You Are My Soft Spot - Bab 136 Aku Tidak Mau Tidur Denganmu (2)

Tiffany Song besar di jalanan dan sudah terbiasa menghadapi angin dan hujan, jadi mana tahan ia terus-terusan tinggal di vila yang megah dan memanjakan ini?

Ia tahu kepribadiannya tidak lucu dan sangat keras kepala. Ia dari dulu tidak pernah mau terlihat lemah dan tidak pernah rela melepaskan harga dirinya.

Tiffany Song mengencangkan resleting kopernya. Di dalam koper itu tidak ada apa-apa lagi selain bajunya sendiri. Ia bersyukur ia tidak menikah dengan Taylor Shen, jadi ketika ingin pergi seperti ini, ia tidak perlu mengurus hal-hal administratif yang merepotkan.

Tiffany Song bangkit berdiri dan menarik kopernya menuju pintu ruang pakaian. Baru berjalan satu langkah, gerak kakinya langsung terhenti. Mstanya tertuju pada Taylor Shen yang berdiri persis di sisi dalam pintu ruang pakaian. Entah sejak kapan pria itu ada di sana.

Tiffany Song jadi gugup. Ia mengepalkan tangannya erat-erat di gagang koper. Ketakutan dan kekagetan terlintas di tatapan matanya seolah pria di hadapannya ini seorang monster pemakan manusia. Saking ketakutannya, ia bahkan sampai mundur dua langkah.

Taylor Zhen menatapnya lekat-lekat tanpa henti. Mata Tiffany Song merah. Ia barusan melihatnya melipat baju sambil menangis. Pemandangan itu sungguh membuatnya merasa bersalah.

“Kamu mau ke mana?” tanya Taylor Shen. Nada bicaranya ia lembutkan semaksimal mungkin supaya tidak membuatnya takut.

“Aku......” Tiffany Song terpikir untuk bilang Vanke City, tetapi ia baru ingat ia sudah keluar dari rumah tersebut. Ia sebenarnya memang tidak tahu harus ke mana setelah keluar dari sini. Ia menjawab asal, “Aku pergi ke Stella Han sana.”

“Stella Han sudah menikah, kalau kamu ke sana kamu akan mengganggu dia dan suaminya,” ujar Taylor Shen sabar.

Tiffany Song dalam hati berpikir, ia pergi ke rumah Stella Han dalam keadaan seperti ini juga tidak begitu cocok. Ia lantas merevisi jawabannya: “Kalau begitu aku ke hotel.”

“Hotel tidak aman, apalagi kamu masih demam tinggi.” Mempertimbangkan apa yang terjadi di antara mereka berdua sebelumnya, Taylor Shen tahu Tiffany Song muak dengan dirinya dan tidak akan memaafkannya dengan mudah. Meski begitu, ia ingin wanita itu bertahan di sisinya. Ia ingin wanita itu tinggal di tempat yang bisa dipandanginya kapan pun. Dengan begitu, hatinya tidak akan merasa khawatir.

Tiffany Song gusar hingga mau menangis. Setiap ia sebut satu tempat, Taylor Shen selalu berhasil mendebatnya dengan satu kalimat. Pria itu pasti sengaja ingin menyusahkannya. Ia berseru tegas, “Aman tidak aman itu urusaku sendiri, tidak ada hubungannya denganmu.”

Taylor Shen menghampirinya dan perlahan-lahan mendekatkan diri padanya. Tiffany Song terkejut hingga mundur-mundur terus. Ia takut sekali dengan keagresifan Taylor Shen. Melihat pria itu mengangkat tangan, ia ketakutan sampai menangis: "Kamu tidak perlu pukul aku. Aku tidak pergi. Aku patuh padamu."

Rasa bersalah seketika semakin menghinggapi hati Taylor Shen. Ia sungguh ingin memukuli dirinya sendiri. Sebenarnya apa yang sudah ia lakukan sampai Tiffany Song jadi setakut ini pada dirinya?

“Tiffany Song, jangan pergi, tinggalah di sini.” Nada bicara Taylor Shen semakin lama semakin lemah. Ia sebenarnya ingin mendekap Tiffany Song, tetapi ia mau tidak mau harus memendam keinginannya ini agar tidak menakuti wanita itu.

Tiffany Song menggeleng, “Aku tidak ingin tinggal di sini.”

“Tetapi kita kan pasangan, jangan sampai pisah rumah hanya karena bertengkar, ya kan?” Taylor Shen mencoba membujuknya dengan sabar. Dengan adanya kejadian ini, hubungan mereka yang sudah susah payah dipulihkan kembali ke titik nol, bahkan ke titik yang lebih kacau dibanding ketika Tiffany Song tahu pria yang memerkosanya lima tahun lalu adalah dirinya.

Tiffany Song menggeleng tanpa henti. Ia semalam duduk cukup lama di depan rumah. Pagi-paginya, ia merasa tidak enak badan, namun Taylor Shen tetap dengan tega memaksanya bercinta sampai ia demam tinggi. Tubuhnya sekarang sangat lemah. Mungkin karena terlalu banyak menggeleng, Tiffany Song jadi pusing sendiri dan agak kehilangan keseimbangan.

Taylor Shen dengan cepat menahannya agar tidak jatuh. Meski begitu, satu detik kemudian, tangannya langsung dilepaskan oleh Tiffany Song dengan kesal. Kegusaran wanita itu tidak tertahankan lagi. Tiffany Song berteriak: “Jangan sentuh aku!”

Tangan Taylor Shen tertahan di udara hampa. Melihat Tiffany Song yang melawannya, ia berusaha keras menahan kemarahan sambil berujar: “Kamu masih demam tinggi, kembalilah beristirahat di ranjang.”

“Tidak mau!” Tiffany Song bersikeras tidak mau berbaring di ranjang itu lagi. Sekalinya terbaring di situ, ia bakal langsung teringat kekejian yang Taylor Shen lakukan padanya.

Taylor Shen mengernyitkan dahi. Ia mengambil sprei baru dan sebuah selimut dari lemari dan langsung keluar tanpa berkata apa pun. Ia mengganti kasur dan selimut di ranjang mereka. Ia pun membuka kaca jendela untuk mengganti udara kamar.

Tiffany Song terdiam di ruang pakaian. Mendengar suara orang mengganti sprei di luar, matanya memerah. Taylor Shen kembali beberapa menit kemudian dan berujar: “Aku sudah mengganti sprei dan selimut ranjang kita dengan yang baru. Cepat istirahat di sana, jangan bertindak semaumu sendiri. Kalau pun kamu ingin berdebat denganku, tunggulah sampai badanmu pulih dulu.”

Tiffany Song diam mematung. Tidak tahan melihat keringat dingin di dahinya, Taylor Shen melangkah maju dan membopongnya dari ruang pakaian ke ranjang. Ia mendudukkan Tiffany Song dengan lembut di atasnya dan menyelimutinya. Ia kemudian menempelkan lagi kompres penurun panas di dahi wanita itu.

Tiffany Song memejamkan mata. Ia tidak ingin berinteraksi dengan Taylor Shen. Merasa seperti berada di atas ranjang, ia membuka mata dengan was-was, “Aku tidak mau tidur denganmu.”

Perasaan Taylor Shen saaat itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia menatap Tiffany Song lekat-lekat dan beberapa saat kemudian baru merespon: “Aku tidur di sebelah. Kamu tidurlah dengan tenang.”

Tiffany Song lega, ia percaya dengan kata-kata pria itu. Ia memejamkan mata. Semua kehebohan barusan membuatnya langsung terlelap pulas beberapa saat kemudian.

Taylor Shen masuk dan duduk di sisi ranjang dalam diam. Melihat wajah pucat Tiffany Song, ia mengulurkan tangan untuk membelainya. Ketika tangannya sudah hampir mengenai wajah wanita itu, jemarinya semua gemetar. Ia menarik kembali tangannya.

……

Di bar dengan suara musik yang memekakan teligga, pria-pria tampan dan wanita-wanita seksi sibuk berjoget dengan penuh semangat. Suasana bar sangat riuh. Di meja sudut bar, duduk seorang pria berjaket hitam. Wajahnya tampan, dan di hadapannya ada sepuluh botol bir keras.

Ia menegaknya satu per satu. Hanya untuk mabuk saja ia sampai beli sebanyak ini. Ada beberapa wanita yang mendekatinya, tetapi mereka semua langsung mundur begitu melihat tatapan dinginnya.

Begitu masuk bar, Taylor Shen langsung menangkap sosok Wayne Shen yang tengah duduk di meja samping bar sambil memegang botol birnya yang terakhir. Taylor Shen segera menghampirinya, merebut botol bir itu, dan menegaknya habis.

Wayne Shen menatap Taylor Shen terkejut, “Kak, datang juga kamu.”

Taylor Shen mengisi penuh gelasnya dengan whisky yang ada di meja, lalu bertanya: “Beberapa hari lagi kamu menikah. Kalau kamu tidak siap, mengapa kamu tidak menemuinya dan bicarakan ini?”

Wayne Shen bersandar di meja bar, lalu menunjukkan angka sembilan dengan kedua tangannya sambil berujar kecewa: “Kak, aku sudah kenal dia sembilan tahun. Sembilan tahun loh. Beberapa tahun ini, ketika tidak ada Papa dan Kakak, ia lah yang selalu mengikutiku dari belakang dan menemaniku tumbuh besar. Aku pikir aku paham sekali dengan kepribadiannya.”

“Kalau kamu sudah bisa berkompromi dengan kelakuannya, mengapa kamu masih menyiksa dirimu sendiri seperti ini? Rasa sakit, apa pun itu, bisa dilalui dengan menggeretakan gigi kok.”

Taylor Shen kembali mengangkat gelas birnya. Tidak disangka ia sudah minum habis tiga gelas.

Wayne Shen tersenyum dingin dan menepuk dadanya sendiri, “Yakin menggeretakan gigi sedikit langsung bisa dilalui? Terus mengapa gigiku sudah hancur begini hatiku masih saja sakit dan putus asa?”

“Wayne Shen, pergilah cari dia. Pokoknya kamu harus memberi kabar padanya, sekali pun kabar itu bukan kabar yang baik. Jangan biarkan rencana ini mengambang tidak pasti.” Taylor Shen menepuk-nepuk pundaknya, “Sebuah cinta, asalkan ada salah satu pihak yang mempertahankannya, pasti tidak akan runtuh. Kalau dua-duanya sudah menyerah, barulah cinta itu akan benar-benar berakhir.”

Ketika menasehati Wayne Shen, Taylor Shen sebenarnya juga sedang menasehati dirinya sendiri. Asal ia mau bertahan, cintanya dengan Tiffany Song pasti tidak akan berakhir.

Wayne Shen tiba-tiba duduk tegak seperti mendapat suatu pencerahan. Ia memeluk Taylor Shen erat-erat, “Kakak, terima kasih. Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan.”

Taylor Shen tertegun. Melihat Wayne Shen berlari keluar dari bar, ia geleng-geleng kepala. Wayne Shen sudah tahu apa yang akan ia lakukan, sementara dia sendiri?

Teringat perlawanan Tiffany Song pada dirinya, ia merasa bir mewah di hadapannya lebih mirip racun lambung yang membuat hatinya sakit teriris-iris.

Taylor Shen pulang ke Sunshine City dalam kondisi mabuk. Ia duduk di tengah pekarangan bunga. Angin dingin yang bertiup dari segala penjuru sedikit banyak menurunkan perasaan telernya. Tidak lama kemudian, ia bangkit berdiri dan masuk ke vila.

Setelah melepas sepatu di koridor depan, ia berjalan langsung ke ruang tamu, duduk di sofa, dan menyalakan televisi. Ia tidak peduli apa yang sedang disiarkan televisi itu. Ia menyalakannya hanya untuk mengatasi rasa kesepian dalam dirinya.

Angelina Lian, yang tengah berada di lantai tiga, mendengar suara televisi menyala dari ruang tamu. Ia tahu Taylor Shen dan Tiffany Song bertengkar hebat. Ia mau tidak mau harus mengakui kehebatan Karry Lian sampai bisa membuat mereka berdua begini.

Ia turun pelan-pelan dan berjalan ke ruang tamu. Sesampainya di hadapan Taylor Shen, ia berlutut dan mendongak menatap pria tiu. Ia tahu betul bagaimana harus membawakan dirinya agar bisa mengetuk hati seorang pria. Ia bertanya dengan penuh perhatian, “Taylor Shen, mengapa kamu minum bir sebanyak ini?”

Taylor Shen menunduk. Sosok Angelina Lian tidak terlihat begitu jelas. Ia bahkan sempat berpikir yang berlutut di hadapannya adalah Tiffany Song. Ia mengulurkan tangannya, dan begitu tangan itu hampir menyentuh wajah Angelina Lian, ia tersadar dengan apa yang tengah ia lakukan dan buru-buru menarik tangannya. Ia menjawab, “Eh kamu ya. Kok malam-malam begini belum tidur?”

“Aku lihat kamu keluar naik mobil tadi. Aku agak khawatir denganmu, kamu tidak apa-apa kan?” Guratan kekecewaan sekilas terlintas di mata Angelina Lian. Wanita itu kemudian duduk di sebelah Taylor Shen. Ia duduk di sini sambil menunggu, menunggu momen yang tepat.

Semakin parah pertengkaran Taylor Shen dengan Tiffany Song, ia semakin senang, karena kemungkinan datangnya momen itu semakin besar.

Ia bagaimana pun caranya harus bisa merebut posisi Tiffany Song.

“Aku tidak apa-apa. Kamu tidurlah sana.” Taylor Shen memijat-mijat pelipisnya yang pening. Pria itu memejamkan mata dan bersandar di punggung sofa.

Angelina Lian mengernyitkan alis menatapmnya. Ia memberanikan diri ikut memijati pelipis Taylor Shen. Posisi duduk mereka cukup dekat, sampai-sampai ia bisa mencium aroma bir yang sangat kuat dari nafas Taylor Shen. Ia sendiri bahkan jadi ikutan agar teler.

Pijatan Angelina Lian sangat terampil. Taylor Shen membuang nafas lega. Daritadi mengamati bibir tipis Taylor Shen, bibir dan lidah Angelina Lian jadi kering. Bibir ini sudah muncul berulang kali dalam mimpinya. Setiap kali ia ingin mengecupnya, ia selalu saja terbangun dari mimpi itu.

Ia sungguh ingin tahu bagaimana rasanya berciuman dengan Taylor Shen. Apa seindah dan sebahagia kisah-kisah cinta dalam novel?

Ia perlahan-lahan mendekatkan kepalanya ke wajah pria itu. Begitu mereka sudah nyaris tidak berjarak, rambutnya secara tidak sengaja mengenai bibir tipis Taylor Shen. Ia terkejut dan buru-buru mendongak. Yang ia lihat pertama kali adalah tatapan dingin dari pria itu.

Ia terkejut setengah mati. Sejak kapan Taylor Shen buka mata? Kejadian barusan dia lihat tidak ya? Ia semakin lama semakin panik. Ia menarik tangannya dan mencari alasan untuk pergi: “Taylor Shen, aku buatkan kamu sup pereda mabuk ya.”

“Sudah terlalu malam, kamu tidur saja.” Taylor Shen menegakkan posisi duduk. Ia jelas sekali ingin menjaga jarak dengan Angelina Lian.

Hati Angelina Lian benar-benar kacau. Kalau Taylor Shen melihat tindakannya barusan, bagaimana ini? Ia mencari-cari cara untuk mengelak, tetapi tidak terpikirkan jug acara mengelak yang efektif. Ia bangkit berdiri dan membuang pandangannya dari sosok Taylor Shen sambil berujar: “Ya sudah aku tidur dulu. Kamu jangan nonton sampai kelewat larut.”

“Baik,” jawab Taylor Shen tanpa melihatnya.

Angelina Lian sempat menoleh meski baru menjauh beberapa langkah. Ia naik ke lantai atas dengan hati tidak rela melepas.

Novel Terkait

Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Step by Step

Step by Step

Leks
Karir
4 tahun yang lalu
 Istri Pengkhianat

Istri Pengkhianat

Subardi
18+
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Dalam

Cinta Yang Dalam

Kim Yongyi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
Harmless Lie

Harmless Lie

Baige
CEO
5 tahun yang lalu