You Are My Soft Spot - Bab 209 Aku Priamu (2)

Vero He bagai seekor landak yang durinya mengembang karena diserang. Siapa pun yang mendekat pasti akan ditusuk sampai berdarah-darah. Taylor Shen mana mungkin tenang melihatnya begini?

“Baik. Aku tidak akan menyentuhmu, tetapi biarkan aku antar kamu balik,” bujuk si pria putus asa.

“Tidak perlu!” tolak Vero He sambil berbalik badan dan berlari pergi.

Taylor Shen tahu Vero He tidak bawa uang dan ponsel. Bagaimana bisa dia pulang dalam kondisi begitu? Setibanya di pinggir jalan, Taylor Shen melihat Vero He sudah masuk ke sebuah taksi. Ia buru-buru memanggil taksi lain terdekat. Begitu satu mobil taksi merapat, ia langsung membuka kursi penumpang depan dan memerintah: “Ikuti taksi depan.”

Si pria sangat khawatir dengan keganjilan perilaku si wanita. Tetapi, si wanita terus menolak perhatian dan pendekatannya. Taylor Shen memejamkan mata. Dua tahun itu, apa sebenarnya yang terjadi padanya?

Taksi yang ditumpangi Vero He tiba di depan kediaman rumah keluarga He. Karena tidak bawa uang, Vero He meminta supir menunggu sebentar.

Melihat pakaian dan rumah si penumpang, supir sama sekali tidak khawatir tarif tidak dibayar. Ketika Vero He baru keluar dari taksi, ia mendengar seseorang memanggilnya dari belakang. Ia menoleh dan melihat seorang pria bersandar di sisi mobil dengan wajah ramah.

“Nona He, kamu sepertinya lupa dengan acara kencan kita malam ini?” Nada bicara Fabio Jin tidak begitu senang. Ini pertama kalinya ia diberi harapan kencan palsu oleh wanita.

Vero He teringat acara kencannya itu. Ia menjawab canggung: “Maaf…… aku, aku lupa.”

Fabio Jin berjalan menghampiri Vero He. Ia baru sadar mata wanita itu merah seperti habis menangis. Dengan wajah yang lebih lembut, ia memaklumi: “Tidak apa-apa. Sekarang belum terlalu larut, kamu bisa menemaniku makan snack malam.”

Ketika Vero He mau menjawab, supir taksi mengejar pembayarannya: “Nona, tolong lebih cepat.”

Vero He menatapnya dengan tidak enak dan buru-buru berkata: “Tuan Jin, mohon tunggu sebentar. Aku masuk ambil uang dulu.”

Fabio Jin langsung menahan Vero He ketika ia berbalik badan. Pria itu tersenyum: “Ini aku ada dompet dan ada uang kok, untuk apa kamu ribet-ribet?”

Si pria mengeluarkan sebuah dompet hitam dari kantong dan menyodorkannya ke Vero He. Si wanita agak ragu-ragu memakai uangnya, namun akhirnya menerima dompet itu, mengeluarkan uang empat ratus ribu, dan memberikannya ke supir. Supir taksi menerima uang itu dan memberi kembalian dua ribu rupiah.

Setelah memasukkan uang kembalian ke dompet, Vero He mengembalikan benda itu ke si pemilik sambil berkata: “Terima kasih sudah membayari. Lain kali, kalau ada kesempatan, aku pasti akan mengembalikan uangmu.”

Fabio Jin menyimpan dompet kembali di kantong: “Nona He tidak perlu sungkan. Daripada ganti, mending kamu temani aku makan snack malam.”

Vero He mengecek jam tangan. Sekarang sudah terlalu larut untuk makan malam, tetapi masih terlalu dini untuk makan snack malam. Meski begitu, ia tetap mengiyakan. Mereka berdua pergi ke mobil Fabio Jin dan si pria membukakan pintu penumpang depan.

Setelah Vero He duduk dengan sempurna, Fabio He menutup pintu dan masuk kursi supir. Mobil pun melaju untuk berputar balik di depan. Di belakang, taksi yang ditumpangi Taylor Shen membuntuti mereka. Kedua mobil berpapasan dalam jalur yang berlawanan setelah mobil Fabio Jin berputar balik. Taylor Shen bisa melihat dengan jelas wajah pria yang di dalam dan mengingatkan supir jangan sampai kehilangan jejak.

……

Wayne Shen terbangun oleh suara tangisan bayi yang meraung. Meski ia bermalam di Harvest City yang letaknya cukup jauh dari rumah Jennifer Li, ia tetap bisa mendengar tangisannya. Itu karena malam sangat sunyi, jadi suara apa pun bisa terdengar dari jauh.

Si pria melepas selimut, memakai jaket, lalu mengenakan sendal dan pergi ke rumah Jennifer Li. Kemarin ia pikir kata-katanya yang mengharukan akan membuat Jennifer Li menerimanya dengan terbuka, tetapi pada akhirnya wanita itu tetap mengusirnya.

Wayne Shen paham hubungan di antara mereka sudah tidak sama lagi seperti dulu. Dirinya sudah pernah menikah sekali, sementara Jennifer Li sudah mengalami kegagalan cinta sekali. Membuat Jennifer Li menerima cintanya adalah sebuah tugas berat.

Meski berat, Wayne Shen tetap ingin berusaha setahap demi setahap. Ia tidak mau menyerah sampai bisa mendapatkan Jennifer Li lagi. Sekali bersumpah tidak mau menyerah, maka selamanya tidak akan menyerah.

Sepanjang larut dalam pemikiran, si pria akhirnya tiba di rumah Jennifer Li. Suara tangisan Adam Song sangat kencang, sesekali juga terdengar keluhan dari si ibu. Dalam teguran itu ada perasaan capek hati yang terpancar, mungkin karena ia lelah dibangunkan saat sedang lelap-lelapnya.

Jennifer Li di luar terlihat sebagai wanita kuat, namun di belakang ternyata juga lemah.

Si pria masuk ke pekarangan dan membuka pintu. Tadi sore, ia memang sudah memesankan asisten rumah untuk tidak mengunci pintunya. Itu biar ia bisa langsung masuk kalau-kalau terjadi sesuatu.

Wayne Shen mendongak menatap lantai dua. Melihat bayangan seorang wanita menggendong bayi di balik tirai salah satu kamar, ia langsung berlari naik tanpa ragu. Ketika ia sampai di depan kamar tidur mereka, lampu otomatis di atasnya menyala. Ia pun melangkah masuk dan mengambil alih Adam Song dari gendongan Jennifer Li: “Biar aku yang tenangkan.”

Si wanita mendongak. Rambut Wayne Shen berantakan, di wajahnya pun ada garis-garis bantal. Ia pasti baru bangun juga, sama seperti dirinya.

Wanita itu bertanya sedikit ketus, “Bukannya aku sudah suruh kamu pulang? Mengapa kamu masih di sini?”

Wayne Shen mengabaikan kata-katanya. Tujuh tahun lalu, saat disuruh pergi, ia sungguh-sungguh pergi. Sekarang, ia tidak akan menuruti perintahnya lagi. Pria itu menepuk-nepuk pantat Adam Song dengan lembut. Si anak masih menangis sampai mukanya merah. Ia merasa ada yang tidak normal, “Dia sepertinya tidak enak badan ya?”

Jennifer Li daritadi menganggap itu sebatas raungan normal saja. Mendengar Wayne Shen bertanya begitu, ia ikut merasa ada yang aneh. Raut wajahnya seketika berubah, “Bisa jadi. Terus bagaimana ya? Atau bawa ke rumah sakit saja?”

Wayne Shen tidak punya pengalaman mengurus anak, jadi ikut panik. Ia mencoba berpikir tenang, lalu berkata: “Kamu telepon dokter keluarga, suruh dia kemari untuk cek dulu.”

Wayne Shen menaruh Adam Song di atas kasur. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek suhu tubuh si bayi dengan menempelkan punggung tangan di jidatnya. Suhu jidat anak itu normal. Ia lalu membuka baju si anak dan mengecek perutnya. Perutnya juga tidak kembung.

Dua hari ini si pria terus membaca buku parenting di Harvest City, jadi tahu harus mengecek bagian tubuh apa aja ketika bayi menangis. Ia berikutnya membuka popok Adam Song. Popoknya bersih, jadi anak itu juga tidak diare.

Ketika mau kembali memasang pokok, sudut mata Wayne Shen menyadari sesuatu. Ia menoleh ke sesuatu itu dan akhirnya menemukan penyebab Adam Song terus menangis. Ia memanggil: “Jennifer Li, cepat sini lihat.”

Si wanita baru kelar menelepon. Ketika dipanggil, ia buru-buru datang lalu bertanya gelisah: “Lihat apa?”

Wayne Shen menunjuk anu Adam Song, “Tuh lihat!”

Jennifer Li melihat benda yang ditunjuk si pria. Menyadari orang luar seperti Wayne Shen melihat organ vital anaknya, ia risih. Ia menendang kakinya, “Wayne Shen, aku sekarang sedang tidak ingin bercanda denganmu.”

Si pria mengaduh akibat menerima tendangan yang cukup keras. Ia mendongak menatap wajah Jennifer Li yang ternyata sudah merah. Ia langsung sadar sepertinya terjadi kesalahpahaman. Meski begitu, ini bukan waktu yang cocok untuk meledeknya. Ia segera memperjelas yang ia maksud: “Itu rambut, lihat tidak? Ada rambut mengikat itunya……”

Wayne Shen mengucapkan ini dengan hati-hati karena merasa canggung.

Si wanita menengok lagi dan menyadari memang ada rambut di situ. Pantas saja beberapa jam terakhir tidak pipis-pipis. Rautnya khawatir, “Kakak Wayne Shen, jadi harus bagaimana?”

“Jennifer Li, nih kamu gendong dia, aku yang lepaskan rambutnya. Cepat!” perintah sang pria.

Jennifer Li melakukannya dengan patuh, lalu Wayne Shen menunduk di hadapan mereka. Ia dengan hati-hati dan lembut melepaskan rambut itu dari anu Adam Song. Rambut dengan cepat berhasil dilepas. Bak keran yang diputar, Adam Song langsung pipis dengan kencang.

Wayne Shen refleks menghindarkan kepala ketika melihat “diserang” cairan kuning. Meski ia berhasil menyelamatkan wajah, namun jaketnya tetap tidak selamat. Jaket itu langsung berwarna kekuningan bak kena pewarna.

Sungguh kasihan nasib Wayne Shen yang cinta mati kebersihan ini. Pertama kali bertemu, ia kena pup Adam Song. Kedua kali bertemu, ia kena kencingnya.

Adam Song langsung menendang-nendang kesenangan sambil terus mengucurkan pipis. Setelah beberapa detik, pipis akhirnya berhenti. Wajah Adam Song tidak merah lagi, matanya juga tidak menangis lagi. Mungkin karena kelelahan menangis, anak itu langsung terlelap di gendongan mama.

Wayne Shen bangkit berdiri dengan sekujur jaket penuh kencing. Bagian dada t-shirtnya pun kena kencing. Berhubung kamar cukup hangat, ia langsung melepas jaketnya di sana. Pria itu pura-pura marah ke Adam Song: “Tunggu saja kamu besar, aku pasti akan pukul pantatmu.”

Jennifer Li tidak enak hati melihat nasib Wayne Shen. Ia menaruh Adam Song di kasur, memasangkan selimut untuknya, lalu mengambil baju pria dari lemari. Wanita itu berkata: “Sana ganti baju dulu.”

Wayne Shen menerima sodoran bajunya. Jennifer Li tengah menunduk karena sengaja tidak menatapnya. Ia pun bergegas ke kamar mandi.

Tidak lama kemudian, terdengar suara shower menyala dari dalam kamar mandi. Melihat genangan pipis di lantai, Jennfer Li segera pergi ke kamar sebelah dan mengambil kain pel, lalu mengepelnya sampai kering dan bersih. Wanita itu mengembalikan kain pel ke kamar sebelah, lalu balik ke kamar dan duduk di ranjang menatap Adam Song.

Kejadian barusan sungguh bikin panik. Kalau tidak ada Wayne Shen yang menyadari keberadaan rambut, bisa jadi ia sudah marah besar dengan Adam Song karena terus menangis. Wanita itu mengelus rambutnya sendiri dan mengamatinya. Sepertinya ia sudah harus meluangkan waktu untuk potong rambut……

Suara shower berhenti. Wayne Shen keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kemeja. Melihat Jennifer Li termenung menatapi Adam Song, ia pelan-pelan menghampiri mereka. Meski gerakannya pelan, Jennifer Li tetap sadar dengan kedatangannya. Kekhawatiran dalam matanya tidak keburu disembunyikan. Sepasang mata mereka saling bertatap-tatapan dalam diam. Jennifer Li lalu mengalihkan pandangan dan bilang, “Sudah larut, cepatlah pulang dan istirahat.”

Wayne Shen menatap Jennifer Li tajam. Tubuh wanita ini harusnya makin berisi setelah melahirkan anak, tetapi sekarang malah kurus sampai ke tulang-tulang. Dagunya yang dulu normal pun kini berubah jadi agak tajam.

Wayne Shen duduk di sisi ranjang yang agak jauh dari Jennifer Li. Ia bisa merasakan kekakuan pada tubuh si wanita. Ia tidak mendekatinya, melainkan hanya mengamati Adam Song. Enak sekali hidup anak ini, sesudah selesai “nyembur” langsung tidur. Ia samar-sama bisa mendengar suara nafas Adam Song yang teratur.

Anak lucu ini keluar dari perut Jennifer Li yang cantik. Kok Patrick Song bisa rela melepas keduanya ya?

“Beberapa hari ini tidurmu kurang cukup. Biarlah sekarang aku yang berjaga, kamu tidur dulu,” ujar Wayne Shen lembut dan penuh kasih sayang. Ia ingin terus berada di kamar ini, sekali pun hanya untuk melihat Jennifer Li terpejam.

“Kakak Wayne Shen……” panggil si wanita pelan.

Wayne Shen mengambil sikap lebih tegas, “Berhubung kamu terus panggil aku kakak, maka turuti kata-kataku. Tidur.”

Jennifer Li tidak bergerak. Wayne Shen tahu apa yang dia pikirkan. Wanita itu tidak ingin ia terus berada di dekatnya. Tetapi, mana mau sih Wayne Shen pergi dari sini?

Si pria bangkit berdiri, menghampiri Jennifer Li, dan mengangkanya. Tiba-tiba digendong, si wanita langsung ketakutan. Ia refleks mencengkram leher si penggendong, “Wayne Shen, lepaskan aku, lepaskan aku!”

Wayne Shen membaringkan Jennifer Li di ranjang, lalu menyelimutinya. Melihat dia mau bangkit berdiri lagi, ia menahan bahunya dan berkata datar: “Kalau kamu tidak bisa tidur, aku bisa temani kamu ngobrol. Pokoknya, kamu harus terus baring.”

Nada bicara Wayne Shen lembut tetapi kata-kata yang dipilihnya berkonotasi perintah. Jennifer Li hanya bisa membuang nafas pasrah dan tidak bergerak. Melihat wanita itu menurut, Wayne Shen berkata: “Aku duduk sini ya, ayo berbincang.”

Novel Terkait

Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
5 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
Dark Love

Dark Love

Angel Veronica
Percintaan
5 tahun yang lalu
My Greget Husband

My Greget Husband

Dio Zheng
Karir
4 tahun yang lalu
Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Wanita Pengganti Idaman William

Wanita Pengganti Idaman William

Jeanne
Merayu Gadis
5 tahun yang lalu