You Are My Soft Spot - Bab 196 Dari Dulu Memang Tidak Kenal, Mengapa Terus Dituduh Lupa? (1)

Lamborghini biru melaju kencang masuk rumah kediaman keluarga He dan berhenti di tempat parkir. Vero He mematikan mesin dan duduk termenung di dalam. Jari tangan kanannya secara refleks memijat pergelangan tangan sebelah yang terus panas.

Dalam benak Vero He muncul lagi wajah Taylor Shen dengan ekspresi sakit dan setengah tidak percaya. Ia seharusnya merasa senang melihatnya begitu, mengapa ia sekarang merinding?

Dari luar, sebuah mobil Maybach ikut masuk ke tempat parkir. Lampunya sangat terang dan mengenai spion belakang sampai Vero He harus menutup mata.

Maybach berhenti di parkiran, lalu James He keluar dari mobil itu. Ia sama sekali tidak sadar dalam Lamborghini sebelah masih ada orang. Pria itu menekan tombol “kunci” dan lampu mobil berkedip sebentar kemudian mati. Mobil mewah itu terlihat bak hewan pemburu yang mau beristirahat.

Sambil menenteng tas kerja, James He berjalan masuk ke rumah kediaman keluarga He. Baru berjalan dua langkah, ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres di belakang. Ketika ia mau menoleh, dua tangan kecil langsung menutupi matanya. Gerakan itu diikuti dengan suara lembut wanita dari belakang punggungnya: “Tebak aku siapa!”

James He mendesah pasrah: “Sudah dewasa begini masih main begituan?”

Wanita itu tetap menutup matanya, “Siapa yang bilang sekali pun aku berusia seratus, ia akan tetap menganggapku anak kecil?”

Nada suara Vero He menyiratkan kesedihan. Hati James He terenyuh. Ia tidak tahan untuk tidak meledek: “Suasana hatimu bagus sekali ya. Kelihatannya kemunculan dia tidak mempengaruhimu sama sekali.”

Vero He refleks melepaskan tangannya dari mata James He. Pandangan si pria agak kabur. Ia berkedip beberapa kali, baru kemudian bisa menyesuaikan matanya dengan kondisi cahaya. Baru mau berbalik badan, tubuh si wanita kembali menempel padanya. Dengan kedua tangan dilingkarkan di leher si pria, si wanita iseng bermanja: “Kakak, ayo gendong aku masuk.”

James He tahu Vero He bersikap begini biar ia tidak bisa melihat wajahnya. Ia berjongkok dan membiarkan Vero He naik di bahu. James He setelah itu memegangi lutut si wanita dan mulai bangkit berdiri.

Vero He menaruh kepalanya di pundak sang kakak. James He menoleh menatapnya, namun pandangannya tidak terlalu jelas karena cahaya jalanan remang-remang. Ia bertanya, “Ada apa? Aku khawatir melihat raut wajahmu.”

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin manja pada kakak.” Vero He memejamkan mata. Lima tahun lalu, pria ini adalah orang yang menyelamatkannya dari segala penderitaan. Ketika ia bangun, kalimat pertama yang James He ucapkan adalah, “Vero He, aku kakakmu.”

Vero He…… Kata “Vero” artinya bangkit. Si pemilik nama tahu ia sudah harus bangkit dari kegelapan masa lalu.

“Vero He, ingatlah, tidak peduli apa yang kamu ingin lakukan, aku tidak akan menghalangimu. Aku hanya ingin kamu bahagia, paham?” tutur James He penuh kasih sayang.

Kelopak mata Vero He bergetar hebat. Bahagia? Kata ini nampaknya semakin lama semakin jauh dari hidupnya. Sekarang, kata ini sudah jauh sampai tidak bisa digapai lagi. Vero He menjawab bohong: “Aku sudah sangat bahagia kok. Ada kamu dan papa di sisiku, aku sudah merasa cukup.”

“Jangan bohong!” protes James He. Dikira ia tidak tahu Vero He tiap malam terbangun karena mimpi buruk? Meski begitu, James He tidak pernah bercerita selama dua tahun Vero He mengalami apa sampai sekujur tubuhnya penuh luka.

Vero He tersenyum palsu, “Lah, memangnya kalian tidak ada di sisiku?”

“Vero He, selamanya jangan lupa bahwa kita kakak adik. Kalau kamu kesal pada sesoerang, beritahu aku dan biarkan aku urus orang itu. Aku akan buat dia tidak bisa tidur nyenyak satu hari pun,” jamin James He.

Si adik menggeleng, “Kakak, kalau semua urusanku kamu yang urus, hidupku jadi datar-datar saja dong? Kamu jangan khawatir, aku benar-benar tidak kenapa-kenapa. Hatiku perlahan tapi pasti akan jadi semakin tabah.”

James He memejamkan mata. Kok dia bisa paham? Yang ia paling tidak mau lihat adalah hati Vero He yang semakin lama semakin tabah. Pada waktunya nanti, ia pasti akan merasa siap hidup sendiri dan tidak butuh keluarga.

Ia khawatir kalau Vero He benar-benar jadi begitu ia tidak bisa menariknya lagi.

“Baguslah. Kalau kamu benar-benar tidak sanggup kabari aku, aku akan bawa kamu pergi dari sini,” tukas James He. Ia menoleransi argumennya, namun tetap menjaga kekhawatirannya pada dia. Di dunia ini, yang paling ia khawatirkan ya memang Vero He.

Mereka tanpa sadar sudah tiba di depan rumah. Lampu ruang tamu menyala terang, Felix He sedang duduk di sana menonton televisi. Yang ia tonton adalah berita seputar ekonomi. Melihat sepasang kakak-beradik tiba, pria itu melambai-lambai pada si anak perempuan, “Vero He, sini ke papa.”

James He menurunkan Vero He dari gendongannya. Asisten rumah buru-buru mengambil sandal rumah dari rak sepatu dan menaruhnya ke depan dia. Vero He meledek: “Bibi Yun, kalau kamu terus melayani aku begini, nanti saat aku menikah dan pindah rumah, aku akan jadi bocah yang tidak mandiri dan tidak bisa apa pun tahu.”

Bibi Yun tersenyum lebar: “Kalau itu yang terjadi, berarti aku berhasil sebagai seorang pelayan rumah. Aku yakin Tuan Besar dan Tuan Muda tidak akan khawatir saat kamu pindah rumah kok.”

Rumah langsung sepi setelah Bibi Yun mengutarakan kalimatnya. Ia baru sadar sudah kelepasan bicara. Asisten rumah itu buru-buru mengalihkan topik: “Aku ke dapur dulu lihat sarang burung wallet merah yang barusan direbus. Aku takut nanti rebusnya kelamaan.”

Vero He menukar sepatunya dengan sendal rumah. Ia lalu berjalan ke sofa dan duduk di depan Felix He: “Pa, sudah baikan?”

Si ayah beberapa hari ini batuk parah, maklumlah ini sedang musim pancaroba. Kemarin, saat terbangun dari mimpi buruk dan turun ke bawah untuk isi air, Vero He bisa mendengar ayahnya masih berbatuk.

Waktu itu, ketika James He bersikeras menyuruh Vero He tinggal di rumah kediaman keluarga He, Nyonya He langsung murka dan pindah ke New Zealand untuk menemani Angela He. Sejak itu, Felix He dan Nyonya He resmi berpisah. Felix He tidak pernah menelepon wanita itu, jadi si wanita juga tidak mau menjilat ludah sendiri dan pulang ke rumah.

Tahu Nyonya He pindah karena kehadiran dirinya, Vero He merasa dirinya seseorang yang bawa nasib buruk. Ke mana pun ia pergi, orang yang ada di sana pasti akan kena masalah. Tetapi, ia sudah terlalu rindu dengan kehangatan keluarga. Felix He dan James He sangat memanjainya. Ia terkadang tidak bisa menahan diri untuk larut dalam kasih yang mereka berikan.

Meski begitu, Vero He paham betul ia bukan anggota keluarga He. Dalam tubuhnya, ia tidak memiliki darah keluarga ini.

Felix He menepuk-nepuk tangan Vero He. Ia tersenyum lebar: “Sekalinya ditanya oleh putri kesayangan, tubuhku langsung membaik.”

Vero He ikut tersenyum. Ia lalu mengeluarkan sekotak permen dari tas, lalu menyodorkannya ke ayah: “Pa, ini permen pelega tenggorokan yang aku titip ke teman dari luar negeri sana. Permen ini sangat efektif untuk mengatasi sakit tenggorokan. Rutinlah minum satu butir tiap pagi, siang, dan malam, tenggorokanmu pasti akan jauh lebih enak.”

Felix He menerima dengan senang hati. Ia tidak lupa memuji: “Memang putri kesayangan ya yang paling perhatian. Aku sudah setua ini, kamu masih membelikan aku permen. Waktu kamu kecil aku bahkan tidak……”

“Pa.” James He memotong kata-katanya dan menggeleng. Felix He segera mengalihkan topik, “Vero He pasti capek ya. Barusan Bibi Yun berulang kali cerita tidurmu tidak baik. Ia kemarin tengah malam melihatmu duduk termenung sendirian di ruang tamu. Tadi pagi ia beli sarang burung walet merah biar tidurmu teratur.”

“Bibi Yun lebih baik padaku daripada pada anaknya sendiri ya. Si sekretaris itu pasti bakal iri deh,” ledek Vero He.

“Ah, Erin tidak akan kekanak-kanakan begitu lah. Omong-omong, jawaban-jawabanmu dalam sesi wawancara malam ini bagus. Si pembaca acara jangan-jangan jadi kesal denganmu karena ini pertama kalinya ia dapat tamu undangan yang tidak mau bekerjasama menjawab pertanyaan, hehehe.” Tatapan Felix He kembali mengarah ke televisi. Di layar kaca, Vero He tampil misterius dan dingin dengan topeng. Ia membayangkan, orang-orang pasti penasaran sekali dengan rupa anaknya dan berharap topeng itu dibuka.

“Pertanyaan dia gampang-gampang habisnya,” balas Vero He.

“Hahaha.” Felix He menambahkan, “Memang iseng ya dia sampai mau menyulitkan putri kesayanganku.”

Vero He mengambil buah dari keranjang yang ada di meja. Sudut matanya secara tidak sengaja melihat beberapa foto yang ada di sebelah keranjang. Itu foto pria-pria muda yang tampan. Wanita itu menatap ayahnya dan bertanya: “Papa, pengadilan sedang cari hakim baru ya? Hakim-hakim yang pada daftar lowongan kali ini pada tampan-tampan ya.”

Felix He mengambil foto-foto itu dan menjawab, “Vero He, nih kamu lihat-lihat foto mereka. Kalau ada yang kamu suka, besok kamu ajak makan atau nonton gitu. Kalau kamu tertarik berkenalan lebih jauh dengannya, kenalanlah.”

Vero He kaget. Ia mengupas dulu buahnya, makan, dan mengelap tangan. Wanita itu lalu baru menerima sodoran foto: “Wah, jadi papa memanggil aku buat carikan aku suami ya. Mereka rata-rata tampan sih, papa saja yang pilih.”

“Kalau papa yang pilihkan terus kamu anggap tidak tampan, saat kamu marah, bukannya ketika lihat wajah dia kamu akan jadi tambah marah? Kalau dia tampan, saat melihat wajahnya kemarahanmu pasti akan langsung reda,” balas Felix He sambil mengambil buah dan mengupasnya.

Setelah mengupaskannya, Felix He menyodorkan buah itu ke anaknya. Vero He menerima dan bicara sambil mengunyah: “Semuanya tampan pokoknya. Ini lebih mirip pilih bebek yang wajahnya sama semua dibanding cari suami.”

“Haha!” James He tidak tahan untuk tidak tertawa. Felix He ikut tertawa juga. Bertahun-tahun ini mereka memang sering mengenalkan pria-pria pada Vero He. Anak itu sangat suportif pada usaha mereka. Disuruh ketemu mau ketemu, disuruh makan bareng mau makan bareng, disuruh jalan bareng mau jalan bareng.

“Lagipula, kalau punya suami tampan, keturunanmu nanti juga akan tampan dan cantik.”

Tangan Vero He seketika kaku. Dalam benaknya berkelebat sesuatu, namun ia dengan segera menyingkirkan pikiran itu. Ia asal memilih satu foto dan bilang: “Dia saja deh.”

Felix He dan James He menunduk melihat foto. Mereka lalu refleks bertatapan dan berujar sama-sama, “Ned Guo?”

Tidak salah, itu memang Ned Guo. Dia putra kebangaan keluarga Guo, juga petinggi hukum baru di Kota Tong. Usianya saat ini sudah tiga puluh lapan tahun, tapi ia masih lajang. Ada banyak keluarga di Kota Tong yang ingin memperkenalkan anaknya pada dia, namun semuanya ditolak mentah-mentah.

Dengar-dengar keluarga Guo sudah sangat memaksanya untuk menikah. Mereka bahkan sudah mencoba cara-cara absurd seperti pakai “orang pintar”, tetapi pria itu tidak tergerak sama sekali. Pada akhirnya, para senior di keluarga itu tidak mau memikirkan dia lagi dan tidak peduli dia lajang seumur hidup.

Sup sarang burung walet merah sudah siap disantap, jadi Vero He pergi ke ruang makan. Kini yang tersisa di ruang tamu hanya Felix He dan James He. Si pria tua menyimpan foto-foto barusan, lalu memberi kode mata pada anaknya. Keduanya pun naik ke ruang buku lantai atas.

Begitu pintu ruang buku ditutup, Felix He bertanya: “Ada apa, mereka sudah bertemu?”

“Iya. Erin lapor padaku bahwa mereka sudah bertemu,” angguk James He. Keluarga Li dari Kota Jiangning butuh seorang perwakilan agen finansial untuk mengalihkan perhatian keluarga Ji. Felix He sudah menebak orang ini, Vero he juga pasti sudah, kalau tidak tidak mungkin ia mengubah penolakannya untuk tampil di televisi jadi tampil hari ini juga.

“Ini anak makin lama makin pelit cerita,” keluh Felix He. Mereka sudah tidak bertemu tujuh tahun, namu Vero He tetap bisa tertawa-tawa santai di hadapannya. Luka sedikit pun tidak ada. Ia malah jadi iba.

“Iya tuh. Aku sendiri tidak tahu ia sebenarnya masih punya hati padanya atau tidak. Pa, aku terus bertanya pada diriku sendiri, aku membantu dia dan membuat dia makin lama makin terperosok begini sebenarnya betul atau salah.” Nada bicara James He agak bimbang.

Felix He membuang nafas panjang, “Sudah berhasil cek dia dua tahun terakhir ke mana dan melakukan apa belum?”

“Belum. Sedikit pun jejak tidak ada,” geleng James He.

“Ya sudahlah, biarkan ia memilih jalannya sendiri. Kalau pun ia pada akhirnya tidak senang dan tidak cocok dengan pilihannya, yang penting itu jalan dia. Kita tidak bisa menghalangi. Kita hanya bisa jadi keluarga yang selalu mendukungnya sepenuh hati dari belakang.”

“Baik, aku paham,” ujar James He. Ia melihat foto di meja dan bertanya: “Pa, kita sungguh akan mempertemukan dia dengan Ned Guo?”

“Yang ia pilih sendiri pasti orang yang paling ia tertarik. Jangan dihalangi, biarlah ia ketemu dengannya,” jawab Felix He.

Raut James He sangat khawatir. Taylor Shen sudah kembali, apa lagi pertumpahan darah yang akan terjadi di Kota Tong? Selain Vero He, ia tidak khawatir pada siapa pun lagi. Ia tidak ingin wanita ini menderita lagi.”

“James He, awasi dia secara ketat ya. Jangan sampai ia terluka lagi,” pesan Felix He.

Novel Terkait

My Charming Lady Boss

My Charming Lady Boss

Andika
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Get Back To You

Get Back To You

Lexy
Percintaan
4 tahun yang lalu
Everything i know about love

Everything i know about love

Shinta Charity
Cerpen
5 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Pejuang Hati

Pejuang Hati

Marry Su
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Summer
Romantis
4 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
3 tahun yang lalu