You Are My Soft Spot - Bab 165 Tiffany Song Sangat Berterima Kasih Padamu (1)

Lorong jalan kamar pasien sangat sepi, satu orang pun tidak ada. Taylor Shen berlari ke arah lift, sementara Karry Lian mengikutinya dari belakang. Ia tidak memikirkan apa-apa, yang penting lari dan ikuti saja dulu.

Melihat salah satu lift rumah sakit tengah lowong di lantai tempat ia berada, Taylor Shen menekan-nekan tombol lift berulang kali. Lift itu pun terbuka dan Taylor Shen buru-buru masuk. Baru memencet tombol tutup, Karry Lian muncul di depan pintu. Ia menahan kedua pintu lift agar tidak tertutup dan melangkah masuk dengan secepat kilat.

Lift akhirnya tertutup sempurna. Karena barusan lari-larian, nafas Taylor Shen dan Karry Lian kini lumayan tergesa-gesa. Taylor Shen menatap terus nomor penunjuk lantai lift dengan gelisah. Dalam hati ia terus berseru, “Cepat sedikit! Cepat sedikit!”

Lift tiba di lantai satu. Taylor Shen keluar duluan dan langsung berlari ke arah gerbang utama rumah sakit. Karry Lian lagi-lagi berlari mengikutinya tanpa tahu apa yang dia kejar. Sesampainya di gerbang utama, mereka melihat sebuah mobil ambulans keluar dari sana dan sekarang melaju di jalan raya.

Sudah berlari-lari jauh dan kelelahan begini, hasil akhir yang didapat hanya melihat mobil ambulans itu lenyap dari pandangan…… Taylor Shen merogok ponsel dan menelepon sebuah nomor. Dengan nafas tergesa-gesa, ia memerintah: “Ned Guo, bantu hentikan sebuah mobil ambulan. Mobil itu baru keluar dari Rumah Sakit Kota An dan sekarang tengah melaju ke arah Jalan Huainan. Betul, segera hentikan mobilnya!”

Taylor Shen mengelap keringat di wajahnya sambil batuk-batuk. Ia ingin tahu siapa orang yang ada di mobil ambulans itu. Bunga melati, jenis bunga kesayangan mama, mengapa bisa muncul di kamar pasien Rumah Sakit Kota An?

Karry Lian ikut mengelap-ngelap keringat. Rambutnya berantakan sekali karena tadi lari-larian. Ia lalu bertanya heran pada “rekan operasi”-nya: “Taylor Shen, kamu sedang mengejar siapa?”

Taylor Shen berusaha mengembalikan nafasnya ke ritme normal. Rambut dia sendiri juga acak-acakan, kerah bajunya bahkan juga sudah tidak karuan. Ia tadi juga sempat membuka dua kancing kemejanya untuk memudahkan ia bernafas ketika berlari. Ia mendeham dingin: “Kamu sendiri lari mengejar apa?”

Karry Lian menjawab polos, “Aku juga tidak tahu. Aku hanya ikutan lari karena lihat kamu lari.”

“……” Taylor Shen membalasnya dengan tatapan sinis. Ponselnya tiba-tiba berdering. Di seberang sana langung terdengar suara Ned Guo, “Mobil ambulansnya sudah dihentikan. Aku kirim lokasinya sekarang ke kamu.”

“Terima kasih!” jawab Taylor Shen tulus.

Ned Guo mematikan telepon dan mengirim lokasinya saat ini ke dia. Taylor Shen berjalan ke sisi jalan dan memanggil taksi. Begitu dapat, ia langsung masuk ke bangku penumpang depan sambil memberi tahu sang supir lokasi yang ia tuju. Pintu kursi belakang tiba-tiba dibuka oleh Karry Lian yang ingin ikut masuk.

Taylor Shen menoleh dan berteriak dingin: “Turun!”

Karry Lian merapikan jas dokternya dan menjawab sambil menatap kaca spion depan: “Jangan pelit gitulah, naik sama-sama saja.”

Taylor Shen tidak boleh membuang-buang waktu. Ia berseru dingin pada supir untuk mulai menyetir tanpa meladeni Karry Lian lagi.

Karry Lain duduk di belaakng sambil menatap Taylor Shen yang duduk di depan dengan dingin. Kekuasaannya di Kota Tong sungguh tidak boleh diremehkan. Hanya dengan satu telepon saja ia bisa mengendalikan lalu lintas. Musuh sekuat ini mau dilawan pakai apa coba?

Sepuluh menit kemudian taksi berhenti di belakang ambulans yang sudah dihentikan polisi. Taylor Shen mengeluarkan satu lembar uang dua ratus ribu dan memberikannya pada supir, lalu turun dari taksi.

“Tuan Shen, ini mobil ambulans yang tadi keluar dari Rumah Sakit Kota An. Kami sudah mengecek semua hal tentang mobil ini, tidak ada yang aneh-aneh,” sambut polisi lalu lintas sambil tersenyum.

Taylor Shen merapikan kerahnya sambil berjalan mendekati ambulans dan membuka pintu belakang. Di dalam mobil itu memang ada satu orang sakit. Wajahnya ditutupi kain putih, sepertinya ia sudah mati. Jantung Taylor Shen berdebar kencang. Ia langsung naik ke mobil itu dan menghampiri si orang mati. Taylor Shen gigit-gigit bibir sambil membuka kain putih yang menutupi kepalanya dengan perlahan. Begitu sudah melihat wajah si orang mati, seberkas kekecewaan langsung memenuhi rongga dada Taylor Shen.

Bukan ini, orang mati di mobil ini laki-laki.

Taylor Shen kembali menutupi wajah orang mati itu dengan kain putih, lalu melompat turun dari mobil. Ia bertanya ke polisi lalu lintas: “Kamu yakin ini mobil ambulansnya?”

“Yakin, kami mengetahuinya dari plat nomor yang terpotret kamera jalan ketika mobil ini keluar dari gerbang Rumah Sakit Kota An. Saat kami stop, si pengemudi agak kaget. Dia bila dia memang baru keluar dari Rumah Sakit Kota An dengan tujuan krematorium di sisi barat kota,” jawab sang polisi.

Sekarang seluruh penjuru kota dipasangi kamera. Asal tahu nomor plat mobil yang dicari, pusat komando lalu lintas pasti bisa langsung melacak keberadaan mobil dengan nomor plat tersebut dalam hitungan detik.

“Baiklah, sudah boleh lepaskan dia.” Taylor Shen berdiri di sisi jalan sambil berusaha berpikir lagi. Sprei masih panas, artinya pasien kamar itu masih hidup, bukan orang mati yang barusan. Kalau begitu hanya ada satu kemungkinan: konsentrasinya sudah dialihkan dan pasien itu sebenarnya masih di rumah sakit.

Dengan mata berbinar-binar karena mendapat ide baru, Taylor Shen pergi menyebrang jalan. Karry Lian buru-buru mengikutinya, “Taylor Shen, kamu sedang mencari apa?”

Taylor Shen tidak meladeninya dan langsung memanggil taksi untuk kembali ke rumah sakit. Karry Lian kali ini tidak jadi ikut dia sebab ponselnya tiba-tiba berdering. Ia mengecek nomor si penelepon dulu baru mengangkatnya, “Kakek.”

“Cepat kemari sekarang juga!” Meski mereka berbicara secara tidak langsung, Karry Lian tetap dapat merasakan amarah Kakek. Ia mengernyitkan alis, menjawab satu dua kata yang menegaskan ia akan segera ke sana, lalu mematikan telepon.

Mobil Karry Lian masih di Rumah Sakit Kota An. Ia mengambil taksi untuk pergi ke rumah sakit dulu dan mengambil mobil.

……

Taylor Shen tiba di Rumah Sakit Kota An. Ia langsung bergegas ke kamar terakhir dari kamar pasien VIP yang tadi ia kunjungi. Si pasien sudah kembali. Taylor Shen mengetuk pintu dan melangkah masuk. Wanita yang terbaring di atas ranjang refleks bertanya heran, “Tuan, kamu siapa?”

Taylro Shen menatap wanita muda ini. Usianya kira-kira tiga puluh tahun. Ia bertanya dengan alis terangkat, “Kamu dari dulu tinggal di ruang pasien ini?”

“Betul, aku dari dulu tinggal di sini.” Si wanita mengangguk.

Taylor Shen menatap lekat-lekat mata wanita itu. Matanya sekilas ada bekas habis panik, tetapi ekspresinya sekarang tenang dan santai. Taylor Shen berbalik badan, berjalan ke meja teh, lalu mengambil bunga melati yang ada di atasnya: “Kamu suka bunga ini?”

“Betul, aku suka sekali.”

“Kalau begitu kamu tahu nama bunga ini?” tanya Taylor Shen tanpa melepaskan tatapannya.

“Tahu dong, bunga bakung kan?”

Taylor Shen menaruh kembali bunga ke vas: “Maaf sudah menganggu.”

Ia keluar dari ruang pasien itu. Ia berani memastikan wanita ini bukan pasien asli kamar ini. Jadi ada orang yang sengaja mengalihkan perhatiannya agar ia tidak bertemu si pasien asli dan menukarnya dengan pasien palsu? Sebenarnya apa yang disembunyikan di balik ini semua?

Dan Karry Lian tadi mengapa pula datang ke rumah sakit ini? Apa dia berkomplotan dengan perancang semua kebusukan ini untuk mengulur-ulur waktu agar si pasien asli punya waktu yang cukup untuk dipindahkan? Bunga melati, wanita bisu, tuli, dan buta, mungkinkah itu mama?

Tetapi di sisi lain Taylor Shen sudah lihat sendiri mama mati termakan api…… Masak iya ada orang yang bisa bangkit dari kematian?

Taylor Shen berjalan ke lift. Sadar ia masih mengenakan jas dokter, ia segera melepasnya dan membuangnya ke tong sampah. Ia lalu masuk lift di depannya. Tidak peduli apa yang sedang disembunyikan darinya, ia akan menyelidikinya sampai tuntas.

……

Karry Lian tiba di rumah kediaman keluarga Lian. Baru masuk ruang tamu, ia langsung menyadari ada yang tidak beres di sana. Ia belum pernah merasa ruang tamu setegang dan sedingin ini. Ia berjalan ke sofa. Kakek sudah duduk di sana dengan didampingi para pengawal pribadinya yang berdiri tegap.

Karry Lian mengernyitkan alis dan bertanya: “Kakek, ada urusan apa memanggilku kemari?”

“Berlutut!” Kakek berteriak sambil menatap marah.

Karry Lian dengan patuh berlutut di hadapan Kakek. Kapan terakhir kali ia melihat kakek marah besar begini? Rasanya saat Kakek tahu papa dan mama meninggal kecelakaan karena Angelina Lian maksa minta dibelikan makanan. Kakek saat itu langsung menyuruh orang-orangnya untuk menyeret Angelina Lian turun.

Kakek saat itu sangat menakutkan. Pria tua itu menyabet Angelina Lian dengan cambuk berkali-kali. Setiap sabetannya keras sekali sampai menyobek daging kulit Angelina Lian. Itu pertama kalinya Karry Lian melihat kakek marah sampai bermain tangan begitu. Pada akhirnya, kakek menyuruh para pengawal pribadinya menggotong Angelina Lian ke luar dan membuangnya begitu saja di sana. Ia masih ingat betul senyum puas di wajah kakek ketika menyaksikan ini.

Kakek menatap Karry Lian dengan geram. Ini cucu yang sudah ia besarkan seorang diri dari kecil. Ia pikir Karry Lian bisa ia jadikan alat pembalasan dendam pada musuh-musuhnya, ternyata hari ini cucunya itu malah mengusik urusannya sendiri!

“Kamu tau kesalahan apa yang kamu perbuat hari ini?” tanya kakek sambil berusaha menahan emosi.

Karry Lian menunduk, “Kakek, aku tidak tahu.”

“Masih tidak mau cerita juga? Kamu hari ini membawa Taylor Shen ke Rumah Sakit Kota An kan? Ada bicara apa kamu dengan dia?” selidik Kakek.

Karry Lian mendongak dan menatap Kakek: “Bukan aku yang bawa Taylor Shen ke Rumah Sakit Kota An, aku juga tidak ada berbicara apa-apa dengan dia. Kakek, aku sungguh tidak mengerti, mengapa kamu semarah ini ketika tahu Taylor Shen pergi ke Rumah Sakit Kota An? Jangan-jangan di dalam rumah sakit itu ada rahasia yang tidak boleh diketahui siapa pun?”

“Lancang kamu!” Kakek menampar Karry Lian kencang-kencang sampai tangannya berbekas di wajah cucunya itu. Ia memaki lagi, “Sejak kapan kamu punya hak mencurigaiku? Kamu malam-malam membuntutiku, aku tidak bikin perhitungan denganmu. Sekarang kamu bekerjasama dengan musuh untuk mengkhianatiku…… Apa gunanya aku besarkan kamu?”

Sudut bibir Karry Lian berdarah. Wajahnya pun terasa panas sekali. Ia menatap Kakek lekat-lekat. Kakek yang sekarang bukan kakek yang memanjakannya. Ia lebih mirip Asura, si dewa neraka itu, sekarang. Tatapannya penuh dendam dan kebencian.

Ia bertanya: “Kakek, ada sesuatu yang aku tidak paham. Beberapa tahun ini, kamu selalu keluar malam-malam dan pergi ke Rumah Sakit Kota An. Di sana sebenarnya ada siapa? Kamu setakut ini Taylor Shen tahu soal rahasiamu, jangan-jangan orang yang tinggal di sana ada hubungan erat dengan Taylor Shen? Kalau kamu tidak jujur padaku, aku tidak berani jamin lain kali tidak akan mengganggu rahasiamu ini.”

“Sudah besar jadi berani mengancamku kamu?” Kemarahan Kakek semakin menjadi-jadi. Ia mencengkeram kulit sofa sampai berbekas, “Kemari, ambil cambuk!”

Karry Lian merinding. Ia tidak menyangka cambuk yang pernah kakek pukulkan ke Angelina Lian hari ini akan mendarat di tubuhnya.

Yang berdiri di sebelah kakek adalah orang yang paling ia percayai. Paman Bai. Paman itu selalu ada di samping kakek kapan pun dan di mana pun. Mendengar kakek minta diambilkan cambuk, ia buru-buru menenangkan: “Kakek, Tuan Muda masih kelewat muda jadi gaya bicaranya blak-blakan. Mohon ampuni dia.”

Kakek menatap Paman Bai kesal. Ditatap seperti itu membuat Paman Bai langsung berkeringat dingin dalam hitungan detik. Ia dalam hati mendesah pasrah, hari ini ia tidak bisa melindungi Karry Lian. Ia pun bergegas naik ke atas untuk memenuhi permintaan kakek.

Tidak lama kemudian Paman Bai turun sambil membawa sebuah kotak. Ia menyerahkan kotak itu ke kakek, “Kakek, ini cambuknya.”

Kakek menatap Karry Lian yang masih berlutut di lantai. Ia membuka kotak itu dan mengambil seutas cambuk kulit di dalamnya. Cambut itu sudah berumur cukup lama. Warna merah di sekujur bagiannya adalah darah yang mengering dari kulit orang-orang yang pernah menerima cambukannya. Itu tidak bisa dibersihkan, jadi lama-kelamaan mengendap ke dalam.

Karry Lian menatap cambuk tanpa meminta ampun sama sekali. Kakek menyuruhnya bermusuhan dengan Taylor Shen, ia lakukan itu dengan patuh. Kakek menyuruhnya menukar sampel DNA milik Tiffany Song, ia juga lakukan itu sambil menahan rasa bersalah. Namun, ia tidak paham sama sekali mengapa kakek memintanya melakukan hal-hal ini. Ia butuh alasan, sebuah alasan mengapa ia harus membenci dan bersikap jahat pada Taylor Shen.

Novel Terkait

Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
After Met You

After Met You

Amarda
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
Asisten Bos Cantik

Asisten Bos Cantik

Boris Drey
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Rahasia Seorang Menantu

Rahasia Seorang Menantu

Mike
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Cinta Di Balik Awan

Cinta Di Balik Awan

Kelly
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu