You Are My Soft Spot - Bab 353 Buat Apa Keras Kepala Sih? (3)

Papa Han adalah orang desa yang pengetahuannya terbatas. Melihat kedatangan beberapa pria kota yang berperangai sangat berbeda dari penduduk desa, ia langsung tahu mereka semua tajir dan terhormat. Takut dirinya membuat mereka jadi tidak senang dan mempersulit Stella Han di kantor, ia bertanya lagi untuk memastikan: “Benar-benar tidak perlu tanya?”

“Tidak perlu. Kamu masuk saja dulu, aku sebentar lagi bicara dengan mereka,” kata si anak memenangkan. Ketakutan papa dan mama ini juga yang jadi alasan lain Stella Han sungkan bercerita soal pernikahannya dengan Jordan Bo.

Papa Han mengingatkan: “Baik. Bicaralah baik-baik, jangan sampai atasanmu tidak senang dan mempersulitmu di kantor. Aku sudah menyuruh mama menyiapkan ayam liar dan telur ayam kampung buat oleh-oleh mereka. Kebetulan, di kota dua hal ini juga susah dicari kan?”

“Pa, tidak usah repot-repot. Sungguh.” Stella Han jadi sedih melihat tingkah papanya. Papa bisa jadi begini karena dirinya sendiri…… Papa Han melambaikan tangan dan masuk rumah.

Si wanita menghampiri Karry Lian, “Kakak Senior Karry Lian, kamu nanti sore balik kota kan? Aku numpang ya.”

Si pria mengangguk dan menoleh ke Jordan Bo yang lagi berdiri di bawah pohon pir. Berhubung sekarang lagi musim gugur, pohon itu botak karena semua daunnya lepas. Akibatnya, pesona Jordan Bo jadi memancar secara maksimal karena tidak terhalang apa pun. Karry Lian berucap, “Sudah mengganggu papa dan mamamu beberapa hari, aku mau pamit pada mereka.”

Setelah Karry Lian masuk rumah, di pekarangan kini hanya tersisa Stella Han dan Jordan Bo saja. Si wanita mondar-mandir sejenak, lalu perlahan berjalan ke hadapan Jordan Bo. Ia membujuk: “Papa dan mamaku adalah orang desa. Kedatangan kalian sudah memberikan tekanan yang amat besar buat mereka. Kalau kamu masih ada yang ingin dibicarakan, kita bicarakan nanti setelah pulang, oke?”

Jordan Bo tersenyum dingin: “Aku pikir kamu mau bicara semuanya di sini.”

Stella Han menahan ketidaksenangannya. Ia berusaha membujuk lagi: “Aku mohon padamu, bisa? Aku tidak mau kamu menambah kerepotan papa dan mamaku.”

Jordan Bo melipat dahi: “Kamu menganggapku menambah kerepotan mereka? Stella Han, kita adalah suami istri. Kamu masak lupa?”

Stella Han terhenyak. Takut kata-kata Jordan Bo terdengar oleh papa dan mama, ia berjinjit dan buru-buru menutup mulut si pria dengan tangan. Wanita itu lalu bertanya dengan suara sepelan bisikan: “Tidak bisakah aku mohon padamu? Nanti di vila, kamu mau apa pun aku tidak bakal bantah. Aku sungguh tidak mau papa mamaku terus gugup dengan keberadaan kalian.”

Tiba-tiba didekati Stella Han, Jordan Bo menikmati bau harum tubuh si wanita. Ia menatap dada Stella Han lekat-lekat, lalu bertanya dengan penuh semangat: “Apa pun boleh jadinya?”

“Iya, iya. Syaratnya hanya satu, kita sekarang juga balik Kota Tong.” Stella Han melepaskan tangannya dari mulut Jordan Bo. Tangan itu terasa agak gatal karena terkena kumis tipisnya. Untuk menghentikan rasa gatal itu, ia mengelus-eluskan tangannya ke pakaian.

Baru sebentar mereka diam-diaman, orangtua Stella Han datang dengan tangan penuh. Mama Han membawa dua keranjang berisi telur ayam kampung, sementara Papa Han memegang satu ekor ayam liar yang kakinya sudah diikat di masing-masing tangan. Papa Han berkata tulus: “Tuan Bo, di desa tidak ada apa-apa. Yang relatif segar di sini hanya ayam liar dan telur ayam kampung. Kamu bawa pulang ya, nanti cobain makan.”

Baru Jordan Bo mau menolak, Stella Han menginjak kakinya dan memberi kode mata. Wanita itu merespon: “Pa, ma, oleh-oleh dari kalian diterima CEO Bo dengan senang hati. Sini berikan ayam liar dan telur ayam kampungnya padaku, aku nanti masukkan ke mobil.”

Jordan Bo menoleh ke Stella Han, lalu berujar sungkan: “Paman dan Tante, terima kasih ya atas kebaikan hati kalian dan oleh-olehnya. Aku datang kemari agak tergesa-gesa, jadi tidak sempat menyiapkan kado buat kalian. Maaf sudah menganggu, aku benar-benar tidak enak hati.”

Setelah bicara begitu, Jordan Bo mengambil dompet dari kantong dan mengeluarkan segepok uang dari dalamnya. Ia menggapai tangan Papa Han dan menyerahkan gepokan uang itu ke tangan si pria paruh baya: “Ini sedikit balasan kado dariku. Terimalah, jangan ditolak.”

Papa Han jelas tidak enak hati, “Jangan Tuan Bo, jangan berikan kami apa-apa. Asalkan Stella Han bisa bekerja dengan baik di perusahaanmu, kami sudah sangat senang kok. Ambilah uangmu kembali.”

Jordan Bo memegangi uangnya kembali. Orang desa tidak suka bersandiwara, sekalinya bilang tidak mau terima pasti benar-benar tidak diterima. Kalau ia bersikeras memberikan uang itu, mereka bisa-bisa malah tersinggung. Tanpa punya pilihan lain, Jordan Bo memasukkan uangnya ke dompet. Ia menenangkan, “Paman dan Tante tenang saja. Stella Han adalah pekerja yang hebat. Ia sangat cemerlang di kantor, jadi perusahaan pasti bakal memberikan semua yang terbaik buatnya.”

Stella Han daritadi berdiri di samping sambil mendengarkan percakapan ayah dan suaminya. Ia sama sekali tidak menyangka Jordan Bo bisa berbicara seperti barusan pada orangtuanya. Ternyata, Jordan Bo juga bisa ramah dan membumi ya! Stella Han pamit sambil menahan tangis, “Papa, mama, jaga diri kalian baik-baik ya. Di liburan berikutnya, aku akan pulang lagi.”

Papa Han dan Mama Han mengingatkan anak kesayangannya untuk jaga diri juga dengan mata berkaca-kaca. Selain itu, mereka juga mengingatkan Stella Han untuk rutin menelepon. Keduanya pada akhirnya mengantar Jordan Bo dan Stella Han ke mobil.

Di depan mobil, Stella Han menyerahkan telur ayam kampung dan ayam liar yang dipegangnya pada Jordan Bo. Melihat si wanita menunduk seperti lagi menangis, si pria sengaja meledek: “Pas sekali papa dan mamamu kasih ayam liar dan telur ayam kampung. Telurnya nanti kita bisa suruh Bibi Liu rebuskan buatmu sehari satu. Setelah makan telur-telur ini, perutmu pasti bakal jarang sakit.”

“……” Stella Han mendongak menatap bayangan tubuh Jordan Bo. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi lawakannya.

Tidak jadi ikut Karry Lian, Stella Han masuk mobil Jordan Bo. Di kursi penumpang depan, ia terus mengamati rumah batu bata tempat ia menghabiskan masa kecil sampai tidak terlihat lagi. Wanita itu menarik pandangan sambil menahan rasa sedih.

Dulu, papa dan mama selalu bilang akan memberikannya pendidikan terbaik biar bisa pergi keluar gunung. Tetapi, saat sudah berhasil menyesuaikan diri dengan kehidupan kota, Stella Han malah merindukan kehidupan yang simpel di desa.

Orang desa selalu bahagia dan bersyukur walau makanannya terbatas. Sementara itu, sekali pun hartanya sudah melimpah, orang kota pasti masih tidak puas……

Melihat Stella Han bersedih sepanjang jalan, Jordan Bo menggenggam tangan si wanita. Ia merasakan tangan Stella Han jadi kaku, namun tidak memedulikannya dan menaruhnya di paha. Jordan Bo menghibur: “Kalau tidak rela berpisah dengan mereka, kita lain kali bisa sering-sering kemari.”

Stella Han menatap Jordan Bo dengan heran. Ia mengira suaminya bakal memandang rendah desa, nyatanya tidak sama sekali. Ia menyampaikan isi hati: “Papa dan mamaku hanya punya aku seorang. Dari aku kecil, mereka selalu memberikan semua yang terbaik buatku. Ironisnya, sejak aku menempuh pendidikan di Kota Tong, frekuensi aku balik ke rumah mereka dalam setahun bisa diitung dengan jari satu tangan. Aku lihat mereka sudah sangat tua sekarang, punggung papa bahkan sudah bungkuk.”

“Aku bisa memahami kesedihanmu. Nanti saat kamu hamil, kita bisa membawa mereka tinggal di Kota Tong. Biar mereka temani kamu tiap hari,” balas Jordan Bo lembut.

Stella Han menggeleng, “Mereka sudah menghabiskan seumur hidup mereka di desa, jadi pasti tidak bakal kerasan tinggal di kota. Tetapi, aku tetap berterimakasih atas niat baikmu.”

Jordan Bo mengeratkan genggaman tangannya. Melihat jalanan naik turun di depan, ia teringat pernah menjelajahi kawasan pedesaan yang jauh lebih miskin dari desa di sini. Kala itu, ia berkunjung dengan teman-teman satu pasukan selama tiga hari tiga malam.

Setelah teringat kenangan ini, Jordan Bo tersadar tadi Stella Han berucap terima kasih di akhir kalimatnya. Ia tidak mau wanitanya sungkan begitu, “Stella Han, kita sudah menikah. Tidak peduli bagaimana proses kita bersatu, kenyataan bahwa kita pasangan suami istri tidak bisa diubah. Dengan status kita sekarang, orangtuaku jadi orangtuamu dan orangtuamu juga jadi orangtuaku. Aku sudah seharusnya hormat pada orangtuamu tanpa diucapkan terima kasih, paham?”

Si wanita menoleh pada si pria. Ia sama sekali tidak menyangka bakal disamperi sampai ke rumah lama. Ia pikir Jordan Bo bakal memandangnya dengan sebelah mata setelah melihat keadaan rumahnya. Ternyata, bukan hanya tidak melakukan itu, Jordan Bo juga bilang bahwa orangtua dirinya adalah orangtua si pria juga. Hati Stella Han menghangat mendengar kata-katanya ini, juga merasakan sesuatu yang sulit dideskripsikan. Wanita itu tidak sengaja berucap lagi, “Terima kasih, Jordan Bo.”

Jordan Bo membuang nafas panjang. Sudah dibilang tidak usah bilang begitu, eh kok masih dilakukan sih? Ah, jalanan di depan banyak kelokan. Ia harus fokus menyetir daripada memperdebatkan hal barusan. Berpikir begitu, si pria melepaskan tangan Stella Han dan fokus memegang setir dengan dua tangan.

Sepanjang perjalanan, Jordan Bo dan Stella Han tidak berinteraksi lagi. Meski diam-diaman, suasana mobil sangat rileks. Ketegangan yang biasanya muncul setiap mereka bertengkar tidak berbekas sama sekali. Agak pusing dengan kelokan-kelokan jalan, Stella Han memejamkan mata dan beberapa menit kemudian sudah terlelap.

Begitu bangun, si wanita menyadari dirinya sudah terbaring di ruang tidur utama Halley City. Ia mendudukkan diri dan mengingat-ingat bagaimana dia bisa ada di sini. Ah, pasti Jordan Bo yang menggendong.

Stella Han melepas selimut, turun dari ranjang, dan berjalan keluar dengan mengenakan sendal kamar. Seluruh penjuru vila sangat sunyi, sementara ruang tamunya diterangi cahaya matahari sore yang keemasan. Pemandangannya sangat memanjakan mata……

Sambil berdiri di ujung atas tangga, Stella Han menikmati pemandangan ini. Ia lalu menatap langit yang berwarna kemerahan. Sungguh, indah sekali!

Jordan Bo masuk ke vila dan langsung menjumapi sosok Stella Han. Cahaya matahari yang mengenai tubuh si wanita membuat wajahnya terlihat agak bersedih. Ia berbatuk untuk menarik perhatiannya, “Sudah bangun?”

Stella Han menoleh ke sumber suara. Baru balik dari vila ini, suasana hatinya jauh berbeda dengan waktu sebelum pergi. Si wanita menuruni tangga dan menjawab datar, “Tidurku nampaknya terlalu lelap. Aku bahkan tidak ingat bagaimana aku bisa ada di kamar.”

Sambil mengikuti Stella Han berjalan ke ruang tamu, Jordan Bo menanggapi: “Ada aku di sini, kamu tidak perlu takut ditinggal di jalanan.”

Stella Han menoleh menatap Jordan Bo. Setelah banyak berinteraksi dengannya hari ini, ia menyadari suaminya tidak sedingin yang selama ini dipikirkan. Ia tersenyum tipis padanya. Meski sudah jauh lebih rileks dalam menghadapi si pria, si wanita masih merasa agak was-was. Bagaimana pun juga, mereka baru baikan sebentar setelah ia kabur-kaburan.

Stella Han menarik pandangan dan duduk di sofa. Tiba-tiba teringat sesuatu, ia bangkit berdiri dan mau naik lagi ke lantai atas. Jordan Bo tahu istrinya mau cari ponsel. Daripada bolak-balik, ia berpikir lebih baik ia meminjamkan dulu ponselnya pada si wanita. Pria itu bertanya, “Mau mengabari papa dan mama bahwa kamu sudah tiba? Aku tadi sudah menelepon mereka duluan sih.”

“Hah?” Stella Han menatap Jordan Bo dengan terkejut, “Kamu bilangnya bagaimana? Mereka curiga tidak?”

“Aku bilang kamu mabuk parah di mobil, lalu memintaku untuk melaporkan ke mereka bahwa kamu sudah tiba di rumah. Mereka tidak curiga sama sekali kok.” Jordan Bo menyuruh Stella Han duduk lagi di sofa, lalu duduk di sebelahnya. Aneh sekali ya mereka, pola ribut-baikan-ribut-baikan bisa terulang-ulang dalam waktu yang sangat singkat. Jordan Bo sendiri bahkan juga merasa aneh.

Vero He menerima sodoran ponsel Jordan Bo. Ia lalu mengangguk, “Memang kamu yang paling lihai.”

“……”

Percakapan kini jadi canggung. Untuk memecah keheningan, Jordan Bo menyodorkan keranjang buah di meja teh pada Stella Han. Ia berucap, “Makan malam lagi disiapkan Bibi Liu. Kamu makan buah dulu buat ganjal perut, makan malamnya akan segera siap kok.”

Stella Han menanggapi risih: “Aku sudah bukan anak kecil lagi. Kamu tidak perlu menyuruh-nyuruhku begini, kalau kamu ada kerjaan sana urus saja.”

“……”

Kecanggungan kembali muncul. Untuk mengatasinya lagi, Jordan Bo memeras otak untuk mencari ide topik. Si pria mengambil remote televisi dan bertanya: “Mau menonton televisi tidak? Acara berita sebentar lagi mulai.”

Stella Han menggeleng, “Tidak mau menonton berita. Kamu mau nonton apa ya nonton saja, tidak usah pedulikan aku.”

“……”

Jordan Bo sudah susah payah mencari topik, tiap topik hanya dibicarakan dalam dua kalimat…… Si pria kesal, namun tidak berani marah pada wanitanya. Ia takut Stella Han bakal kabur lagi karena ketakutan. Jordan Bo menaruh remote balik ke meja. Ketika ia mau mulai topik baru, ponsel di tangan Stella Han tiba-tiba berdering.

Si wanita melihat nomor ponsel yang terpampang di layar. Itu nomor tidak dikenal. Ia menyerahkan ponsel itu ke suaminya sambil bilang: “Nih, cepat angkat.”

Jordan Bo menerima ponselnya. Melihat nomor yang tertera, auranya jadi agak berubah. Ia bangkit berdiri dan berjalan keluar ruang tamu sembari mengangkat, “Bretta Lin, ada apa meneleponku?”

Stella Han mendengar nama wanita yang disebut Jordan Bo. Hatinya seketika kesal dan tidak terima. Ia mengambil remote televisi, menekan tombol “nyala”, dan sengaja membesarkan volume televisi biar tidak bisa mendengarkan percakapannya. Tidak lama kemudian, Jordan Bo mematikan telepon dan kembali ke ruang tamu. Di hadapan Stella Han, pria itu pamit dengan nada datar: “Aku keluar dulu.”

Stella Han mengingatkan, “Eh, sebentar lagi kan mau makan malam?”

“Kamu makan sendiri saja, tidak perlu menungguku. Aku sepertinya juga balik agak malaman, jadi kamu bisa tidur duluan.” Kelar berbicara, Jordan Bo mengambil kunci mobil dan bergegas ke lorong jalan dengan langkah cepat. Ia ganti sepatu, kemudian keluar vila.

Mata Stella Han menatap layar televisi, namun telinganya berkonsentrasi mendengarkan suara mesin mobil yang dinyalakan di luar. Selepas suara mobil lenyap, ia mematikan televisi dan duduk termenung.

Novel Terkait

Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
4 tahun yang lalu
Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Tiffany
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu
My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu
Pernikahan Tak Sempurna

Pernikahan Tak Sempurna

Azalea_
Percintaan
4 tahun yang lalu
Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
5 tahun yang lalu