You Are My Soft Spot - Bab 419 Sepertinya Hamil (1)

Berhubung James He sudah membawa Erin menemui orangtuanya kemarin, maka keesokan harinya Nancy Xu datang menemui Bibi Yun sembari membawa barang. Pemulihan kesehatan Bibi Yun cukup baik, ia sudah bisa turun dari ranjang dan jalan keliling.

Waktu Nancy Xu tiba, si bibi kebetulan lagi ditemani suster jalan balik dari taman bunga. Bibi Yun langsung mempersilahkannya masuk. Melihat bungkusan-bungkusan di tangan Nancy Xu, si bibi merasa tidak enak hati.

Nancy Xu sekarang adalah istri petinggi tentara. Suaminya sangat sering masuk berita. Jadi, ketika bertemu Nancy Xu, Bibi Yun sangat menjaga sikap. Ia tidak seramah dan sebersahabat waktu dulu.

Tiga puluh tahun lalu, waktu baru mulai kerja di rumah kediaman keluarga He, Bibi Yun merasa iba pada Nancy Xu yang selalu disulitkan oleh nenek. Nenek bertindak begitu karena status sosial si wanita yang merupakan anak sebatang kara. Sekarang, identitas Nancy Xu sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Ia bukan hanya Nona Kedua dari keluarga Xu asal Kota Jing, namun juga istri pejabat tentara. Ini perubahan yang tidak pernah disangka siapa pun!

Bila nenek tahu Nancy Xu merupakan anggota keluarga Xu yang tersohor dan bukan anak sebatang kara, entahlah apakah ia akan menyesal sampai lompat dari kuburan. Si bibi menuangkan teh buat si tamu. Melihat suplemen-suplemen kesehatan yang dibawakan buatnya, ia bertanya: “Nyonya kalau mau datang ya datang saja, mengapa harus sekalian bawa oleh-oleh?”

Nancy Xu duduk sambil memegang tangan Bibi Yun, “Jenguk orang sakit ya harus bawa oleh-oleh dong. Lagipula, kita akan sebentar lagi jadi saudara, kamu tidak usah sungkan-sungkan denganku ah. Kalau kamu bicara begini, aku merasa kamu menjaga jarak.”

Si bibi jelas tahu alasan Nancy Xu bilang “sebentar lagi jadi saudara”. Ia menurunkan tangan si wanita dan berkata: “Rumah sakit membawa aura buruk. Nyonya sebaiknya segera pulang deh, nanti aku malah merasa bersalah kalau nyonya mengalami hal buruk.”

Merasa yang dijenguk sangat jaga jarak darinya, Nancy Xu membuang nafas pasrah. Ia lalu membahas peristiwa kemarin: “James He sangat cinta dengan Erin. Waktu tahu kamu tidak setuju, ia dengan marah bilang ke papanya bahwa ia mau jomblo seumur hidup kalau tidak bisa menikah dengan Erin. Bibi Yun, aku tahu kamu khawatir Erin bakal diperlakukan semena-mena setelah masuk keluarga terhormat. Sebagai orang luar keluarga He, aku tidak bisa menjamin apa-apa, tetapi kamu kenal kepribadian James He dan papanya kan? Mereka tidak mungkin menjahati Erin. Pertimbangan status sosial dalam pernikahan sudah ketinggalan zaman, anak muda sekarang hanya peduli cinta atau tidak cinta. Mengapa kamu keras kepala begini?”

Bibi Yun bisa melihat Nancy Xu benar-benar suka Erin, tetapi…… Memikirkan ini, ia menarik nafas panjang: “Nyonya, aku sudah memutuskan bahwa Erin tidak layak menerima nasib baik ini.”

Nancy Xu merasa sayang karena Bibi Yun terus mempertahankan kata-katanya: “Bibi Yun, sekali lagi aku tanya, buat apa keras kepala begini? Aku kemarin lihat mereka berdua penuh rasa saling mencintai kok. Kamu tidak merasa kasihan dengan mereka?”

Si bibi tidak menjawab. Mau sekuat apa pun dirinya berusaha, Nancy Xu merasa seperti lagi meninju-ninju bantal yang empuk dan elastis. Tonjokannya tidak berefek sama sekali, sebab bantal itu bakal langsung balik ke wujud semula sesaat kemudian. Ia bangkit berdiri dan bergegas pergi. Sebelum ia benar-benar pergi, Bibi Yun memintanya membawa pulang suplemen-suplemen kesehatan tadi. Habis dimarahi si nyonya, ia baru terdiam dan menyerah. Ia mengantar Nancy Xu ke lift, lalu bergegas balik ke kamar pasien.

Melihat setumpuk suplemen mahal, ia tahu dirinya terlalu keras kepala. Kalau situasi begini terus berlangsung, Erin bisa-bisa kehilangan rasa baktinya. Namun, di sisi lain, ia sungguh tidak bisa membiarkan putrinya itu menikah dengan James He. Nanti yang kena sial adalah ia sendiri……

Bibi Yun baru sebentar sampai kamar, Nyonya He langsung datang sebagai tamu berikutnya. Ia tidak membawa apa-apa, sebab bagi dia kedatangannya ini sendiri sudah merupakan sebuah kehormatan buat si bibi. Si nyonya berjalan masuk dengan angkuh.

Bibi Yun saat itu lagi membereskan gelas teh. Melihat kedatangan Nyonya He, ia mengernyitkan alis dengan heran. Si nyonya duduk tanpa sungkan, jadi Bibi Yun terpaksa mencuci gelas tehnya dan membuatkan teh lagi buat si tamu baru. Nyonya He menyeruput teh itu, lalu bertanya: “Bibi Yun, kamu tahu semalam James He mengungkapkan lagi niatannya buat menikahi Erin?”

Si bibi sudah tahu soal ini dari Nancy Xu, namun sekarang ia mau berpura-pura tidak tahu. Ia lantas menggeleng, “Kapan itu?”

Nyonya He tahu Bibi Yun berbohong, namun tidak mengonfrontasinya: “Aku tidak tahu kamu punya rencana apa, tetapi aku ingatkan kamu bahwa kamu sudah membuat janji di samping ranjang kematian kakek. Kalau kamu rela Erin tidak bahagia lagi seumur hidup, silahkan saja setujui pernikahan ini.”

Bibi Yun terhenyak. Benar, ketika ia berucap janji, Nyonya He masih ada di ruangan kakek. Ia mengepalkan tangan dengan gelisah. Kalau waktu itu ia yakin tidak bakal terjadi apa-apa antara Erin dan James He, ia pasti tidak akan berucap sumpah macam itu. Sekarang, sumpah itu malah membuatnya berada dalam posisi maju kena mundur kena.

Ia merespon: “Nyonya tidak perlu kemari untuk mengingatkan, aku sudah mengingatnya tiap saat.”

Nyonya He agak merasa canggung. Bibi Yun sangat tahu diri kok, dianya saja yang memaksa dengan keterlaluan. Ia sebenarnya tidak benci dengan Bibi Yun, hanya saja ia tidak rela duduk sederajat dengannya. Ia benar-benar tidak rela memanggil seorang asisten rumah dengan sebutan saudara.

Lantas, ia harus menjadi penghalang jalan pernikahan James He dan Erin. Karena takut dibenci Felix He dan James He, ia terus melancarkan aksinya secara diam-diam.

Nyonya He meletakkan gelas teh di meja. Melihat Bibi Yun yang masih berdiri, ia berucap: “Kamu dan Erin harus sadar dengan identitas sosial kalian. Yang tidak berhak kalian dambakan, cepatlah buru-buru lupakan. Bibi Yun, kamu sangat tahu diri, kok anakmu bisa berbeda drastis?”

Wajah si bibi jadi pucat habis ditegur. Ia merespon: “Perkataan Nyonya benar. Nanti aku akan bicara baik-baik dengan Erin.”

Nyonya He belum selesai bicara: “Dari zaman dulu, tiap-tiap panci punya penutup yang cocok, bukan bisa saling dipasangkan sesuka hati. Jangan protes karena kata-kataku kasar, tetapi proteslah karena kamu terlahir sebagai panci yang jelek dan anakmu kena dampaknya. Keluarga He sudah memberi kalian tempat tinggal selama berpuluh-puluh tahun, aku harap kamu tahu terima kasih.”

Bibi Yun gigit-gigit bibir sambil menunduk. Ia belum pernah diremehkan orang sampai seperti ini. Si bibi lalu memberanikan diri buat mendongak dan membalas: “Teguran Nyonya tepat.”

Sudah tidak ada yang mau dikatakan lagi, Nyonya He menenteng tas dan bangkit berdiri. Melihat wajah si bibi yang pucat, ia menyuruh: “Sana istirahat, aku malas berbincang sama orang sakit.”

Si nyonya bergegas keluar ruangan.

Selepas Nyonya He pergi, suster yang daritadi menunggu di luar masuk. Melihat wajah Bibi Yun yang seperi kehabisan darah, ia tidak tahan untuk tidak komentar: “Nyonya yang kedua kualitasnya jauh di bawah nyonya yang pertama. Kok Tuan Besar He bisa-bisanya punya istri begini sih?”

Si bibi menanggapinya dingin: “Urusan internal keluarga He tidak layak digosipkan oleh orang luar sepertimu. Aku agak lelah, mau istirahat.”

Bibi Yun naik ke ranjang, memakai selimut, dan memejamkan mata.

Sembari mengamati bayangan tubuhnya, si suster bergumam tidak senang. Dia sendiri hanya seorang asisten rumah kok, bukankah hitungannya juga orang luar?

Sibuk dengan urusan barang imitasi, Erin tidak tahu-menahu soal insiden di rumah sakit. Sebentar lagi akan diadakan acara rilis busana-busana terbaru dan ia perlu menghadirinya sebagai pengganti Vero He. Namun, berhubung kondisi mamanya lagi kurang baik, ia tidak bisa meninggalkan Kota Tong. Wanita itu lantas menugaskan Vice CEO buat pergi.

Sore hari, Erin menerima telepon dari suster. Si penelepon megabarkan bahwa mamanya demam tinggi satu jam terakhir, lalu Erin buru-buru melepaskan semua urusan kantor dan bergegas ke ruamah sakit. Setibanya di depan ruang pasien, ia bertemu dengan dokter yang baru mengecek mamanya.

Dokter mengurai: “Racun di tubuh mamamu sudah tidak tersisa, jadi demamnya kali ini disebabkan karena banyak pikiran. Orang sakit memang tidak boleh dibuat jadi memusingkan macam-macam, kalau tidak penyakit besar akan datang. Pada waktunya nanti, bisa jadi tubuhnya tidak bakal kuat.”

Erin mendengarkan dengan seksama. Sesudah dokter pergi, Erin bertemu dengan suster dan baru dikabari bahwa Nancy Xu dan Nyonya He datang tadi siang. Kata suster itu, wanita pertama bersikap baik pada mama, sementara wanita yang kedua mengejek dan bersikap kasar.

Si suster juga berkomentar: “Kalau aku punya putri, aku tidak bakal peduli omongan orang-orang. James He itu orang hebat, kalau di zaman kuno dia punya potensi buat jadi raja. Mengapa mamamu tidak juga berpikir terbuka dan mengizinkanmu menikahinya coba? Nanti kamu bisa jadi ratu.”

Erin tidak meladeni perkataan suster itu. Pada sore harinya juga, ia langsung memberikan gaji si suster dan mencari suster lain.

Ia tidak mau mamanya dirawat oleh suster yang mulutnya suka gosip. Kalau pun tidak jatuh sakit, mamanya tetap bakal stres mendengar celoteh-celotannya.

Erin berjaga di sisi ranjang dan mengamati wajah merah mamanya. Infus sudah dipasang, plester penurun demam juga sudah ditempel, namun demamnya tetap awet dan tidak menunjukkan tanda bakal menurun.

Si wanita gelisah bukan main. Sekesal-kesalnya ia pada mama karena tidak mengizinkan rencana pernikahannya, ia tetap takut mama tidak bakal melewati ini semua. Saking gelisahnya, Erin semalaman tidak bisa memejamkan mata.

Mendengar kabar Bibi Yun demam tinggi, James He ingin datang ke rumah sakit, namun Erin melarangnya. Alasannya, kalau sampai mama melihat sosok yang diagungkannya itu datang lagi, demamnya bisa-bisa makin parah karena bertambah stres.

Berhubung Erin tidak mengizinkannya pergi ke rumah sakit, si pria hanya berpesan pada si wanita untuk jaga diri baik-baik. Ia lalu mematikan ponsel dengan hati pilu.

James He selama ini menyangka tidak ada wanita yang bisa menolaknya di dunia ini. Pada hari ketika mereka resmi berpacaran, si pria langsung meneguhkan sebuah tekad. Tidak peduli seberapa sulit jalan di depan, ia tidak akan menyerah dari hubungan ini.

Namun, kenyataan berkata lain. Bibi Yun sampai detik ini masih terus menolaknya, ia juga tidak tahu harus bagaimana.

Seumur—umur, ia baru pertama kali membenci identitasnya sebagai penerus keluarga He.

Suhu tubuh Bibi Yun mencapai angka empat puluh satu derajat Celcius pada tengah malam. Dengan sangat ketakutan, Erin buur-buru memanggil dokter. Si dokter bilang padanya untuk mengawasi saja, tapi mana bisa dia duduk dengan tenang? Setiap detik terasa sangat menyiksa buatnya.

Beruntung, ketika hari menjelang pagi, demam Bibi Yun sudah lebih mereda. Wanita itu juga terbangun dari tidurnya. Begitu melihat putrinya yang terus berjaga semalaman, ia merasa iba dengannya. Erin sendiri tidak tahu harus bagaimana mendeskripsikan tatapan mamanya ini.

Takut mamanya bakal berucap hal-hal yang tidak mengenakkan, Erin bangkit berdiri dari kursi dan izin: “Kantin di bawah sudah mulai jualan. Kamu habis demam semalaman, jadi biar aku beli bubur dulu ke sana. Nanti kamu harus makan.”

Ia lalu bergegas pergi dengan langkah cepat. Melihat bayangan tubuh anaknya yang segera lenyap bagai lagi kabur, Bibi Yun tidak tahu harus berkata apa. Ia memejamkan mata dalam-dalaam.

Erin kembali dengan sekotak bubur sayuran dan dua buah mantou. Ia membawa kedua makanan itu sampai ke depan kamar. Berhubung suster baru belum mulai kerja, ia harus mengantarkan sendiri makanan-makanan ini ke dalam. Sayangnya Erin tidak punya keberanian untuk menghadapi si mama, jadi ia terus mondar-mandir di luar.

Setiap kali mama mengungkit-ungkit soal kematian, Erin tahu kekerasan hatinya bisa jadi bakal berubha. Ini mamanya sendiri, bagaimana mungkin ia mementingkan kebahagiaan pribadi di atas nyawanya? Kalau ia bertindak begitu, sekali pun bisa menikahi James He, ia jamin hidupnya tidak bakal bahagia.

Erin gigit-gigit bibir dan akhirnya melangkah masuk. Pada momen ini, dokter kebetulan lagi mengecek si bibi. Si dokter tahu wanita itu banyak pikiran, jadi ia memberikan wejangan-wejangan padanya. Sayang, sebagaimana orang tua pada umumnya, Bibi Yun sangat sulit menerima nasehat, apalagi dari orang muda.

Melihat Erin datang membawakan sarapan, si dokter tersenyum: “Anakmu sudah sangat baik, jadi kamu seharusnya lebih membuka pikiran. Di antara orang-orang tua yang pernah kuurus, mana ada anak mereka yang seperhatian ini? Mereka menyerahkan semuanya ke aku, lalu cuma datang tiap dua sampai tiga hari. Erin sejauh ini adalah anak paling berbakti yang pernah aku temui. Ia merawatmu di rumah sakit seperti di rumah sendiri.”

Bibi Yun mendongak menatap Erin. Kantung mata anaknya itu berwarna hitam. Meski semalam terlelap pulas, ia tetap tahu putrinya selalu berjaga di samping. Tanpa lelah, anaknya itu menggantikan pakaiannya yang berkeringat dan mengusap tubuhnya dengan air hangat demi menurunkan panas.

Mana tega ia memanfaatkan bakti Erin untuk mengancamnya? Memikirkan ini, hati si bibi berdesir. Ia ingin semalam ia mati saja, lalu Erin pun bisa menikah dengan pria pilihannya……

Novel Terkait

Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Shuran
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Istri Direktur Kemarilah

Istri Direktur Kemarilah

Helen
Romantis
3 tahun yang lalu
Marriage Journey

Marriage Journey

Hyon Song
Percintaan
3 tahun yang lalu
Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu