuah ide. Ia menelepon seseorang. Yang di seberang segera mengangkat, “Vero He, ada apa?”

“Kakak, kamu sekarang sedang tidak sibuk kan?” Yang bisa Vero He cari untuk urusan ini hanya James He. Kakaknya itu kenal banyak pria tampan dan berprestasi. Meminta pertolongan kakak adalah cara yang paling singkat dan mudah.

James He menatap para petinggi perusahaan yang kembali melanjutkan rapat. Ia berbohong saja, “Tidak. Ada apa?”

Mendengar penuturannya ini, para petinggi perusahaan langsung menoleh ke James He semua. Fabio Jin masuk jadi salah satunya. James He kena masalah dan sudah membuat perusahaan rugi besar. Ketika sekarang tengah membahas bagaimana caranya mengembalikan He’s Corp ke posisi semula, kok bisa-bisanya dia bilang tidak sibuk sih?

Memang benar kata orang-orang, James He tidak memedulikan apa pun lagi kalau sudah menyangktu adiknya. Fabio Jin akhirnya melihat sendiri kebenaran rumor ini.

“Anu, si Erin, aku lihat dia agak kurang semangat hari ini. Pas ditanya, dia bilang dia baru putus dengan pacarnya karena terlalu sibuk kerja. Dia rasanya sangat terluka dengan kejadian itu. Pria muda dan tampan yang kamu kenal banyak, bagaimana kalau kamu perkenalkan pada dia beberapa di antaranya? Anggaplah bantu teman, kalian kan sudah saling kenal dari masih kanak-kanak.” Percaya kakaknya sedang tidak sibuk, Vero He langsung berbicara panjang lebar. Ia tidak menyadari dirinya sedang menyita waktu paling penting si kakak.

James He mengernyitkan alis. Ia menyapukan pandangan ke para petinggi perusahaan yang sedang mengamatinya, lalu memutuskan bangkit berdiri dan berjalan keluar ruang kerja. Pria itu bertanya dingin, “Dia cerita denganmu atau bagaimana?”

“Tidak, tidak, aku sendiri yang bertanya. Orang yang aku kenal tidak banyak, aku juga tidak begitu paham dengan mereka semua jadi takutnya salah pilih orang. Kamu kenal banyak orang, juga paham mereka luar dalam. Tolonglah bantu carikan pria untuknya, kalau tidak aku bakal merasa bersalah tiap lihat Erin.” Vero He menyadari nada bicara James He jadi dingin. Apa dia ada salah berkata sesuatu? Rasanya tidak ada ah.

James He memijat-mijat pelipis sambil bersandar di tembok dekat jendela. Dalam hati ia bertanya, pria mana lagi yang lebih sempurna dari dirinya? Ia jelas tidak menjawab begitu. Jawabannya adalah begini: “Urusan ini nanti kita bahas lagi saja di rumah. Nanti malam, aku bakal tanya ke dia sukanya yang model seperti apa.”

“Mana mau dia diinterogasi begitu?”

“Menikah itu sesuatu yang sangat normal bagi pria dan wantia dewasa, jadi masak dia bakal malu-malu? Sudah ya, ada telepon masuk.” James He tidak berbohong, memang ada telepon masuk. Ia melihat sekilas identitas si penelepon, lalu berjalan melewati lorong sambil mengangkat telepon itu.

Kedua alis Vero He terangkat. Ia entah mengapa merasa gelagat kakak agak aneh hari ini. Setiap kata yang diucapkan oleh dia normal-normal saja, namun ketika digabungkan kok malah jadi agak-agak terasa tidak beres ya?

Sebuah telepon masuk menarik Vero He keluar dari lamunan.

……

Di ruang kerja, Taylor Shen sedang merebus teh. Bau harumnya menyebar ke seluruh penjuru ruangan itu. Uapnya yang melayang-layang di udara juga membuat si pria terlihat sangat ahli. Jordan Bo, yang duduk di seberangnya, bertanya nyinyir, “Sejak kapan kamu belajar hal-hal artistik begini?”

Taylor Shen menuangkan teh yang sudah kelar direbus ke cangkir keramik. Ia lalu menyodorkannya ke si sahabat, “Coba nih.”

Jordan Bo menerima sodoran itu dan menyeruputnya sekali. Wajahnya langsung meringis bagai orang yang tidak sengaja meminum obat yang terasa aneh. Ia mau muntah, untungnya berhasil menahan diri. Jordan Bo protes: “Teh apa ini? Kok rasanya pahit sekali?”

“Teh kuding, sangat berkhasiat dalam mengatasi panas dalam.” Taylor Shen menuang satu cangkir lagi dan meminumnya sendiri. Rasanya memang pahit sih, tetapi setelah ditelan mulut akan kembali biasa lagi kok.

Jordan Bo bertanya penasaran, “Sepertinya suasana hatimu lagi baik. Ada apa nih?”

Tadi pagi waktu datang ke kantor, Taylor Shen melihat sebuah koran di meja kerjanya. Cover halaman koran itu adalah berita jelek tentang Jordan Bo ini. Selama ini, hanya sedikit wartawan yang berani mengabarkan berita buruk soal si sahabat. Wartawan yang kali ini menjelaskan berita itu dengan sangat detail seolah mengamati semua tindakannya dari awal sampai akhir.

Ia berani bertaruh, wartawan ini berikut perusahaan korannya pasti akan diserang balik dalam beberapa hari.

Taylor Shen mengangkat koran tadi dan menunjuk foto Jordan Bo. Tanpa memedulikan wajah pria di hadapan yang berubah muram, ia meledek: “Stella Han ribut denganmu ya? Gila, main dengan wanita bukannya sembunyi-sembunyi malah membiarkan wartawan foto wajahmu dengan sangat jelas. Tampan sekali sih wajahmu di sini.”

Stella Han adalah seorang pengacara kasus perceraian. Dipancing seperti ini, dia pasti marah besar. Betul-betul ya mereka berdua, bertahun-tahun bertengkar terus begini memangnya tidak capek apa?

Jordan Bo bercerita dengan malas, “Dia mengajukan pindah tempat kerja, tetapi aku tidak mengizinkan. Dulu, Evelyn selalu jadi pemersatu kami. Setiap aku mengungkit hak asuh anak ketika membahas masalah, dia bakal menyesuaikan diri dengan kemauanku. Tetapi sekarang, cara ini sudah tidak mempan lagi. Dia bilang dia ingin mencari kebebasan.”

“Terus pendapatmu terhadap hal ini bagaimana?” Taylor Shen sejujurnya agak kasihan dengan Jordan Bo. Sahabatnya ini sudah menghabiskan banyak energi untuk membantu urusan dia dan Vero He. Efeknya, urusan pribadi dirinya dan Stella Han malah jadi terkesampingkan.

Jordan Bo memejamkan mata. Ekspresi pasrah bercampur kesal memancar di wajahnya. Pria itu menjawab, “Dulu, aku pikir dia tidak memaafkanku karena kejadian yang menimpa Tiffany Song. Sekarang, aku baru sadar itu hanya alasan saja sebab dianya sendiri memang dari awal tidak mau denganku. Kamu tahu apa yang dia katakan? Dia bilang, pernikahan kita ini pernikahan yang sangat tidak jelas. Dia tidak bergairah dalam pernikahan ini, yang bergairah hanya aku kalau di atas ranjang.”

“……” Rasa simpati mengembang di dada Taylor Shen, “Terus kamu mau biarkan dia pergi atau mau tetap menahan dia?”

Jordan Bo membuka mata perlahan-lahan. Hanya dengan Taylor Shen ia bisa membicarakan hal begini. Kalau Taylor Shen-nya diganti orang lain, mau dipaksa pun dia tidak bakal bicara. Ia menyinggung seseorang, “Ned Guo sampai sekarang masih belum menikah, apa dia lagi menunggu Stella Han ya? Aku tidak bakal membiarkan dia pergi sih.”

Taylor Shen tahu Ned Guo adalah mantan kekasih Stella Han. Ia berpendapat, “Sangat langka sih pria rela menunggu sampai tujuh tahun, bisa jadi dia hanya belum bertemu yang cocok saja. Kakak Tertua Bo, aku rasa kamu harus bicarakan baik-baik hal ini dengannya. Cinta kalian harus bisa dibuat lebih kuat daripada besi. Kalau sudah lebih kuat dari besi, mana ada sih yang bisa memisahkan?”

“Bagus kata-katamu ini. Aku dan dia sudah menikah tujuh tahun, tetapi dia tidak juga mengubah sikapnya untuk lebih menerimaku. Tidak usah bahas apa kata-kata indah yang dia katakan padaku, tidak marah saja sudah super bagus,” keluh Jordan Bo lagi. Waktu itu dia memaksa Stella Han buat kawin kontrak, ternyata si wanita dendam terus sampai sekarang.

Taylor Shen mengelus-elus dagu sambil tersenyum mencurigakan. Melihat senyuman itu, Jordan Bo tahu sahabatnya pasti mau berlelucon. Benar saja, tidak lama kemudian Taylor Shen berujar: “Aku rasa aku cocok ganti profesi jadi konsultan cinta.”

Tidak peduli ah, pikir Jordan Bo. Dia pun tidak meresponnya.

“Pokoknya kalian berdua harus membahas masalah ini baik-baik, jangan seret orang lain. Si Ned Guo itu, kamu kan bisa peringatkan dia untuk tidak berani aneh-aneh. Kalau Stella Han tidak cinta denganmu, mana mungkin sih dia bersedia bikin anak sama kamu?” Bagi Taylor Shen, cinta terbesar seorang wanita pada seorang pria adalah ketika bersedia membuat anak dengan si pria.

Sebagai pengacara kasus perceraian, Stella Han rutin menghadapi pasangan suami istri yang berseturu. Sekali pun bisa memisahkan urusan kerjaan dengan urusan pribadi, hatinya sedikit banyak pasti akan terbawa suasana. Stella Han pun bukan tipe wanita yang bakal mengucapkan “aku sayang kamu” ke seorang pria.

“Wow, rasanya kamu memang cocok jadi konsultan cinta.” Mendengar penuturan Taylor Shen, hati Jordan Bo jadi agak tenang sedikit. Di antara mereka masih ada Evelyn, hubungan sebagai papa dan mama Evelyn ini sampai kapan pun tidak bakal bisa putus.

Taylor Shen menuangkan teh lagi ke cangkir Jordan Bo, “Lain kali kamu datang mencariku untuk bahas ini, aku mau pungut biaya. Sekali konsultasi dua ratus milyar ya.”

“Apaan coba!” Jordan Bo kembali menyeruput teh. Kali ini ia tidak merasa rasa pahitnya sekuat yang tadi, mungkin karena lidahnya sudah terbiasa. Ia memulai topik baru: “Eh, dengar-dengar istrimu buat masalah lagi?”

“Apa maksudmu dengan kata “buat masalah”? Sudah seperti penjahat saja dia,” debat yang ditanya dengan tidak senang.

Suasana hati Jordan Bo jadi baik. Tadi masalahnya yang diungkit, sekarang ia bisa ungkit masalah Taylor Shen. Ia bertutur blak-blakan, “Taylor Shen, aku peringatkan kamu. Vero He sekarang sudah bukan orang baik-baik. Kamu lihat coba kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya, makin lama makin macam-macam. Arthur dan orang-orangnya dibunuh dengan kejam. Lalu, psikiaternya juga dibunuh diam-diam. Ketika ditemukan, pembunuhnya itu sudah dalam keadaan mati. Aku dengar desas-desus peluru yang digunakan untuk membunuh si pembunuh psikiater dan Arthur berasal dari satu senjata yang sama. Aku tidak menakut-nakutimu. Aku hanya khawatir, suatu hari nanti dia bakal menusukkan pisau ke jantungmu.”

Novel Terkait

Baby, You are so cute

Baby, You are so cute

Callie Wang
Romantis
4 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
Siswi Yang Lembut

Siswi Yang Lembut

Purn. Kenzi Kusyadi
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Kamu Baik Banget

Kamu Baik Banget

Jeselin Velani
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
This Isn't Love

This Isn't Love

Yuyu
Romantis
4 tahun yang lalu