You Are My Soft Spot - Bab 135 Soal Tiffany Song, Ia Selalu Ingin Mendominasi (1)

Mobil Taylor Shen berputar balik di belokan depan dan langsung bergegas ke kantor polisi. Sesampainya di kantor polisi, ia langsung disambut seseorang, "CEO Shen, CEO Bo berpesan padaku untuk menunggumu di sini. Mari ikut denganku!"

Taylor Shen mengikuti orang itu dari belakang. Mereka melewati lorong yang panjang dan tiba di depan ruang interogasi. Orang itu berujar: “CEO Shen, kamu punya waktu lima belas menit. Jangan lakukan tindakan kekerasan apa pun pada orang itu, kalau tidak akan rumit urusanku dengan atasan.”

Taylor Shen mengangguk. Orang itu pun merogoh kunci dan membukakan pintu ruang interogasi. Taylor Shen masuk ke dalamnya.

Di dalam ruang interogasi telah duduk seorang wanita paruh baya. Wajahnya hitam sekali, sepertinya sudah lama tidak dicuci. Usianya kira-kira lima puluh tahun. Mendengar suara pintu terbuka, ia refleks menoleh. Begitu melihat sosok Taylor Shen, ia bertanya dengan penuh harapan, “Kamu pengacaraku ya? Cepat keluarkan aku, aku tidak tahan tinggal di sini.”

Talylor Shen tersenyum dingin. Ia terlihat seperti monster yang baru kembali dari neraka. Ia menaruh kedua tangannya di atas meja, lalu menatap wanita itu dengan sangat intimidatif. Taylor Shen kemudian berujar, “Aku bukan pengacara. Aku datang kemari untuk menagih hutang.”

Wanita paruh baya itu merinding. Ancaman yang muncul dari gerak-gerik pria ini membuatnya ketakutan sampai mundur jauh-jauh ke punggung kursi. Nada suaranya bergetar, “Aku, aku tidak kenal kamu. Kamu siapa?”

Jumlah anak yang ia culik dan jual bertahun-tahun ini tidak terhitung banyaknya. Pasti ada saja orang yang dendam dengannya, dan pria di hadapannya ini bisa jadi salah satunya.

“Kamu tidak perlu tahu siapa aku. Kamu cukup jawab pertanyaan-pertanyaanku dengan jujur.” Taylor Shen menarik kursi ke hadapan wanita paruh baya itu dan duduk. Ia memulai interogasinya: “Dua puluh dua tahun lalu, di depan SD Bahasa Asing, kamu menculik seorang anak perempuan berusia tiga tahun. Ingat ini?”

Wanita itu mencoba mengingat-ingat. Ia kemudian mengangguk, “Ingat, aku ingat.”

“Aku kakaknya. Kamu jual dia ke mana?” Nada bicara Taylor Shen sangat mengancam dan memaksa. Tatapan Taylor Shen membuat wanita paruh baya ini merasa seperti diamati lekat-lekat oleh beruang yang siap memangsanya. Ia sangat panik.

Itu aksi pertamanya sebagai pelaku trafficking. Hari itu, ketika ia jalan-jalan santai di luar SD Bahasa Asing, ia melihat seorang anak kecil berpakaian putri tengah menangis sambil mencari-cari kakaknya. Otak bisnisnya langsung berputar. Ia terus membuntuti anak itu, dan begitu tidak ada orang di sekitar, ia langsung menghampirinya dan berkata: “Adik kecil, aku tahu Kakak Keempat di mana. Kamu ikut aku, nanti aku bawa kamu cari Kakak Keempat, oke?”

“Sungguh? Kamu sungguh bisa bantu aku cari Kakak Keempat?” Mata Tiara berbinar-binar. Ia terlihat sangat lucu.

“Sungguh. Kamu ikut aku, jangan menangis dan jangan berisik. Aku antar kamu cari dia.” Wanita paruh baya itu kemudian menggendong Tiara menyeberangi jalan dan berjalan menjauhi SD Bahasa Asing. Tiara saat itu masih terlampau kecil. Ia menuruti perintah wanita itu dengan sangat patuh.

Wanita itu kemudian membawa Tiara ke tempat tinggalnya. Ia menelepon beberapa orang untuk menawari mereka anak ini, tetapi sebelum ia menemukan pembeli, seluruh sudut kota sudah diblokade. Ia dengar kabar keluarga Shen kehilangan seorang anak perempuan. Foto anak itu juga disebarluaskan ke publik.

Begitu melihat foto itu, ia baru sadar yang ia culik ini adalah Nona Keenam keluarga Shen. Ia saat itu ketakutan luar biasa, sebab keluarga Shen, selain keluarga He, adalah dua keluarga paling kuat dan paling berpengaruh di Kota Tong. Ia awalnya ingin mengembalikan anak itu ke lokasi penculikan malam-malam, tetapi semuanya sudah terlambat.

Entah apa penyebabnya, di sekujur tubuh Tiara tumbuh bintik-bintik merah. Anak perempuan ini juta demam berkepanjangan. Belum mendapat keuntungan apa-apa dari bisnis ilegal ini, ia sekarang malah harus berhadapan dengan keluarga Shen. Kalau ia mengembalikan anak itu pada mereka, itu sama saja dengan mengakui dirinya sebagai penculik. Hidupnya pasti akan berakhir tragis.

Semakin lama memikirkan ini, ia semakin stres. Ia akhirnya terpikir sesuatu. Ia memotong pendek rambut anak itu, memasangkan pakaian anak laki-laki padanya, lalu pada tengah malam mengajaknya naik kereta pergi keluar Kota Tong.

Hatinya saat itu sangat tidak senang. Sakit Tiara sangat parah, tidak jarang ia juga memanggil-manggil Kakak Keempat-nya. Karena takut ketahuan penumpang kereta lainnya, di tengah jalan ia turun dari kereta. Ia kemudian menggendong anak itu melintasi gunung dan bukit. Selama perjalanan panjang ini, ia ingin sekali membuang Tiara di tengah jalan supaya kelar urusannya. Sayang, setiap kali melihat wajah anak itu yang kemerahan, ia selalu merasa tidak tega.

Ini pertama kalinya ia melakukan penculikan ini. Ia belum pernah dapat uang sama sekali dari bisnis ini, dan sekarang ia malah berada dalam posisi terjebak. Beberapa hari kemudian, dalam perjalanan ia menjumpai sebuah panti asuhan. Hari saat itu sudah gelap. Ia mendudukkan Tiara di depan pintu panti asuhan itu, lalu kabur diam-diam.

Sejak saat itu ia tidak tahu apa Tiara sudah mati atau masih hidup. Ia tidak pernah mencari keberadaannya lagi.

Mendengarkan penuturan panjang ini, Taylor Shen jadi terbayang-bayang kesalahannya ketika meninggalkan Tiara sendirian waktu itu. Hatinya sungguh pedih. Ia bangkit berdiri dan mencengkeram erat-erat kerah baju wanita paruh baya itu: “Di mana letak panti asuhan itu?”

“Aku sudah lupa.” Wanita itu ketakutan sampai nada bicaranya bergetar.

Ia yakin sekali pria di hadapannya ini akan segera mematahkan lehernya. Ia melanjutkan kalimatnya, “Aku tidak ingat aku turun kererw di mana, juga tidak ingat aku buang anak itu di mana. Yang aku ingat hanya panti asuhan itu mirip gereja.”

Tayloe Shen menggeretakan gigi menahan emosi, “Tiket keretamu sendiri dari Kota Tong ke mana?”

Wanita itu diam. Taylor Shen menggebrak meja dengan garang, “Jawab!”

“Sebentar, aku sedang berusaha mengingat. Itu sudah sangat lama, aku sudah lupa.” Wanita itu berusaha mengingat-ingat sekuat tenaga saking takutnya. Ia akhirnya ingat momen itu, “Tiketku dari Kota Tong ke Kota Z. Kami turun di sebuah tempat yang sepi. Aku menggendongnya beberapa hari baru kemudian menemukan panti asuhan.”

Ada banyak sekali kota yang dilintasi jalur kereta dari Kota Tong ke Kota Z. ini dama saja dengan mencari jarum di tengah samudera. Nyaris mustahil.

“Ingat tidak apa nama panti asuhan itu?” Taylor Shen mencoba mencari petunjuk lain.

“Aku tidak perhatikan. Waktu itu langit sudah gelap. Aku juga ketakutan ketahuan orang, jadi aku langsung buru-buru pergi.”

“Coba ingat-ingat!”

Wanita paruh baya itu kaget sampai menarik lehernya dalam-dalam. Ini kejadian lebih dari dua puluh tahun yang lalu, mana ingat dia? Setelah berpikie cukup lama, ia bilang, “Aku benar-benar tidak ingat. Aku hanya ingat panti asuhan itu mirip gereja.”

Taylor Shen tidak puas, “Aku beri kamu satu jam, pikirkan lagi baik-baik.”

Taylor Shen keluar dari ruang interogasi. Melihat wajahnya yang muram, orang yang tadi mendampinginya menyambut: “CEO Shen, aku tadi juga sudah menanyakan ini padanya. Ia benar-benar tidak ingat.”

Taylor Shen tersenyum dingin, “Satu jam lagi, kalau tidak ingat juga, dia akan kubawa pergi.”

Orang itu ketakutan, “CEO Shen, itu tindakan melanggar hukum.”

“Aku tidak peduli dengan hukum. Kalau ia aku bawa pergi, ia akan tetap bernyawa. Kalau ia bertahan di sini, akan kubuat dia tidak bernyawa entah kapan.” Taylor Shen tersenyum dingin lagi lalu berbalik badan dan keluar.

Pendampingnya itu langsung berkeringat dingin. Tadi atasannya sudah berpesan pada dia untuk membantu Taylor Shen semaksimal mungkin. Ia berjalan masuk, dan selama satu jam, ia menggunakan metode-metode kekerasan untuk memaksa wanita paruh baya itu mengingat. Orang itu akhirnya ingat, ada kata “harapan” dalam nama panti asuhan itu. Selebihnya, mau dipukuli sampai mati pun ia benar-benar tidak bisa ingat.

Taylor Shen duduk di lorong luar sambil merokok. Ketika rokoknya sudah habis sekotak, pendampingnya tadi menghampirinya, “CEO Shen, wanita itu ingat ada kata “harapan” dalam nama panti asuhan itu. Sisanya dia benar-benar lupa.”

Sekarang ia sudah dapat beberapa petunjuk. Panti asuhan tempat Tiara dititipkan berada di tengah-tengah jalur kereta Kota Tong dan Kota Z, juga punya kata “harapan” dalam nama panjangnya. Situasinya kini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Taylor Shen bangkit berdiri. Sebelum pergi, ia berpesan pada pendampingnya: “Buat wanita itu membusuk di penjara!”

Taylor Shen menyetir mobilnya meninggalkan kantor polisi. Di tengah perjalanan, ia menelepon sebuah nomor, “Eden Chu, datang ke kantor sekarang.”

......

Kota Kecil Jingfu, Desa Padi Kuning.

Tiffany Song meletakkan sebuket bunga di dekat batu nisan, lalu menaruh beberapa macam buah dan permen di atas kuburan. Karry Lian membantunya menyalakan dupa. Tiffany Song kemudian memasangkan dupa itu di atas tanah makam.

Ia menatap batu nisan lekat-lekat. Ia masih kecil ketika nenek meinggal. Kala itu ia tidak paham apa arti kematian, jadi ia melewati harinya dengan biasa-biasa saja seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. Ia membakar kertas persembahan, dan dari awal sampai akhir ia tidak berujar apa-apa. Ia dalam hati hanya bertanya satu kalimat. Nenek, aku ini sebenarnya siapa?

Tiffany Song duduk di samping makam cukup lama. Ia baru bangkit berdiri ketika hari mulai gelap. Desa tidak seperti kota yang ketika malam hari bertaburan cahaya. Di desa, ketika malam tiba, seluruh penjuru mata angin akan gelap gulita. Jari tangan sendiri saja sangat mungkin tidak kelihatan.

Tiffany Song mengangkat tongkat jalannya. Karry Lian ingin memapahnya, namun ia menggeleng: “Aku bisa jalan sendiri.”

Tatapan mata yang keras dan jiwa yang mandiri memang ciri khas Tiffany Song. Karry Lian mau tidak mau menarik kedua tangannya lalu menyimpannya di kantong.

Baru berjalan sebentar, Tiffany Song menengok kembali ke makam. Dupa sudah terbakar habis, baunya sangat harum. Hatinya berdesir. Ia kemudian melanjutkan langkahnya.

Makam Nenek Dong ada di gunung belakang rumah. Tiffany Song berjalan perlahan meninggalkan gunung. Sesampainya di sebuah rumah bata, langit sudah sepenuhnya gelap. Di dalam rumah itu, ada lampu menyala. Rumah bata ini sama persis dengan rumah yang muncul dalam mimpinya.

Mendengar suara orang di luar, orang yang ada di dalam rumah keluar. Begitu melihat Tiffany Song, orang itu langsung bertanya ragu-ragu, “Kamu... kamu Nini cucu Nyonya Keluarga Dong ya? Aku barusan dengan gerasak-gerusuk di belakang gunung, kamu habis berkunjung ke makan nenekmu ya?”

Tiffany Song merasa agak familiar dengan orang itu. Ia mencoba memastikan: “Kamu siapa?”

“Aku Tante Jiang yang tinggal di sebelah. Kamu sudah tidak ingat aku ya? Wajar sih, kamu kan dari usia empat tahun sudah dibawa pergi dari sini. Eh itu kakimu kenapa?” Langit memang sudah gelap, namun Tante Jiang masih tetap bisa melihat gypsum di kaki kiri Tiffany Song dan tongkat jalannya.

“Beberapa hari lalu kecelakaan. Sekarang sudah tidak apa-apa kok,” jawab Tiffany Song.

“Ayo masuk. Ini suamimu ya, dengar-dengar kamu kan sudah menikah,” balas Tante Jiang ramah.

Tiffany Song menoleh sejenak ke Karry Lian, lalu menjawab canggung: “Bukan, hanya teman.”

“Oh begitu.” Keramahan Tante Jiang sama sekali tidak berkurang, “Ayo cepat masuk. Hari sudah malam, kalian malam ini bermalam di tempatku saja. Kamu juga sudah lama tidak pulang kan, Tiffany Song. Saat nenekmu sakit parah waktu itu, tidak ada yang merawatnya. Aku sangat iba dengannya, jadi setiap hari aku datang kemari untuk merawatnya. Ketika meninggal, ia menitipkan rumah ini padaku. Ia bilang, kalau suatu hari kamu dan Callista Dong kemari, kalian bisa tinggal di sini.”

Mereka kini sudah berada di ruang utama. Mata Tiffany Song berkaca-kaca. Ia sungguh merasa kasihan dengan neneknya. Melihat raut Tiffany Song, Karry Lain menggenggam tangannya dan mengelus-elus bahunya mencoba menenangkan.

Tante Jiang terkesima melihat mereka berdua. Yang satu tampan, yang satu cantik. Semakin dilihat, ia semakin suka dengan mereka. Ia berseru: “Kalian duduk sebentar ya. Aku masakkan makanan.”

“Tidak usah repot-repot, Tante Jiang.”

“Tidak repot kok, tidak repot. Duduklah kalian.” Tante Jiang langsung bergegas ke dapur.

Tiffanny Song duduk di bangku panjang. Ia menatap puncak gunung di depan pintu sambil mengelus-elus dagu seolah tengah bernostalgia, “Aku dari kecil persis tinggal di sini. Waktu itu aku sangat takut malam hari. Setiap malam tiba, ketika melihat pohon di seberang tertiup angin, aku selalu membayangkannya sebagai hantu yang tengah melambai padaku.”

“Kamu takut hantu?” Karry Lian tertawa pelan.

Tiffany Song geleng-geleng, “Tidak khusus soal hantu sih. Saat kecil aku memang takut dengan semua hal yang tidak aku ketahui. Yang jelas, tiap malam, aku tidak berani keluar, bahkan tidak berani ke toilet.”

“Kalau begitu, kalau mau buang air bagaimana?”

Tiffany Song berpikir sejenak dan wajahnya memerah, “Ya kencing di celana.”

“Hahaha!” Karry Lian terbahak-bahak, “Kamu konyol sekali. Nenek memang tidak marah padamu?”

“Marah sih, tapi aku tetap tidak berubah juga. Nenek kemudian menyediakan pispot di kamar, tapi aku tetap saja takut turun dari ranjang dan pipis di situ. Hanya di dalam selimut aku bisa merasa aman.” Senyum Tiffany Song agak canggung. Ini memang kebodohan yang wajar dilakukan seorang anak kecil, tetapi tetap saja ia merasa agak malu.

Karry Lian geleng-geleng, “Aku kira hanya Stella Han saja yang bisa kencing di celana.”

Tiffany Song senyum-senyum sendiri. Ia menatap sekilas seluruh penjuru ruang utama. Ruang itu sangat bersih, semua barang yang ada di dalamnya masih tertata persis seperti waktu ia kecil dulu. Ia kemudian mendirikan tongkat jalannya dan berujar pada Karry Lian: “Kamu tunggu sebentar ya. Aku ke dapur lihat-lihat dulu.”

Di dapur, Tante Jiang tengah berusaha menyalakan api. Melihat kedatangan Tiffany Song, ia langsung menyuruhnya pergi, “Nini, kamu duduk saja di luar. Dapur ini sangat kotor, nanti kamu batuk-batuk.”

“Tidak masalah. Aku mau temani Tante di sini.”

“Huh, waktu berlalu cepat sekali ya. Kamu sekarang sudah dewasa saja. Kalau nenek masih hidup, ia pasti bahagia melihatmu sudah besar begini,” puji Tante Jiang.

Novel Terkait

Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
My Enchanting Guy

My Enchanting Guy

Bryan Wu
Menantu
3 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu
Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
Mr Huo’s Sweetpie

Mr Huo’s Sweetpie

Ellya
Aristocratic
3 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
3 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu