You Are My Soft Spot - Bab 219 Darah Daging Sendiri Pun Tidak Dibela (3)

Vero He gigit-gigit bibir dengan kencang, bahkan hingga bibir itu luka. Hatinya sudah lama mati rasa, jadi ia tidak bisa merasakan rasa sakit sama sekali. Wanita itu melempar hasil penyelidikan ke si pria, lalu berbalik badan dan berkata: “Kalau kamu mencariku untuk menyelidiki realitas insiden itu, kamu sudah salah orang. Kamu seharusnya mencari detektif.”

Setelah itu ia pun langsung melangkah cepat ke pintu.

Taylor Shen segera menyusul dan akhirnya bisa menggapai tangannya persis saat dia buka pintu. Tangan keduanya kini bertumpukan di gagang pintu. Ia menatap si wanita dan meminta, “Tiffany Song, perjelas kata-katamu. Tadi kamu bilang aku tidak mau kalian lagi. Kalian itu kamu dan siapa?”

“Hatimu memang tidak tahu? Aku waktu itu telepon kamu dan memintamu menolong kami, tetapi kamu tidak bergeming. Taylor Shen, kamu sudah menelantarkan kami, masak kamu tidak malu untuk kembali berhadapan dengan kami?” amuk Vero He.

Taylor Shen melipat dahi, “Apa yang kamu bicarakan? Aku tidak paham. Aku tidak pernah menerima teleponmu.”

“Benar-benar tidak pernah atau tidak mau mengaku saja? Kamu pernah bilang kamu tidak pernah ganti nomor. Aku yakin tidak salah nomor, juga yakin suara yang kudengar dari seberang adalah suaramu. Aku dengar dengan jelas kamu bilang kamu tidak kenal aku dan menyuruh penculik membunuhku. Taylor Shen, kamu kejam sekali sampai darah dagingmu sendiri pun tidak kamu bela,” tuding si wanita.

Kepala Taylor Shen terasa berdengung hebat. Ia tidak memerhatikan kata-kata apa pun lagi selain “darah dagingmu sendiri”. Benak kepala itu lalu kosong, apa maksud darah dagingmu sendiri......

Vero He menyangka Taylor Shen pura-pura bodoh. Ia mendorong si pria dan membuka pintu, sayangnya pintu sedetik kemudian kembali ditutup. Taylor Shen kembali mendekatinya dan bertanya dengan tatapan setengah tidak percaya, “Tiffany Song, apa yang kamu bicarakan! Katakan sekali lagi!”

Air mata Vero He perlahan mengalir keluar. Ia dalam hati terus mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak menangis, sebab tangisannya akan jadi kehabagiaan bagi si pria. Meski begitu, hatinya tetap sangat sakit ketika teringat masa lalu yang satu ini, “Aku tidak ingin berbicara denganmu. Lepaskan, lepaskan!”

Hati Taylor Shen iba melihat Vero He menangis, tetapi ia tetap harus mengejar maksud kata-katanya. Ia sepertinya sudah melewatkan satu informasi yang sangat penting. Ia meminta lagi, “Tiffany Song, jelaskan, jelaskan padamu apa yang kamu maksud dengan darah dagingku. Kamu sempat punya anak hasil hubungan kita?”

Selama ini menahan, akhirnya kata-kata ini terucap dari mulut juga. Ia sebenarnya ingin memberitahu rahasia ini setelah Taylor Shen tidak punya apa-apa lagi, tetapi ternyata terucapnya sekarang. Ia mengiyakan, “Benar, tebakanmu tidak keliru. Aku pernah punya seorang putri bernama Anna. Ia......”

Mengingat masa lalu sungguh menyedihkan. Setiap kali teringat Anna, Vero He langsung benci diri sendiri, benci mengapa dirinya tidak melindungi Anna baik-baik.

Pandangan Taylor Shen makin tajam. Ia memegang lengan Vero He dan bertanya panik: “Ia kenapa? Ia di mana?”

“Ia sudah meninggal,” jawab si wanita dengan mata terpejam. Anna-ku yang malang, kasihan sekali kamu meninggal setragis itu. Kalau bisa, ia malah berharap anak itu tidak pernah terlahir di bumi. Vero He mengulangi kalimatnya lagi dengan keras, “Ia sudah tiada! Puas kamu!”

Tangan besar yang mencengkram lengan si wanita langsung lepas. Taylor Shen mundur-mundur ke belakang saking kagetnya, wajahnya juga pucat. Ia tadi sangat penasaran mendengar kata “darah dagingmu sendiri”, namun sekarang ia hancur. Sudah wafat? Anak mereka sudah wafat? Ia bahkan belum pernah melihat wajahnya dan memeluknya!

Melihat Taylor Shen hancur begini, hati Vero He terasa senang dan lega. Setidaknya, ia bisa memberi hantaman ini dulu sebelum hantaman-hantaman yang berikutnya. Wanita itu menegur, “Taylor Shen, jangan sok sedih begini. Kamu sudah tidak bersedia menolongku, juga membunuh dia. Aku selamanya tidak akan memberikan maaf buatmu!”

Vero He lalu membanting pintu dan berlari keluar.

Taylor Shen berdiri di tempat tanpa memerhatikan satu kata pun dari teguran Vero He. Otaknya terus mengulang-ulang ucapan “ia sudah meninggal”. Pria itu juga teringat putri Jordan Bo yang lucu, lincah, dan lembut dipeluk, siapa lagi kalau bukan Evelyn. Ia berarti juga punya anak lucu macam ini, namun sudah meninggal. Sebelum ia tahu ada anak itu di dunia ini, anak itu sudah meninggal duluan……

Taylor Shen terduduk di lantai dengan kedua tangan menutupi wajah. Air mata perlahan mengalir keluar akibat rasa sakit yang ia rasakan di dada. Anaknya, anak itu lebih mirip dirinya atau Tiffany Song? Kalau mirip Tiffany Song, ia pasti juga terlihat menawan di antara anak-anak seusianya. Taylor Shen pasti tidak akan rela mengizinkannya menikah dan pergi dari rumah.

Tetapi ini semua hanya sebatas awang-awang. Ia bahkan belum pernah bertemu dengannya, anak itu sudah meninggal sebelum keburu tumbuh besar!

Rongga hati Taylor Shen penuh kepiluan. Ia tiba-tiba paham mengapa Tiffany Song tidak mau memaafkannya. Ternyata, ia sudah membuat wanita itu kehilangan jauh lebih banyak daripada yang ia bayangkan. Satu kekeliruan berujur pada banyak sekali kehilangan, oh kejamnya dunia!

“Argghh!” Taylor Shen menengadahkan kepala bagai minta petunjuk langit. Kata-kata Tiffany Song benar. Mau tau sebanyak apa pun soal kenyataan yang sebenarnya, ia tidak akan bisa menghadirkan kembali kehilangan-kehilangan yang dialami si wanita.

Perawat di luar mendengar teriakan Taylor Shen, lalu buru-buru masuk karena khawatir terjadi sesuatu. Pemandangan yang muncul di hadapannya adalah pasien pria terduduk di lantai dan menangis bagai anak kecil. Hatinya langsung bertanya-tanya, ini masih pria yang dibilang sempurna di luaran sana?

......

Vero He berlari keluar rumah sakit dengan kencang bagai lalat yang menyerbu makanan. Ia akhirnya mengungkap soal Anna, namun hatinya tidak lega seperti yang dibayangkan, bahkan malah jadi lebih sakit. Tatapannya kabur karena matanya penuh air mata, hatinya sungguh pedih.

Ternyata ada beberapa rasa sakit yang memang tidak bisa distop. Sekali pun sudah dimuntahkan keluar, rasa sakit itu akan tetap ada di hati.

Anaknya sudah tidak bisa kembali lagi. Ini kenyataan pahit yang tidak bisa ia terima.

Vero He terus berjalan lurus. Ia tidak tahu ia mau kemana, juga tidak tahu seharusnya ke mana. Ia hanya tahu ia harus terus berjalan sampai ke tempat yang tidak bisa ditemukan orang-orang dan menangis sejadi-jadinya di sana.

Tiba-tiba, dari samping terdengar suara lembut seorang pria. Vero He menoleh ke sumber suara itu. Si pria terlihat sangat familiar, namun Vero He lupa namanya. Ia hanya menatapnya dengan pikiran kosong.

Fabio Jin tadi baru keluar dari kedai kopi ketika melihat seorang wanita berjalan dengan kaki telanjang sembari menenteng sepatu hak tinggi. Ia mencoba menatap wanita itu lebih lama, lalu makin lama makin merasa familiar. Pria itu bertanya: “Vero He, kok kamu bisa di sini?”

Vero He menoleh. Saking sedang sensitifnya, pertanyaan Fabio Jin berasa seperti gigitan di hati. Ia juga tidak tahu mengapa dia bisa ada di sini bagai anak anjing yang diabaikan seluruh dunia.

Di benak si wanita akhirnya terlintas nama si pria. Ia memaksakaan diri tersenyum dengan air mata yang tetap mengalir pelan. Bukannya membuat orang terhibur, senyuman itu malah memberi kesan sangat dibuat-buat. Fabio Jin menutup matanya sendiri dan mendesah pasrah: “Jangan tertawa, tawa yang dipaksakan malah bikin aku makin iba.”

Yang ditegur akhirnya malah menangis sejadi-jadinya, lagi-lagi karena sedang sangat emosional. Orang-orang sekitar yang lalu lalang mengamati mereka keheranan, ada pula beberapa orang yang berbisik dan menuding Fabio Jin pria jahat karena membuat wanita menangis sampai begitu.

Fabio Jin mengamati Vero He yang menangis kencang sampai sekujur tubuhnya bergetar. Ia mendesah pasrah lagi. Dalam hati ia berpikir, mengapa setiap kali berjumpa Vero He selalu menangis? Pria itu akhirnya mendekap si wanita dalam pelukan dan bertanya lembut: “Vero He, apa yang terjadi?”

Si wanita menggeleng kencang sampai air matanya jatuh ke lengan si pria. Fabio Jin memutuskan membopong Vero He ke hotel bintang lima terdekat. Lebih baik ia menangis di kamar daripada di tempat umum, begitu pertimbangannya.

Setelah membuka kamar, Fabio Jin membopong Vero He yang masih terus gemetar masuk. Pria itu lalu membaringkannya di sofa. Perhatian Fabio Jin tidak berhenti di sini. Selepas itu, si pria mengambil sapu tangan dan baskom, lalu menampung air panas di baskom tersebut untuk diusapkan ke wajah Vero He.

Semua dandanan Vero He sudah luntur karena menangis. Sekujur matanya hitam bagai panda, tetapi itu tidak membuat Fabio Jin merasa lucu sedikit pun. Ia curiga, tangisan Vero He sembilan puluh sembilan persen pasti ada hubungannya dengan Taylor Shen.

Pikiran wanita ini sedikit banyak bisa ia tebak.

Setelah mengusapkan wajah Vero He dengan air hangat, Fabio Jin pergi ke kamar mandi untuk menaruh sapu tangan. Saat ia kembali, wajah Vero He sudah kembali basah karena air mata. Pria itu membuang nafas panjang: “Vero He, kalau semuanya memang sangat menyakitkan, mengapa tidak mencoba melepas? Mungkin dengan melepas, kamu bisa bebas dari rasa sakit.”

Si wanita tidak menjawab karena masih fokus dengan kesedihan. Fabio Jin mengalah dan duduk di sebelahnya tanpa mengajak bicara lagi. Orang ini terbuat dari air ya, kok bisa mengeluarkan air mata terus sih?

Sepanjang kenal dengan Vero He, Fabio Jin merasa wanita ini punya banyak sekali kekhawatiran. Yang unik namun sekaligus juga tragis adalah semua kekhawatiran itu ada hubungannya dengan Taylor Shen. Ia tidak bisa mengatasi ini, ia hanya bisa menuntun Vero He untuk memandangi masa depan yang penuh optimisme dibanding terus berkutat ke masa lalu.

Fabio Jin memeluk Vero He erat-erat, meskipun wanita itu menangis di hadapannya karena pria lain. Ia hanya berharap wanita malang ini bisa melepas semuanya dan bersiap mulai yang baru sesudah kelar menangis.

Vero He bersandar di bahu Fabio Jin dengan lemah. Mungkin karena kelelahan menangis, suara isakannya makin lama makin pelan dan akhirnya hanya menyisakan nafas yang tersengal. Tersengal sekali, tersengal dua kali, tersengal tiga kali......

Fabio Jin berusaha menenangkan dengan mengelus-elus punggungnaya. Ia terus mempertahankan posisi ini meski tangannya sudah kesemutan. Kemarin malam, setelah ia mengantarnya pulang, mama memanggilnya ke kamar dan bertanya pendapatnya soal Vero He.

Fabio Jin menjawab sejujur-jujurnya. Ia bilang, “Vero He selalu membuatku iba.”

Mama terdiam sejenak, lalu membalas: “Fabio Jin, kamu tahu kan keluarga kita dan keluarga He adalah sahabat lama, bahkan Paman He juga menganggapmu sebagai putranya sendiri. Vero He adalah putri Paman He yang lama ditinggal di luar. Lima tahun lalu, keluarga He baru menemukannya kembali. Ia sampai sekarang sangat sedih dengan semua yang dialami Vero He. Maksudku adalah, kalau kalian berdua saling cinta tunangan lah dulu, bagaimana menurutmu?”

Si anak teringat kejadian saat Taylor Shen berlari keluar lift dengan mengenakan piyama mandi. Raut “lawan cinta”-nya itu terlihat sangat khawatir dan penuh perhatian. Ia menanggapi: “Aku sendiri tidak masalah, tetapi hati Vero He sepertinya sudah tertambat ke pria lain.”

Mama merespon: “Aku mau bicara jujur tanpa menyembunyikan apa-apa. Kamu tahu kan Vero He itu dulu Tiffany Song? Anak ini sudah kena banyak sekali masalah, suaminya sampai sekarang bahkan belum mau melepaskannya. Hubungan mereka sangat tidak sehat, jadi Paman He khawatir anaknya itu akan kembali disakiti dan berharap ia bisa cari pria lain. Fabio Jin, mama pernah berjumpa dengannya dan cukup suka. Kalau kamu ragu-ragu, aku sebenarnya tidak masalah untuk menolak ide Paman He.”

Si anak tertawa: “Pemikiranmu terbuka juga ya. Biasa ibu-ibu tidak mau putranya menikahi wanita yang sudah pernah menikah sekali sebelumnya. Kamu malah membolehkan.”

Mama membenarkan: “Kamu salah, dia pernah menikah dua kali, bukan satu kali.”

Fabio Jin mengamati wanita yang kini sudah terlelap dengan bersandar pada bahunya. Mama bilang ia sudah menikah dua kali, sebenarnya tidak apa-apa kok. Mereka semua pasti juga sangat sayang dan peduli dengannya. Ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan si wanita. Lima jari keduanya saling bertimpaan satu sama lain, inilah yang dinamakan “saling melengkapi.”

“Vero He, aku tidak yakin apa aku merupakan kebahagiaan yang kamu inginkan atau tidak, tetapi aku mau mencoba. Aku ingin coba melindungimu dan merawatmu, biar kamu tidak menderita, mondar-mandir kesana kemari, dan punya sandaran saat sedih. Kalau kamu tidak jawab, aku anggap kamu mengiyakan.” Fabio Jin mendiamkan sebentar, jelas tidak dijawab karena si wanita sudah tidur. Ia lalu mengulurkan kelilingnya ke kelingking Vero He dan menyilangkan keduanya, “Baik, kamu mengiyakan. Kedepannya jangan begini lagi, kalau mau menangis menangislah di pelukanku dan jangan kesana-kemari. Aku jadi ikut sedih melihatnya.”

Novel Terkait

Eternal Love

Eternal Love

Regina Wang
CEO
4 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
5 tahun yang lalu
Asisten Bos Cantik

Asisten Bos Cantik

Boris Drey
Perkotaan
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
4 tahun yang lalu
Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu