You Are My Soft Spot - Bab 410 Aku Bawa Kamu Pergi (2)

Erin naik lift dan mampir ke ruang sekretaris. Di sana, ia mengambil dua porsi dessert buat dirinya sendiri dan James He, lalu memberikan sisanya buat Thomas Ji untuk diberikan ke para staf di ruangan. Si asisten James He itu mengucap terima kasih berkali-kali.

Si wanita menenteng sisa dessert ke ruang kerja CEO. Di depan ruangan, ia mengetuk pintu dan mendengar kata “masuk” dari dalam. Kata itu terdengar dingin dan tidak bersemangat, ia dibuat sedih mendengarnya. Erin membuka pintu ruang kerja James He dan bergegas masuk.

Mata si pria, yang lagi duduk tenang di kursi kerja, berbinar melihat sosok yang datang. Ia langsung bangkit berdiri dan bahkan lupa dengan sariawannya yang parah. Si pria menyambut Erin: “Kok kamu bisa kemari?”

“Kebetulan lagi lewat sini, jadi ingin tengok kamu. Mulutmu kenapa?” Tadi, mendengar kabar James He sakit, hati Erin iba. Sekarang, melihat air mukanya tidak begitu baik, ia jadi makin iba. Hanya tidak bertemu satu hari, mengapa James He sakit sampai begini rupa?

James He menghampiri Erin dengan cepat. Tanpa memedulikan pertanyaan si wanita, ia langsung mendepaknya dengan erat. Pelukan ini membuat raut wajahnya jadi lebih baik. Ia juga mengelus-elus rambut Erin sambil menciumi bau helaian rambut itu. Meski suasana hatinya masih belum sebaik waktu normal, James He kini sudah niat bilang yang manis-manis. Ia berucap, “Aku rindu kamu.”

Hati Erin terasa seperti diremas sebuah tangan besar. Ia mengulurkan tangan dan memeluk si pria balik, lalu membalas dengan mata yang terasa menghangat, “Maaf!”

James He tidak menyangka wanitanya bakal tiba-tiba berucap kata maaf. Ia melepaskan pelukan mereka dan menatap Erin dengan tidak puas: “Kok minta maaf, harusnya lakukan sesuatu yang lain dong. Ah, aku kecewa.”

Daritadi bisa bicara, James He baru sadar bibir dalamnya sakit sampai mati rasa.

Mata Erin berkaca-kaca melihat perangai sebal James He. Ia semalam sudah memikirkan soal masa depan mereka. Ia sungguh tidak sanggup menahan desakan mamanya. Si wanita dari awal sudah tahu bahwa hari ini bakal terjadi, tetapi tidak menyangka bakal datang secepat itu. Hatinya masih belum bisa menerima kenyataan, hatinya masih terasa pedih seperti ditusuk-tusuk oleh pisau.

“Maaf!” kata Erin sekali lagi dengan pilu. Ia semalam sudah terpikir untuk meninggalkan James He, namun tidak kuasa untuk melakukannya. Jujur, ia lebih milih mati saja daripada harus melanjutkan hidup tanpa sosok si pria.

“Mulutku sakit, tiup-tiup dong.” Melihat mata Erin yang berair, James He entah mengapa ingin manja-manjaan. Ia semalam sebenarnya menunggu cukup lama di bawah apartemen, namun ia sungguh tidak siap menemui Erin dengan membawa hati yang kacau.

Berhadapan dengan Bibi Yun, James He merasakan pukulan kegagalan yang belum pernah ia alami.

Si wanita mengelap air mata dengan punggung tangan, lalu mendongak menatap wajah pria yang berdiri sangat dekat darinya. James He adalah pria yang gagah dan tinggi besar, tetapi di hadapan dirinya dia melepaskan segalanya dan memilih bersikap manja.

Erin berujar: “Aku cuci tangan dulu.”

Erin melepaskan pelukan James He, berbalik badan, dan bergegas ke toilet di ruang istirahat. Sekembalinya dari sana, ia melihat James He lagi menatap dirinya lekat-lekat sambil bersandar di pintu. Ia menghampirinya dengan perlahan, lalu berjinjit di hadapannya. Dengan natural, James He merangkul pinggang Erin dan mengamati dua jari si wanita memegang-megang bibirnya.

James He tidak tahan untuk menelah ludah dan memainkan jakun. Setelah beberapa tiupan, ia merasa area mulutnya yang pedih jadi lebih adem.

Sembari meniup-niup mulut James He, Erin mencari-cari di mana letak sariawannya. Ia lalu menjumpai sariawan si pria sudah parah sampai-sampai berwarna putih. Kelar meniup, ia protes: “Sudah parah begini, mengapa tidak berobat ke dokter rumah sakit sih?”

“Soalnya ingin membuatmu iba,” jawab James He serang. Pria itu mengencangkan pegangannya ke pinggang Erin seperti ingin memasukkannya ke dalam tulang-tulangnya.

Hati Erin berdesir, matanya berkaca-kaca lagi. Ia menunduk dan bertanya, “Ada obat? Biar aku kasih obat.”

James He menggeleng. Ia sengaja tidak bilang soal obat semprot yang barusan diberikan Thomas Ji karena ingin bermanja-manjaan dalam pelukan kekasihnya. Ia ingin Erin kasihan padanya, semakin kasihan maka semakin baik. Gila, kemasukan apa sih dia sampai bertingkah aneh begini!

Si wanita teringat es krim yang barusan dibeli. Kebetulan sekali, makan yang dingin-dingin bisa meredakan rasa perih di mulut. Ia menggandeng tangan si pria dan mendudukkannya di sofa, lalu mengambil kantong plastik berisi es krim dan membuka salah satunya.

“Makan yang dingin-dingin biar baikan. Aku beli obat dulu,” kata Erin sambil menyodorkan es krim yang habis dibuka. Es krim terlihat agak meleleh, mungkin karena sudah cukup lama berada di ruangan tertutup yang punya alat pemanas.

James He agak jijik melihat eskrim yang warnanya kekuningan dan sudah agak hancur. Ia menatap Erin lagi dan menolak dengan manja: “Aku tidak ingin makan es krim.”

Eriin menggeleng pasrah, “Sepertinya penyakitmu itu mempengaruhi nafsu makan juga ya, tapi es krimnya sungguh enak. Kamu harus coba.”

Melihat dirinya dimanjakan bagai anak kecil oleh Erin, hati James he terenyuh. Ketika membayangkan bahwa anak mereka juga akan dibujuk dengan sabar dan lembut begini, sudut bibir si pria terangkat senang. Meski begitu, ketika wajah Bibi Yun tiba-tiba muncul di benaknya, senyum James He langsung memundar.

Urusan calon mama iparnya belum diselesaikan tuh, kok sekarang sudah berpikir soal anak!

James He dengan patuh makan sesendok es krim. Ia tidak suka rasa manga, jadi mengernyitkan alis dengan tidak senang. Erin tahu James He tidak suka makan manga, namun terus membujuknya untuk tetap makan. Tanpa sadar, segelas mangkuk eskrim akhirnya lenyap dimakan oleh si pria.

Erin membuang tempat es krim ke tong sampah. Ketika ia bersiap pergi beli obat, pergelangan tangannya ditahan oleh James He. Pria itu kemudian berkata: “Di meja ada obat, ambil saja itu.”

Si wanita menatap wajah si pria dan dibuat terenyuh dengan tawa renyahnya. Tanpa menjadi kesal karena sudah dititpi, Erin mengambil obat yang barusan dibilang. Obat semprot sariawan rasa semangka ini sangat efektif, hanya sensasinya memang sangat tidak enak sih……

Erin menyemprotkan obat ke sariawan James He, lalu mengingatkannya untuk tidak bicara dan tidak minum beberapa saat. Si pria mengulurkan kedua tangan, merangkul Erin, dan meletakkan dagu di bahunya. Hatinya sekarang jujur sedikit sedih. Ia hebat begini, kok Bibi Yun tidak mau juga mengizinkan Erin menikah dengannya sih?

Mereka berdua berpelukan dalam diam sekitar satu menit, lalu James He memecah keheningan: “Erin, aku kemarin sudah menemui Bibi Yun.”

Yang diajak bicara langsung menoleh pada si pria. Teringat pembicaraan telepon dengan mamanya semalam, emosi Erin jadi agak terpancing. Ia berujar tidak senang: “James He, kata-katamu tidak bisa dipegang. Kamu sudah janji bahwa kamu tidak akan bicara dengannya.”

James He juga agak terusik karena ditanggapi begitu, namun memutuskan menahan diri. Ia bertanya tenang: “Memang kamu bisa menyembunyikan ini terus? Daripada pasif, lebih baik kita berinisiatif. Erin, tekadku untuk memilikimu tidak pernah berubah sedikit pun.”

Telinga Erin berdengung. Ia saat ini hanya memutar-mutar perkataan mamanya tanpa bisa mendengarkan ucapan orang lain. Ia bertanya balik: “Mengapa semua harus seperti ini? Aku hanya ingin berada di sebelahmu, mengapa mereka semua melawan aku?”

James He mengernyitkan alis. Tahu Erin sudah mau kehilangan kendali atas emosinya, si pria memilih tidak memperpanjang perdebatan, “Erin, bergadengan tanganlah denganku dalam menghadapi tantangan ini. Aku yakin Bibi Yun pada akhirnya akan berubah pikiran.”

Erin menggeleng, “Kamu tidak paham dia kah? Dia bilang dia lebih setuju aku jadi biksu wanita daripada berpasangan denganmu. James He, tolong jangan paksa aku.”

Tangan James He yang lagi merangkul Erin refleks menegang. Ia bertanya marah: “Mengapa mencoba saja kamu tidak mau? Erin, masak kamu tidak ingin menghabiskan sisa hidup denganku?”

Erin jadi agak kesulitan bernafas karena dipeluk dengan makin erat. Ia membuang muka dan berucap lirih, “Mamaku sudah seumur hidup jadi asisten rumah keluarga He. Di hatinya, kamu dan keluargamu adalah dewa yang suci dan berkedudukan tinggi. Ia tidak bisa menerima fakta bahwa kamu bakal jadi menantunya. James He, sejak awal kita berpasangan, aku sudah bilang kita tidak punya masa depan.”

“Omong kosong!” James He kini kesal sampai tidak tahan bicara kasar, “Sekali lagi kamu bilang dewa, suci, dan sebagainya, aku bunuh nih kamu.”

Semalaman kemarin, James He sudah mau gila karena terus mengingat-ingat kalimat “Erin tidak cocok denganmu”. Bagi dirinya, cocok atau tidak cocoknya mereka ditentukan oleh dirinya dan bukan orang lain! Sekarang, mendengar argumen Erin, emosinya jadi makin melonjak.

Cepat atau lambat, ia sepertinya bakal dibuat gila oleh sepasang ibu dan anak ini!

“……” Erin merasakan dada James He naik turun dengan cepat. Wah, James He sudah siap meledak nih…… Ia membuang nafas pasrah: “James He, aku sangat bahagia bisa dekat denganmu, tetapi kita begini saja ya? Kamu bisa nikahi wanita yang status sosialnya setara.”

Si pria menggeretakkan gigi dan bertanya “Apa yang kamu maksud dengan begini saja?”

“Aku tidak menikah, aku terus ada di sisimu sampai hari di mana kamu tidak menginginkanku lagi.” Inilah hasil dari pemikiran mendalam Erin semalam.

James He tersenyum dingin, “Kamu punya keberanian buat jadi wanita gelap di luar istri sahku, tetapi mengapa kamu tidak punya keberanian buat berjuang bersamaku? Kalau hasil akhirnya tidak sesuai dengan yang kita inginkan, aku akan membawamu pergi dari sini.”

“James He, kita tidak boleh egois begini. Kamu adalah satu-satunya calon penerus keluarga He,” balas Erin dengan alis terangkat. Ia sekarang sudah bersedia jadi wanita simpanan si pria dengan mengabaikan etika-etika yang selama ini dipegangnya, tetapi mengapa James He masih bersikeras juga dengan idenya buat menikah?

“Erin, dengar baik-baik perkataanku. Tidak peduli apa saja yang kamu pikirkan, kubur dalam-dalam semua itu. Seumur hidup ini, wanita yang mau aku nikahi cuma kamu. Kalau kamu hidup aku akan menikahi kamu dalam kondisi hidup, kalau kamu mati aku akan menikahi mayatmu. Jangan berpikir untuk kabur dariku!” tutup James He sambil menatap Erin dingin. Nada bicaranya tidak menyiratkan kelembutan sama sekali. Yang ada di sana hanya intimidasi.

Anehnya, si wanita malah tersentuh oleh kekerasan hati si pria sampai berkaca-kaca. Ia tahu dirinya terlalu lemah dalam polemik menghadapi mamanya sendiri. Belum mulai saja, ia sudah mau mengibarkan bendera putih duluan. Ini karena mama sudah lama mewanti-wantinya soal syarat kesetaraan status sosial dalam pernikahan, juga karena ia tidak mau membuat mamanya bersedih.

Kalau pernikahan dirinya diwujudkan dengan cara memaksa mamanya, Erin percaya ia tidak akan bisa bahagia lagi baik di kehidupan ini mau pun kehidupan berikutnya.

“James He……” Belum menyampaikan apa yang ingin dikatakannya, Erin sudah menangis duluan. Wanita itu membenamkan kepala dalam dada si pria. Selain tersentuh, ia juga merasa cemas dengan sesuatu soal masa depan.

“Erin, sehabis pernikahan Vero He berlalu, ayo kita jujur soal hubungan kita pada keluarga. Tidak peduli sesulit apa langkah ke depan, asalkan kita bergandengan tangan dengan erat, aku yakin kita bakal bisa melalui semuanya,” kata James He sungguh-sungguh.

“Kalau…… Aku hanya bilang kalau, kalau mereka semua tidak merestui bagaimana?”

“Aku bawa kamu pergi!” jawabnya tanpa ragu. Demi Erin, ia rela kehilangan apa pun!

Erin mengangguk kencang, “Baik!”

James He merasa sangat lega seperti habis melepaskan suatu beban berat. Ia mengelus pelan rambut Erin sambil mengecup bibirnya dan meyakinkan: “Kamu punya aku, jadi jangan takut.”

“Iya.”

Pernikahan Taylor Shen dan Vero He berjalan lancar tanpa mengalami satu pun insiden. Selain itu, ruang pestanya juga sangat mewah dan luas. Sehabis acara, mereka berdua malam harinya langsung terbang ke Prancis untuk berbulan madu.

Sementara itu, James He membawa Erin ke rumah kediaman keluarga He. Di luar vila, Erin sangat gugup sampai tangannya berkeringat. Si wanita berkata gelisah: “James He, bagaimana kalau kita tunda rencana ini? Nanti-nanti saja bicaranya.”

Tatapan si pria sangat penuh keyakinan. Ia mengelus-elus punggung tangan Erin dengan satu tangannya yang lain, kemudian menenangkan: “Erin, jangan takut. Aku akan buat semuanya setuju, percayalah.”

Mendapat tatapan begitu dari si pria, keberanian Erin perlahan pulih. Dua hari ini mama terus meneleponnya, namun ia terus mendiamkan. Ia sudah tahu apa yang mau dikatakan ke si mama dalam waktu dekat, jadi takut kehilangan kontrol diri bila berbincang dengannya di telepon. Mungkin mama belakangan semakin mendesak ia cari jodoh karena Vero He, yang berusia tidak jauh beda darinya, sudah menikah……

Novel Terkait

Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Shuran
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
4 tahun yang lalu
Mendadak Kaya Raya

Mendadak Kaya Raya

Tirta Ardani
Menantu
4 tahun yang lalu
Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
3 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Blooming at that time

Blooming at that time

White Rose
Percintaan
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
3 tahun yang lalu
PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

Chantie Lee
Balas Dendam
3 tahun yang lalu