You Are My Soft Spot - Bab 298 Tiffany Song Ke Mana? (1)

Vero He awalnya berpikir Taylor Shen hanya bercanda, nyatanya begitu sampai di Parkway Plaza, pria itu benar-benar mengikutinya turun dari mobil. Ketika Vero He masuk lift, Taylor Shen juga ikutan masuk lift. Wah, ini sih benar-benar berkantor bersama……

Setibanya di depan ruang kerja, melihat para petinggi Shen’s Corp menunggu di sekitar ruangan, Vero He benar-benar mau gila. Sebaliknya, Taylor Shen tanpa merasa bersalah sedikit pun menyuruh Christian mengajak mereka ke ruang rapat.

Si wanita berusaha mencegat: “Taylor Shen, ruang rapatnya aku mau pakai.”

“Ya sudah, kami rapat di ruang kerjamu saja ya,” ujar si pria santai.

Vero He: “……”

Hasil akhirnya adalah Vero He memberikan ruang rapat buat Taylor Shen pakai, sementara rapatnya sendiri digelar di ruang penerimaan tamu. Dibandingkan dengan jumlah petinggi Shen’s Corp, jumlah pekerja Parkway Plaza hanya setengahnya.

Setelah kelar rapat akhir tahun, si bos wanita kembali ke ruang kerja dengan kepala pening. Saat mengecek ponsel, ia menemukan satu panggilan tidak terjawab. Wanita itu buru-buru menelepon balik peneleponnya itu, yakni Stella Han.

“Tiffany Song, sidang akan dilangsungkan pukul dua siang. Kamu mau datang?” Nada bicara Stella Han saat ini terdengar sangat tenang. Kekesalannya terhadap Jordan Bo tadi pagi rasa-rasanya sudah reda sepenuhnya.

“Iya, aku mau datang.” Teringat gerakan mulut mantan kepala penjaga kantor polisi tadi pagi, Vero He terus merasa ia harus mengikuti sidangnya hari ini. Dengan menghadiri sidang itu, ia berharap bisa mengetahui realitas insiden ledakan tujuh tahun lalu.

“Baik. Aku kebetulan nanti sore tidak ada urusan, jadi bisa temani kamu,” respon si sahabat.

Vero He mengiyakan, lalu mematikan telepon. Sekarang sudah mau pukul sebelas, itu tandanya rapat Taylor Shen sudah berlangsung mau dua jam. Rapat itu masih belum kelar juga, mungkin karena topik bahasannya lumayan banyak. Dari kaca ruang kerjanya yang transparan, Vero He bisa melihat pria yang duduk di kursi pusat ruang rapat. Taylor Shen terlihat sangat berwibawa di sana.

Si wanita menyadari sesuatu. Ke mana pun si pria berjalan, dia terus menjadi pusat perhatian orang-orang. Di depan ruang kerja, Vero He juga melihat beberapa pekerja wanita yang sengaja berjalan melewati ruang rapat buat curi pandang pada Taylor Shen. Setelah mencuri pandang, mereka semua berlari kecil dengan wajah merah.

Vero He jadi sedikit kesal melihat ini. Sudah mengambil alih ruang rapatnya, Taylor Shen “menggoda” para pekerjanya pula. Huh!

Ketika masuk ruang kerja Vero He, Erin menjumpai bosnya itu tengah menatap ke arah ruang rapat dengan raut tidak senang. Melihat dua orang wanita yang berjalan di depan ruang rapat sembari melirik-lirik ke dalamnya, ia langsung paham apa yang membuat Vero He kesal. Wanita itu tidak tahan untuk tidak tertawa: “Nona He, CEO Shen sekarang sedetik pun juga tidak mau terpisah darimu ya. Gila sih, rapat saja dia sampai bawa orang-orangnya kemari.”

Vero He menarik pandangan dan menoleh ke Erin. Soal hubungan asistennya itu dengan kakak, ia tidak mengungkitnya lagi meski sesekali tetap teringat. Ia menjawab: “Entahlah, aku juga tidak paham jalan pikirannya.”

Erin menaruh sebuah berkas ke meja kerja Vero He, “Orang yang tadi pagi kamu suruh telusuri tidak ketemu. Ia menghilang seperti menguap jadi gas, sedikit jejak pun tidak ada.”

Bosnya menyipitkan mata heran. Luna Bai meninggalkan banyak sekali kejanggalan dan sekarang lenyap begitu saja, sungguh sebuah kebetulan. Ia membalas, “Jadi kalian tidak tahu dia tinggal di mana? Juga tidak tahu informasi-informasi dasar soal dia?”

“Benar. Dia seperti muncul tiba-tiba dan menghilang tiba-tiba. Kami tidak berhasil dapat satu petunjuk pun.” Erin sendiri tidak paham mengapa Vero He tiba-tiba ingin menyelidiki seorang wanita bernama Luna Bai. Ia lantas menanyakan itu, “Nona He, memang apa tujuanmu menyelidikinya?”

“Lupakan saja. Kamu boleh keluar.” Vero He mengibas-ngibaskan tangan tanda meminta Erin keluar, lalu mulai membaca berkas. Sejak kejadian Luna Bai kabur waktu itu, si wanita selalu merasa wanita itu muncul dengan membawa tujuan tertentu. Sekarang, menghilangnya dia secara tiba-tiba membuat kecurigaannya makin menjadi-jadi. Sepertinya semua kecurigaan ini hanya Bibi Lan seorang yang bisa menjelaskan.

Pukul sebelas, rapat Taylor Shen akhirnya kelar. Para petinggi Shen’s Corp keluar dari ruang rapat dan bergegas kembali ke gedung asal mereka. Taylor Shen sendiri pergi ke ruang kerja Vero He. Mulai hari ini, dia akan berkantor di ruang kerja si wanita dengan menggunakan sebuah meja bundar yang ada di pojok ruangan.

Vero He mendongak dan bertanya risih: “Taylor Shen, sudah cukup?”

“Belum.” Taylor Shen menghampiri Vero He dan menarik tangannya untuk berdiri. Ia lalu mengambil alih kursi bekas si wanita, duduk, dan menyuruh si wanita duduk di atas sepasang lututnya. Sembari memegangi pinggang Vero He dan menikmati aroma harum yang terpancar dari tubuhnya, Taylor Shen berujar: “Aku senang berada bersamamu. Setiap kali mau melihatmu aku bisa melihatmu, setiap kali mau menciummu aku bisa menciummu.”

“Taylor Shen, usiamu sudah mau empat puluh loh,” kata Vero He mengingatkan. Maksud dia adalah Taylor Shen sudah merupakan pria dewasa yang harus bijak, bukan remaja usia dua puluh tahun yang selalu ingin bertempelan dengan kekasihnya.

Si pria mencium leher si wanita dan meledek: “Iya, masa remajaku datangnya baru sekarang.”

“……” Vero He sungguh kagum dengan tebalnya wajah Taylor Shen. Gila, bisa-bisanya dia bilang masa remajanya baru datang sekarang! Haduh, kalau pria ini terus tebal muka begini, ia yang bakal terpaksa menyesuaikan diri dengan segala tingkah anehnya nih……

“Taylor Shen, lepaskan kau. Aku mau keluar.” Ruang kerja ini sekelilingnya kaca semua, siapa pun yang ada di luar pasti bisa melihat apa pun yang terjadi di dalam dengan jelas. Vero He sungkan menunjukkan kemesraan dengan si pria pada orang lain.

“Sepanjang pagi sibuk rapat, aku sekarang ingin peluk-peluk kamu.” Setelah berucap begini, Taylor Shen mengambil remot dan menurunkan gorden di seluruh sisi kaca. Ketika sudah tertutup semua, bibirnya mulai menciumi Vero He.

Ciuman Taylor Shen sangat agresif, sampai-sampai Vero He meringis karena merasa agak sakit. Menyadari reaksi ini, si pria menjulurkan lidah dan menjilat luka si wanita seolah bisa benar-benar menyembuhkannya. Beberapa jilatan diberikan, lalu ciuman kembali muncul.

Sekujur tubuh Vero He yang tegang perlahan melemas. Wanita itu larut dalam ciuman Taylor Shen. Setelah berciuman panas, nafas keduanya terengah-engah. Vero He bersandar di bahu Taylor Shen sembari menata ulang nafas.

“Taylor Shen, habis istirahat siang aku ada urusan di luar. Kamu nanti balik saja ke Shen’s Corp, kasihan para pekerjamu mondar-mandir kemari.” Suara Vero He masih serak dan lemas seperti masih terbuai dengan sensasi ciuman barusan.

Suara ini terdengar seksi dan manja di telinga Taylor Shen. Akibatnya, tubuhnya jadi memanas dan bergelora. Dalam hal ini, Taylor Shen sebenarnya terhitung sudah sangat menahan diri. Waktu berusia dua puluh lima tahun, pertama kalinya menyentuh Vero He yang “belum matang”, dia selalu terbayang sosoknya pagi dan malam. Ketika Vero He pergi, dia jelas tetap punya nafsu, tetapi ditahan karena tidak mau melampiaskannya ke wanita lain.

Pada usia tiga puluh, Taylor Shen kembali menemukan Vero He. Cinta mereka waktu itu jadi jauh lebih kuat. Si pria tidak pernah merasa cukup dengan si wanita. Sekalinya bersentuhan dengannya, ia langsung ingin mengompensasi nafsu yang sudah dia tahan-tahan selama berpisah lima tahun. Sayang, baru setengah tahun kembali bersama, Vero He kembali menghilang entah kemana.

Selama tujuh tahun menghilangnya si wanita, Taylor Shen bukannya tidak pernah terpikir untuk mencari wanita lain buat melampiaskan nafsu. Ia pernah memikirkannya, tetapi ketika ingin bertindak lebih jauh, nada suara dan senyuman Vero He selalu terbayang dalam benak. Itu membuatnya jadi selalu mengurungkan niat tersebuut.

Mungkin cinta memang begini. Sekalinya seseorang pernah memberikan pengalaman yang berkesan, maka orang tersebut bakal selamanya terkenang dan terbayang.

Si pria berbisik serak pada si wanita, “Buat aku kenyang, nanti aku izinkan kamu keluar.”

Teligna Vero He memerah. Wanita itu buru-buru mau lompat dari pangkuan Taylor Shen, namun ditahan erat-erat oleh si pria. Taylor Shen juga menempelkan tubuhnya lebih erat lagi biar Vero He bisa semakin merasakan kehangatan yang ia alami, “Kalau kamu tidak mau, ya aku tidak izinkan kamu pergi.”

“Taylor Shen, apaan sih!” jawab wanita itu jijik. Ruang kerja Veor He hanya dikelilingi kaca transparan. Bilang dibandingkan dengan tembok, kemampuan meredam suaranya jauh lebih rendah. Taylor Shen ini tiap menyetubuhinya selalu membuat suara dia keluar terus, masak sekarang mereka mau melakukannya di tempat yang begini sih? Gila, Taylor Shen ini mau membuatnya tidak berani muncul di hadapan orang-orang lagi ya!

Si pria menatap wajah kesal wanitanya dengan alis terangkat, “Sudah pertimbangkan? Aku hitung mundur ya. Tiga, dua……”

“Mau!” Ya sudah lah, Vero He terpaksa berkorban biar diizinkan pergi.

Seberkas rasa senang melintas di mata Taylor Shen. Ia tiba-tiba membopong Vero He ke ruang istirahat yang ada di salah satu sudut ruang kerja. Ia membopong wanitanya itu sembari sesekali menciumi bibirnya.

Vero He baru turun dari ranjang sekitar pukul satu siang lebih. Ia merapikan pakaian sembari mengamati pria yang terbaring lelah karena habis dipuaskan olehnya dengan mata menyipit.

Taylor Shen pasti sengaja! Tahu dirinya tidak bakal berani teriak, Taylor Shen jadi bermain sejadi-jadinya! Ia sebenarnya sudah minta untuk berhenti dari awal, namun permintaannya itu tidak dihiraukan sama sekali.

Taylor Shen terbangun dan bersandar di kepala ranjang. Ranjang ini tidak sebesar ranjang yang ada di kamar tidur, panjangnya hanya sekitar satu koma lima meter. Sprei ranjang terlihat sangat berantakan, begitu pun kemeja yang dikenakan Taylor Shen. Berselang beberapa saat, si pria mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menghisapnya sembari mengamati tubuh Vero He dari atas sampai bawah berulang-ulang.

Vero He jelas terganggu dengan tatapan begini. Ia mengangkat tangan yang dikepal dan memberi peringatan: “Lihat apa kamu? Sekali lihat lagi, aku tonjok nih matamu.”

Taylor Shen menunduk dan membuang abu puntung rokok ke asbak di meja sebelah ranjang. Ia lalu melepaskan selimut dan turun dari ranjang. Vero He buru-buru berbalik badan biar tidak melihatnya. Mendengar suara orang memasang pakaian di belakang, telinganya jadi makin merah.

Selama Taylor Shen memasang pakaian, Vero He sebenarnya ingin kabur. Sayang, gerakan berpakaian si pria sangat cepat sampai dirinya tidak keburu kabur duluan.

Setelah memakai celana, Taylor Shen menahan tangan Vero He. Si wanita kaget setengah mati dan berjuang melepaskan tangannya dari tangan si pria, namun hasilnya nihil. Pada akhirnya, Vero He jatuh dalam dekapan Taylor Shen. Tubuhnya agak gemetar, hidungnya bisa mencium aroma hormon tubuh pria yang sangat kuat.

Merkea berduaan di ruang kerja selama ini, terus pakaiannya berantakan semua. Siapa pun yang punya mata pasti bisa menebak apa yang terjadi di dalam ruang kerja. Ah, Vero He sungguh malu membayangkan dirinya ditatap orang-orang!

“Taylor Shen, lepaskan aku. Aku harus berangkat sekarang, kalau tidak bakal terlambat.” Melihat Taylor Shen memegang dirinya lagi, nafas Vero He kembali naik turun dengan cepat.

Taylor Shen bukan orang yang nafsuan. Tetapi, tiap bertemu dengan Vero He, ia benar-benar tidak bisa mengendalikan nafsunya itu!

Taylor Shen memegang bahu Vero He dan memutarbalikkan badan si wanita. Ia berujar datar: “Pakaikan kancingku.”

Bahu Taylor Shen yang bidang dan beberapa cakaran yang ada di atasnya memenuhi seluruh pandangan Vero He. Cakaran-cakaran itu adalah cakaran yang Vero He berikan sebagai bentuk balas dendam selama tadi disetubuhi. Si wanita membuang muka dan gigit-gigit bibir: “Kamu punya tangan.”

“Bukannya tadi kamu yang melepaskannya? Tiffany Song, jadi orang harus bertanggung jawab,” kata Taylor Shen iseng. Ia ingin melihat wajah Vero He jadi makin merah lagi.

Yang dimintai tolong, atau lebih tepatnya dipaksa, tidak bisa mendebat. Dengan terpaksa, Vero He memasangkan satu per satu kancing kemeja Taylor Shen. Wanita itu berusaha menghindarkan tangannya biar tidak bersentuhan dengan kulit si pria, sayang usahanya tidak begitu berhasil sebab model kancing Taylor Shen agak sulit dipasang.

Suara tenggorokan Taylor Shen menelan ludah terdengar sangat jelas di telinga Vero He. Ia berusaha menahan ketakutan yang macam-macam soal ini. Sebentar lagi ia kelar memasangkan kancing Taylor Shen, lalu ia bisa pergi!

Lepas “menunaikan” tugas, Vero He buru-buru berbalik badan dan berujar, “Ingat ya, kamu sudah janji buat balik ke Shen’s Corp sekarang.”

Taylor Shen memasukkan kedua tangan ke kantong celana, lalu dari belakang mengikuti Vero He yang mulai melangkahkan kaki. Si wanita mengambil tas, lalu terpikir untuk mengunci laci paling atas di salah satu lemari. Ia khawatir Taylor Shen bakal marah besar kalau tahu dirinya minum obat pencegah kehamilan.

Vero He sekarang sebenarnya tidak perlu menyentuh obat itu. Sebabnya, Taylor Shen selalu pakai kondom tiap mereka berhubungan badan. Kalau pun tidak pakai kondom seperti barusan, pria itu selalu mengeluarkan “itu”-nya di luar dan bukan di dalam.

Taylor Shen berdiri di sisi meja kerja sembari mengamati kelakuan Vero He. Ia sebenarnya tahu Vero He memakai obat pencegah kehamilan, namun memutuskan tidak berkomentar apa-apa. Saat Vero He berbalik badan lagi ke dirinya, mata Taylor Shen sudah dialihkan ke arah yang lain.

Vero He berjalan keluar ruang kerja sembari menggendol tas. Ketika tiba di depan lift, ia baru sadar dirinya bukan hanya diikuti Erin, melainkan juga Taylor Shen.

Si wanita bertanya risih, “Taylor Shen, ngapain kamu ikuti aku?”

“Lah, ini aku lagi mau balik ke Shen’s Corp seperti perintahmu,” jawab Taylor Shen tenang.

Mengira Taylor Shen jujur, Vero He tidak bertanya lebih lanjut. Begitu lift tiba, mereka bertiga masuk sama-sama. Taylor Shen menekan tombol lantai minus satu dan berdiri di sisi kiri lift, sementara Vero He dan Erin berdiri di sisi kanan dengan wajah was-was.

Suasana lift sangat hening, beruntung dalam hitungan detik mereka sudah tiba di parkiran bawah tanah. Erin bergegas mengambil mobil, sementara Taylor Shen menemani Vero He menunggu di sisi jalan. Ketika Erin datang dengan mobilnya, si pria membukakan pintu belakang dan mempersilahkan wanitanya untuk masuk.

Vero He masuk tanpa berpikir macam-macam. Ketika melihat Taylor Shen ikut masuk satu detik kemudian, dirinya baru bertanya heran: “Taylor Shen, kamu tidak mau balik ke Shen’s Corp kah?”

“Kapan aku bilang mau?” jawab yang ditanya sembari menyandarkan kepala ke punggung kuris dan memejamkan mata. Ia tidak peduli sama sekali dengan tatapan heran Vero He.

Novel Terkait

Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
Pria Misteriusku

Pria Misteriusku

Lyly
Romantis
4 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
5 tahun yang lalu
The Break-up Guru

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
5 tahun yang lalu
Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
4 tahun yang lalu