You Are My Soft Spot - Bab 138 Kamu Hanya Milikku Seorang (1)

Tahu suasana hati Tiffany Song tidak baik, Taylor Shen memutar balik mobilnya di belokan depan. Tiffany Song menatapnya kebingungan, “Kita mau ke mana?”

Taylor Shen membalas tatapannya dengan tatapan penuh rahasia, “Lihat saja sendiri nanti.”

Ini jalan menuju kawasan Kota Lama. Tiffany Song tidak tertarik bertanya lagi, sebab ia tahu Taylor Shen tidak akan pernah berhasil dibujuk untuk buka rahasia. Ke mana pun pria itu membawanya, ia percaya Taylor Shen tidak akan menjualnya.

Setengah jam kemudian, mobil berhenti di depan kompleks kota kuno. Daerah ini bekas tempat tinggal orang-orang Dinasti Ming. Meski Kota Tong sudah berkembang maju, area ini tetap dilestarikan untuk menjaga bangunan-bangunan bersejarahnya. Sebagai tempat wisata, daerah ini selalu dipenuhi wisatawan baik dari dalam kota maupun luar kota.

Langit di sini terang, udaranya pun sejuk.

Taylor Shen menggenggam tangan Tiffany Song. Mereka berjalan santai masuk ke kompleks kota kuno. Kalau dihitung-hitung, mereka jarang sekali punya kesempatan jalan santai sambil berpegangan tangan begini. Ini bisa dibilang pengalaman yang langka bagi keduanya.

Berhubung udara hari ini sejuk, wisatawan di kota kuno sangat banyak. Mereka tampan-tampan dan cantik-cantik. Meski sudah lepas gypsum dan proses pemulihannya sudah baik, namun Tiffany Song ketika berjalan masih agak pincang. Sepanjang jalan santai ini, telinganya merasa panas mendengar cemoohan orang-orang.

“Wah, pria itu tampan sekali. Sayang kok dia pilih orang pincang jadi pacarnya ya.”

“Iya tuh, iya tuh! Si pincang mending putusin saja deh, pacaran sama aku aja sini!”

Suasana hati Tiffany Song, yang dari awal sudah tidak begitu baik, jadi makin memburuk akibat cemoohan-cemoohan mereka. Di segala penjuru ada orang-orang yang menunjuk-nunjuknya sambil melirik-lirik Taylor Shen. Ia cemburu sekali.

Ke mana pun Taylor Shen pergi, ia pasti akan jadi pusat perhatian. Bukan hanya karena perawakannya tampan, namun juga karena ia punya pesona spesial yang tidak dimiliki pria-pria lain. Pesona itu membuat siapa pun yang berpapasan dengannya tidak kuasa mengabaikan kehadirannya.

“Taylor Shen, mereka sedang melirik-lirik kamu.” Karena langkah Tiffany Song semakin lama semakin pelan, Taylor Shen mau tidak mau ikut melambat. Ia tidak tertarik meladeni orang-orang tidak jelas itu, jadi ia berujar: “Tidak usah tengok kanan kiri.”

Ketika Tiffany Song berhenti melangkah karena kesakitan, Taylor Shen juga ikut berhenti melangkah. Melihat Tiffany Song sesekali menendang-nendang tanah dengan ujung sepatunya, Taylor Shen menunduk dan menatapnya lembut, “Ada apa?”

Tiffany Song merasa sangat direndahkan oleh cemoohan-cemoohan orang sekitar. Ia bergumam kesal: “Mereka barusan bilang putusi saja si pincang itu dan pacari saja mereka!”

“……” Taylor Shen sengaja mengajak Tiffany Song ke tempat yang ramai untuk membuat hatinya lebih ceria. Sungguh tidak disangka, hati Tiffany Song malah jadi kesal karena diledeki orang-orang. Ia mengelus-elus pipi Tiffany Song lalu berujar dengan serius padanya: “Tiffany Song, jangan peduli kata-kata mereka. Mereka tidak lebih dari sekadar sirik.”

Tiffany Song Dallam hati masih terpikir urusan Jennifer Li dan Wayne Shen. Kalau mereka tidak ke White Horse Temple dan tidak mengambil kertas nasib, ketika mereka putus, ia tidak akan gelisah karena putus adalah sesuatu yang sangat normal dalam hubungan asmara. Masalahnya, mereka sempat ke White Horse Temple dan kertas nasib Jennifer Li pada akhirnya terwujud. Apa selanjutnya giliran kertas nasibnya yang terwujud?

“Taylor Shen, kalau aku pincang permanen, apa kamu masih mau denganku?” tanya Tiffany Song sambil mendongak hati-hati. Ia kemudian langsung menyesal menanyakan pertanyaan ini. Ia menutup kedua telinganya dengan tangan lalu menggeleng, “Tidak, aku tidak mau dengar jawabanmu. Kita lanjut jalan saja.”

Taylor Shen menatapnya dengan tidak berdaya. Ia mengulurkan tangannya menggenggam pergelangan tangan Tiffany Song, lalu menunduk dan bertatapan sejajar dengannya: “Kamu tidak percaya diri denganku, atau tidak percaya diri dengan dirimu sendiri?”

Tiffany Song bisa membaca ketidakberdayaan sekaligus rasa sayang dalam tatapan Taylor Shen. Ia serasa mau meleleh diperhatikan begini oleh Taylor Shen. Tetapi, teringat kertas nasib sialan di White Horse Temple, hatinya langsung gundah gulana lagi.

Mungkin ini mengapa banyak orang tidak mau tahu nasib mereka. Kalau sudah tahu, mau apa-apa jadi serba salah dan khawatir.

“Aku tidak percaya diri dengan nasib.” Tiffany Song membuang nafas pasrah.

Taylor Shen mengernyitkan alis. Ia tidak begitu paham maksud kata-kata Tiffany Song. Beberapa saat kemudian, ia baru terpikir sesuatu. Ia mengelus-elus kulit pergelangan tangan Tiffany Song yang lembut, lalu berujar sungguh-sungguh, “Tiffany Song, asal kamu bergenggaman tangan denganku, nasib tidak akan membawamu pergi ke mana-mana. Kamu tidak perlu percaya diri pada nasib, percaya diri padaku saja sudah cukup kok.”

Tiffany Song refleks tersenyum, “Tapi kamunya kadang-kadang kelewatan agresif.”

“Tapi kamu suka kan?” Taylor Shen membalas senyumannya dengan senyuman tipis.

Mendengar orang-orang masih mencemoohnya, Tiffany Song berucap: “Aku lelah, gendong aku dong.”

“Siap, Tuan Putri.” Taylor Shen melepaskan tangannya dari tangan Tiffany Song, lalu berjongkok di depannya. Tiffany Song menyapu pandangannya ke orang-orang yang daritadi mencemoohnya, lalu naik ke bahu Taylor Shen dengan penuh kebanggaan.

Taylor Shen meletakkan kedua tangannya di atas lutut Tiffany Song, lalu perlahan-lahan bangkit berdiri dan mulai berjalan menggendongnya. Tiffany Song hari ini mengenakan t-shirt abu-abu lengan panjang dan jaket rajutan. Bawahannya adalah sebuah celana kain panjang dan sepasang sepatu kain santai. Rambutnya terjulur hingga bahu. Gaya berpakaian Tiffany Song hari ini mirip sekali dengan gaya berpakaian mahasiswi.

Melihat orang-orang menatap mereka berdua dengan pandangan terpesona, suasana hatinya jadi jauh lebih baik. Ia pikir, ia juga wanita yang cukup layak membanggakan diri.

Tiffany Song pelan-pelan lupa dengan semua kegundahannya. Ia sekarang paham ternyata begini rasanya digendong pria bertubuh tinggi besar. Pandangannya sangat luas tanpa terhalang kepala orang-orang depan. Ia tidak perlu berjinjit-jinjit lagi seperti biasanya.

Ia bisa melihat semua yang terhampar di depan mereka tanpa mengeluarkan usaha apa pun.

Tiffany Song berpikir, mungkin ia benar-benar sudah menua sampai mudah emosional dan khawatir seperti ini.

Dulu, saat ia baru diantar nenek ke rumah kediaman keluarga Song, Benjamin Song sangat menyayanginya. Suatu ketika, tidak jauh dari rumah mereka dihelatlah sebuah acara sirkus yang sangat menggoda untuk ditonton.

Satu tiket masuknya berharga sepuluh ribu. Lindsey Song sejak hari-hari awal sirkus itu digelar sudah diajak Nyonya Song pergi nonton. Tiffany Song juga ingin nonton. Untuk memenuhi keinginannya, Benjamin Song sembunyi-sembunyi mengumpulkan uang sepulh ribu dan membawanya pergi ke sana. Jumlah penonton sirkus sangat banyak. Ia tidak kelihatan sama sekali pertunjukkan yang tengah berlangsung.

Tiba-tiba tubuhnya terasa ringan sekali. Benjamin Song ternyata mengangkatnya dan menggendongnya di atas bahu. Saat itu ia masih kecil, ia hanya peduli dengan pertunjukkan sirkus yang ia tonton. Sekarang, kalau ia ingat-ingat, itu satu-satunya momen Benjamin Song menunjukan kasih sayang kebapakannya pada dia.

Sekarang, di punggung Taylor Shen, ia baru sadar ternyata semuanya memang sudah diatur oleh yang ada di di atas. Pria ini bisa jadi “utusan” dari langit untuk mengobati rasa hausnya akan cinta seorang ayah.

Meski tidak bisa melihat wajah Tiffany Song, Taylor Shen bisa merasakan kemurungan Tiffany Song yang semakin menjadi-jadi karena wanita itu terus terdiam. Belakangan ini, ia sering merasa pikiran Tiffany Song selalu melayang-layang jauh entah ke mana meski secara fisik jelas-jelas ada di sampingnya. Ini membuatnya khawatir dan iba.

Taylor Shen menepuk bokong Tiffany Song pelan dan menoleh sedikit, “Ada apa denganmu?”

“Agak kelelahan. Tidak tertarik lihat pemandangan lagi,” jawab Tiffany Song sambil membuang nafas panjang.

“Di depan ada satu toko dessert, kita duduk-duduk di sana ya.” Taylor Shen menggendong Tiffany Song keluar dari kerumunan lalu langsung berjalan ke arah toko itu. Pengunjung toko dessert cukup banyak. Mereka mau tidak mau harus menunggu dulu sebentar di luar baru kemudian dapat tempat duduk.

Taylor Shen mendudukkan Tiffany Song di kursi lalu pergi ke tempat pemesanan dessert. Dengar-dengar, makan dessert adalah cara paling ampuh untuk memperbaiki suasana hati seorang wanita.

Tiffany Song duduk sambil memapah dagu dengan kedua tangan. Ia mengamati Taylor Shen mengeluarkan uang dan menyerahkannya pada pelayan toko. Kalau ia ditanya kapan seorang pria terlihat paling tampan, jawabannya jelas momen ini. Pantas saja pria-pria sukses selalu disambut di mana-mana. Setiap kali mereka mengeluarkan kartu kredit atau pun uang tunai, ketampanan mereka langsung meningkat berkali-kali lipat.

Taylor Shen menaruh beberapa jenis dessert di atas meja. Ia menyerahkan semuanya itu ke hadapan Tiffany Song, lalu menatapnya dalam-dalam. Melihat Tiffany Song tersentuh dengan tindakannya, suasana hatinya jadi sangat baik. Ia berujar: “Makanlah.”

Taylor Shen sungguh rindu dengan keimutan Tiffany Song yang seperti ini. Beberapa hari ini, wajahnya selalu saja cemberut dan dingin.

Tiffany Song menunduk mengamati dessert-dessert itu satu per satu. Warna, hiasan, dan rasa yang berbeda-beda dari setiap dessert membuatnya tergoda. Ia kemudian mendongak menatap Taylor Shen: “Kamu beli sebanyak ini, kalau aku tidak bisa habiskan bagaimana?”

“Tidak bisa habiskan ya tidak apa-apa, yang penting suasana hatimu membaik seperti sedia kala.” Taylor Shen duduk di kursi seberang Tiffany Song.

“Ya sudahlah kalau begitu, maaf ya nanti kalau tidak habis.” Tiffany Song mengambil salah satu dessert, lalu menyendoknya dan memasukkannya ke mulut. Melihat Taylor Shen tidak berhenti-henti mengamatinya, ia mengambil dessert itu lagi sesendok dan menawarkannya ke Taylor Shen: “Mau coba?”

Pria itu menggeleng. Tiffany Song sontak langsung melahap dessert yang barusan ia tawarkan itu. Taylor Shen kehabisan kata-kata. Ia sebenarnya hanya berpura-pura tidak mau saja karena ingin dibujuk Tiffany Song. Ia bertanya: “Bagaimana rasanya?”

Tiffany Song menikmati dessert-nya dengan sangat lahap. Sembari makan, ia memberi penilaiannya, "Beda kelas dengan yang kamu bikinkan untukku waktu itu."

Yang waktu itu mengandung kebahagiaan. Yang hari ini sebenarnya juga mengandung, tetapi kadar kebahagiaannya tidak setinggi yang waktu itu. Mungkin memang tingkat kebahagiaan seorang wanita ada hubungannya dengan apakah pemberian si pria dibuat sendiri dengan sepenuh hati atau hanya beli dari luar.

“Berarti yang aku buat lebih enak ya,” ujar Taylor Shen bangga.

Tiffany Song terkekeh. Sambil gigit-gigit sendok, ia berkata: “Memang bagus ya sedalam ini bangga pada diri sendiri?”

“Ada yang lebih dalam.” Taylor Shen mengambil sendok dari mulut Tiffany Song, menahan dagu wanita itu, lalu mencium bibirnya melewati meja di antara mereka berdua. Mata Tiffany Song terbelalak. Di sini kan ramai sekali, Taylor Shen keterlaluan berani nih.

Taylor Shen baru melepaskan bibir Tiffany Song dengan sedikit tidak rela setelah menciumi cukup lama. Menatap sepasang mata jernih Tiffany Song, jantungnya berdebar kencang. Sungguh, cium selama apa pun tidak pernah terasa cukup.

......

Selesai makan dessert, mereka jalan ke Jalan Mingqing. Jalan ini punya sejarah panjang. Tapaknya yang berbatu abu-abu membuat nampak sangat klasik. Pohon-pohon dengan daun-daun yang berguguran di kedua sisinya menjadikannya mirip seperti jalanan tempat syuting film-film romantis.

Tiffany Song bergandengan tangan dengan Taylor Shen. Ketika melewati sebuah studio foto, Tiffany Song menengok sejenak ke dalam. Ia terkesima dengan sebuah seragam sekolah yang tergantung di etalase studio. Itu seragam sekolah kuno gadis-gadis Tiongkok dulu. Ia menarik tangan Taylor Shen ke sana: “Kita masuk lihat-lihat yuk.”

“Mau foto?” Taylor Shen tidak habis pikir, dari tadi mereka sudah melewati sederet studio foto bergaya kuno, namun Tiffany Song tidak menunjukkan ketertarikan sama sekali. Mengapa tiba-tiba ia jadi berubah begini?

Mereka berdua masuk ke studio foto. Gaya arsitektur studio foto ini bisa dibilang merupakan perpaduan dari gaya modern dan gaya kuno. Bosnya seorang nyonya paruh baya. Nyonya itu mengenakan cheongsam dan rambutnya terikat seleher.

Melihat kedatangan mereka, ia bertanya: “Mau foto ya?”

Tiffany Song mendekat ke seragam sekolah yang menarik perhatiannya tadi: “Kalau foto sekarang, jadinya berapa lama lagi?”

“Kalau mau langsung diproses sepuluh menit saja.”

Tiffany Song menoleh ke Taylor Shen: “Seragam itu lucu sekali. Aku sangat suka seragam gadis model begitu. Kita foto sekali ya. Aku pakai seragam itu, kamu pakai jas Zhongshan.”

Bos studio foto melirik Taylor Shen. Ia tertawa: “Kekasihmu kreatif juga ya. Kebetulan aku ada satu jas Zhongshan yang baru beli, pasti sangat cocok denganmu.”

Taylor Shen mengernyitkan alis, “Aduh, jangan aneh-aneh deh.”

“Ah, satu foto saja. Ayolah, aku mohon. Ya ya ya?” Tiffany Song menggenggam erat-erat tangan Taylor Shen dengan memperlihatkan wajah manja.

Taylor Shen menunduk. Melihat wajah manja wanita itu, ia tidak punya pilihan selain mengangguk mengiyakan. Ia tidak ingin membuat Tiffany Song kecewa, meski ia tidak yakin studio foto kecil macam ini bisa menghasilkan foto yang bagus.

Tiffany Song dengan riang mengambil seragam tadi dan berganti pakaian di ruang ganti. Taylor Shen menerima jas Zhongshan sodoran si bos studio dan bergegas ke ruang ganti pria. Warna jas itu biru keabu-abuan, persis dengan yang ada di film-film.

Tiffany Song dengan cepat keluar dari ruang ganti. Bos studio foto mendandaninya sebentar dan memasangkan jepitan rambut di sisi kanan kepalanya. Ia terlihat anggun sekali layaknya putri terpandang dari keluarga kerajaan.

Taylor Shen tidak lama kemudian juga keluar dari ruang ganti. Melihat pria itu melangkah perlahan menghampirinya, mata sipitnya menyiratkan keterkejutan dan keterpesonaan.

Taylor Shen yang kini memakai jas Zhongshan terlihat sangat berwibawa dan dewasa.

Taylor Shen berdiri di sebelah Tiffany Song. Melihat mulut wanita itu ternganga tipis, ia meledek: “Air liurmu menetes tuh.”

Tiffany Song mengusap-usap pinggir bibirnya dengan terperangah. Air liur dari mana? Taylor Shen terkekeh melihat respon Tiffany Song yang salah tingkah. Ia menunduk dan menatap wanita itu dari atas ke bawah. Tiffany Song yang mengenakan seragam dan ikat rambut di samping sungguh menawan. Ia tidak kuasa mengalihkan pandangan dari sosoknya.

Novel Terkait

My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
3 tahun yang lalu
Istri Direktur Kemarilah

Istri Direktur Kemarilah

Helen
Romantis
3 tahun yang lalu
Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Diamond Lover

Diamond Lover

Lena
Kejam
4 tahun yang lalu
My Enchanting Guy

My Enchanting Guy

Bryan Wu
Menantu
3 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Beautiful Lady

Beautiful Lady

Elsa
Percintaan
3 tahun yang lalu
Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
3 tahun yang lalu