You Are My Soft Spot - Bab 249 Siapa Rekanmu? (1)

Vero He mendongak menatap mata Taylor Shen. Ia melihat keisengan di sana, jelas sekali pria itu sengaja mengajaknya bercanda. Dengan risih, ia meminta: “Cepat pasang. Jangan banyak omong.”

Taylor Shen tetap berdiri diam. Tubuh tinggi besarnya yang menghalangi pintu terlihat seperti sebuah tembok tebal. Pria itu tertawa dan menanggapi: “Sini kamu pasang.”

“Tidak mau!” tolak Vero He detik itu juga.

Taylor Shen melipat kedua tangan, “Ya sudah aku turun dalam kondisi begini saja. Nanti saat mereka bertanya, aku tinggal bilang aku habis menikmatimu.”

“……” Memang gila nih orang, keluh Vero He dalam hati! Meski mengeluh, ia tetap memenuhi tawaran si pria untuk memasangkan kancingnya. Jari Vero He yang panjang-panjang dan kurus-kurus sebisa mungkin digerakkan tanpa mengenai kulti Taylor Shen. Ia ingin sesegera mungkin menyelesaikan “tugas mendadak” ini.

Taylor Shen dengan tenang merangkul kedua punggung Vero He Tangannya yang hangat membuat panas tubuhnya terpancar ke pinggang Vero He. Si wanita jadi merasa agak merinding terkena pancaran panas yang tiba-tibaa.

Seolah masih belum cukup, si pria mengelus-elus pinggang si wanita dengan jari. Pria itu berkomentar serak, “Pinggang kok sekurus ini sih? Jadi takut sekalinya “dimasukkan” tubuhmu bakal langsung rubuh. Pinggang wanita tuh harus tebal sedikit baru enak dilihat.”

Hawa nafas buangan Taylor Shen yang jatuh di pipi membuat wajah Vero He memerah. Entah marah atau malu dia. Ia menahan pergelangan si pria biar tidak mengelus-elus pinggangnya terus. Dengan kesal, ia berkata: “Di luar sana banyak wantia yang gendut. Kamu tinggal pilih yang kamu suka, tidak usah menyuruh-nyuruh aku berubah.”

Taylor Shen menjawab dengan wajah serius: “Tetapi aku cuma punya perasaan ke kamu seorang.”

Melihat telunjuk Taylor Shen menunjuk jantung, kekesalan dalam hati Vero He seketika sirna. Ia mendeham dingin, lalu lanjut memasangkan kancing yang belum dipasang.

Kancing paling atas berada di dekat leher Taylor Shen. Tanpa sengaja, Vero He menyentuh jakunnya. Ia melihat jakun itu bergerak naik turun dengan seksi, lalu mendengar suara orang menelan air liur. Tiba-tiba tangan Vero He ditahan Taylor Shen. Dengan alis terangkat, pria itu protes sekaligus meledek: “Sekali lagi kamu menggodaku, aku mungkin bakal kehilangan kendali.”

Si wanita buru-buru menarik tangan dan berjalan ke pintu, “Tidak paham kamu bicara apa. Ya sudah, yuk cepat turun.”

Vero He berjalan ke pintu kamar, membukanya, dan berjalan keluar secepat tenaga.

Taylor Shen tidak bergerak sama sekali. Ia berusaha untuk menenangkan gairahnya dulu. Setelah sudah cukup tenang, Taylor Shen baru berjalan keluar dan menyusul Vero He di lorong jalan. Ia merangkul tangan si wanita dengan erat.

Vero He mencoba melawan, namun tidak berhasil. Ia meminta, “Lepaskan aku.”

Taylor Shen tidak hanya mengabaikan permintaannya, namun juga sekalian memasukkan jari-jarinya ke lubang jari si wanita. Mereka kini berpegangan erat. Dalam menghadapi Vero He, Taylor Shen seringkali berpikir wanita itu tetap menghindar darinya meski dia tidak melakukan hal aneh-aneh, seperti hanya mengajak berpegangan tangan. Ia jadi kesal sendiri dan terpancing untuk meledek: “Bagaimana, bagaimana kita balik kamar dan menyelesaikan urusan barusan yang belum kelar dulu? Nanti sesudahnya kita baru turun.”

Vero He memejamkan mata dan tidak memberi perlawanan.

Melihat Vero He tunduk, Taylor Shen menunduk untuk mengajaknya berciuman. Gerakan menghindar Vero He kali ini cepat, jadi ciuman pun batal terjadi. Raut wajah Taylor Shen berubah. Di ranjang sangat dekat dan akrab, kok saat turun dari ranjang malah jadi seperti orang tidak saling kenal sih?

Sesampainya mereka berdua di bordes tangga lantai dua, dari bawah terdengar suara Nyonya He, “James He, cepat makan bihun kaki babimu. Buat usir nasib buruk.”

“Ma, duduklah. Jangan sibuk demi aku.” James He meminta Nyonya He untuk duduk. Tadi saat baru kelar mandi dan turun, Bibi Yu bercerita bahwa Nyonya He langsung pergi ke pasar begitu tahu dirinya akan segera bebas dan pulang. Sekembalinya dari pasar, wanita itu masih menghabiskan waktu dua jam di dapur untuk memasak.

Nyonya He baik pada dirinya, ini dia sudah tahu dari kecil. Hatinya merasa sangat bersyukur.

Nyonya He menatap James He dengan mata berkaca-kaca. Ia berkata: “Melihatmu kembali dengan aman, aku sungguh merasa senang. Dua hari dipenjara, kamu jadi sangat kurus. Kantong matamu juga hitam sekali, pasti kurang tidur ya di sana?”

“Ma, aku tidak apa-apa. Ma, jangan menangis,” balas si putra menenangkan.

“Masih bilang tidak apa-apa? Haduh, penampilanmu ini sangat……” Sebelum Nyonya He selesai berbicara, Felix He memotong: “Menangis buat apa ini? Kepulangan James He itu harusnya disambut dengan sukacita.”

Nyomnya He menatap Felix He. Ia tahu pria itu selalu tidak berpihak padanya. Ketika melihat Vero He turun dari tangga sambil berpegangan tangan dengan Taylor Shen, hatinya terasa bagai dicabik. Sebelumnya satu orang Vero He sudah cukup membuatnya pusing, sekarang malah tambah Taylor Shen pula. Ia sungguh tidak senang dengan pemandangan ini.

Kalau tidak ada dua orang ini, Angela He tidak bakal pindah ke Selandia Baru. Kalau tidak ada dua orang ini, Angela He sekarang tidak mungkin masih lajang. Memang dua orang pembuat masalah!

“Senang ya bermesraan depan orang-orang,” ujar Nyonya He dengan risih sambil menatap dua tangan yang bergandengan dengan tajam.

Vero He terus berusaha melepaskan, namun Taylor Shen tidak bersedia. Wajahnya merah melihat pegangan tangan ini sudah dilihat orang. Ia berseru pelan, “Lepaskan tanganku.”

“Tidak mau!” Taylor Shen semakin mengencangkan pegangan dan membawa si wanita ke sofa ruang tamu. Ia pun mengajaknya duduk tanpa dipersilahkan terlebih dahulu seolah ini rumahnya sendiri.

James He mengernyitkan alis. Ia juga menatap kedua tangan yang berpasangan sebentar, lalu menarik pandangan dan kembali fokus menikmati bihun yang tengah disantap.

Aduh…… Tadi sudah ditatap Nyonya He, sekarang ditatap kakak. Sekencang apa pun ia berusaha melepaskan tangan, hasilnya tetap nihil. Ia terpikir cara lain untuk menyukseskan usaha ini: “Aku ke dapur dulu untuk cek ada makanan apa malam ini.”

Vero He bangkit berdiri. Sayangnya, Taylor Shen tetap tidak mau melepas sehingga gerakannya terhambat. Taylor Shen menatap mata Vero He. Mengetahui apa yang dipikirkannya, ia segera membebaskan tangannya. Biarlah tangan berpisah, yang penting hati tidak kabur.

Vero He buru-buru bergegas ke dapur. Baru masuk ke sana, Bibi Yun melihat kehadiran dia dan mengusir secara halus: “Nona He, dapur kotor dan berbinyak. Kamu temani Tuan Muda berbincang-bincang saja, di sini tidak butuh kamu.”

Bibi Yun berkata begini sambil mendorong Vero He keluar, lalu mengunci pintu dapur. Si wanita mengamati pintu yang tertutup dengan kehabisan kata-kata. Ia menengok ke ruang tamu. Pemandangan yang terhampar di sana adalah Taylor Shen dan Felix He tengah berbincang seru. Ia tidak mau menganggu mereka, jadi berjalan ke lorong jalan saja.

Ketika melintasi kamar Erin, si wanita kembali teringat peristiwa tertangkap basahnya dia dan Taylor Shen. Ia sungguh merasa canggung kalau bertemu denganya, jadi ia memutuskan pergi ke taman bunga lewat pintu belakang.

Cahaya langit yang meredup kini sudah digantikan oleh lampu jalan. Vero He berjalan ke ayunan, kemudian duduk di sana sambil menatap angkasa yang tidak berbatas.

Vero He memejamkan mata. Di benaknya, muncul berbagai macam peristiwa buruk yang terjadi beberapa hari ini. Deringan ponsel yang agak keras tiba-tiba memecah lamunannya. Jidat Vero He entah mengapa terasa dingin. Ketika dielus, ternyata keringat dingin sudah memenuhi jidat itu.

Vero He mengelap keringatnya dengan tangan, lalu mengangkat telepon. Mungkin karena hatinya tidak begitu tenang karena habis mengingat kejadian-kejadian buruk, ia tidak memerhatikan sama sekali identitas si penelepon. Ia mengangkat, “Halo, siapa?”

Di seberang terdengar suara gemerisik seperti suara radio. Suara itu tiba-tiba menghilang. Vero He mengernyitkan alis, “Halo, kamu siapa ya?”

Ditunggu beberapa detik, pihak seberang tidak juga memberi respon. Berpikir ini telepon jahil, ia memutuskan mematiaknnya. Tiba-tiba ponsel berdering lagi. Ia melihat identitas si penelepon yang merupakan nomor tidak dikenal, lalu mengangkat, “Halo?”

Dari seberang terdengar lagu The Phantom of the Opera. Mendengar lagu itu, Vero He teringat sebuah drama kroea. Setiap kali pemeran pria membunuh orang, lagu itu otomatis akan terputar. Ia jadi merinding sendiri. Dengan suara gemetar, si wanita bertanya, “Kamu siapa sih? Sebenarnya kamu mau apa?”

Vero He bangkit berdiri dengan hati gelisah. Ini bukan becandaan yang sederhana.

Berhubung orang di sebelah tidak juga menjawab, Vero He memutusakn mematikan telepon. Tangannya yang tengah memegang ponsel masih gemetaran. Semua yang ada dalam pandanngannya terasa seperti dunia yang seram. Ia mundur dua langkah, lalu berlari ke pekarangan depan.

Ketika berlari ini, ponselnya berdentang sekali tanda ada pesan masuk. Hati wanita itu kini terasa tenang karena pekarangan depan sangat terang. Vero He menghentikan langkah dan membuka pesan itu.

Pesan yang masuk adalah sebuah pesan dengan gambar bergerak. Di layar terpampang seorang pria yang tengah terbaring dengan seorang wanita yang berlutut di sebelah. Si wanita memegang sebilah pisau dan terus menusuk-nusukkannya ke jantung si pria. Darah segar mengalir keluar membasahi ranjang dan lantai. Perlahan, layar ponsel berubah sepenuhnya jadi warna merah.

Vero He ketakutan dan refleks membanting ponsel. Ia menjambak rambutnya sendiri sambil berteriak seperti orang kesetanan, “Ah! Ah! Ah!”

Taylor Shen langsung bisa mengenali itu teriakan Vero He. Ia bangkit berdiri dan berlari ke pintu utama. James He bergerak sama cepatnya dengan dia. Begitu keluar pintu, keduanya melihat Vero He terduduk di halaman depan. Wanita itu berteriak-teriak sambil menjambak rambut sendiri. Di sebelahnya, ada sebuah ponsel yang tergeletak dengan posisi layar di bawah.

Taylor Shen menghampiri si wanita dan memeluknya. Ia mengelus-elus punggungnya sembari menenangkan, “Tiffany Song, tidak apa-apa, tidak apa-apa. Jangan takut, ada aku di sini.”

Tubuh Vero He masih gemetaran hebat. Ia berbicara dengan terbata-bata: “Darah, banyak sekali darah. Aku sudah membunuh orang, aku seorang pembunuh.”

Taylor Shen dan James He bertatapan satu sama lain. Pria yang pertama mengangkat dagu Vero He dan mengingatkan dengan lembut, “Tiffany Song, tidak ada apa-apa. Jangan takut, ada kami di sini. Kamu tidak membunuh siapa pun, juga tidak ada darah. Tenang, buka matamu dan lihatlah semuanya masih normal.”

Si wanita membuka mata dengan perlahan. Melihat kedua pria, khususnya Taylor Shen, matanya berkaca-kaca. Pada gambar di ponsel barusan, si pria adalah Taylor Shen dan si wanita adalah dirinya. Gambar ini masih terngiang jelas dalam pikiran.

Vero He buru-buru melepaskan Taylor Shen dan bersembunyi di belakang James He. Melihat Taylor Shen menyodorkan ponselnya, emosi dia kembali kacau. Ia menerima ponsel itu dan melemparnya sejauh mungkin, “Darah, di ponsel ada darah dan orang mati.”

James He merasakan keanehan dalam kelakuan si adik. Alisnya terangkat begitu melihat adegan lempar ponsel barusan. Ia memberi kode mata pada Taylor Shen, lalu memapah si adik masuk vila, “Vero He, jangan takut. Yuk kita masuk, tidak ada apa-apa kok.”

Taylor Shen mengamati bayangan tubuh keduanya, lalu pergi mengambil ponsel Vero He yang barusan dilempar. Ponsel itu mati karena terbantning. Taylor Shen tidak bisa menyalakannya, jadi tidak tahu ada apa di dalamnya.

Di dalam vila, James He mendudukkan Vero He di sofa. Melihat wajah si putri yang pucat pasi, Felix He segera bertanya: “Ada apa?”

“Vero He sepertinya menerima pesan bergambar yang menakutkan, lalu jadi kaget. Bibi Yun, tolong tuangkan air untuk dia,” perintah James He sambil menengok ke arah pintu dapur.

Kejadian ini sangat heboh sampai Erin yang daritadi ada di kamar pun keluar. Ia buru-buru menghampiri si bos dan bertanya, “Nona He, apa yang terjadi?”

Kini tatapan simpatik semua anggota keluarga memenuhi pandangan Vero He. Ia jadi merasa jauh lebih tenang. Sembari menggeleng, ia menjelaskan: “Barusan dapat pesan bergambar yang seram. Aku ketakutan. Maaf, maaf sudah membuat semuanya khawatir.”

Taylor Shen berjalan masuk vila dan bertanya: “Pesan bergambar apa itu? Kok bisa ada darah dan orang mati?”

Novel Terkait

Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Menunggumu Kembali

Menunggumu Kembali

Novan
Menantu
5 tahun yang lalu
Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
Anak Sultan Super

Anak Sultan Super

Tristan Xu
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
4 tahun yang lalu
See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu