You Are My Soft Spot - Bab 275 Dibawa Pergi Pria Liar (1)

Selama makan, Taylor Shen tidak serius makan sama sekali. Ia terus memain-mainkan tangannya di pinggang Vero He, bahkan ketika pelayan mengantarkan makanan tangannya itu tidak juga diturunkan.

Tidak bisa menyingkirkan tangan si pria, si wanita membiarkan saja keisengannya. Asal tidak berlebihan dan menyentuh bagian dalam pakaian, dia akan membebaskannya. Semoga Taylor Shen bisa terus sadar ini tempat umum dan banyak orang deh……

Pizza dan dua piring steak dengan segera disajikan. Vero He memotongkan daging piring pertama buat Jacob Shen, lalu menyodorkan piring itu untuk si anak dan mengambil piring kedua buat dirinya sendiri. Vero He memotong daging miliknya dan mencicipi. Ia lalu bertanya, “Kamu mau makan steak? Aku pesankan satu porsi lagi.”

Taylor Shen melihat daging yang dimakan Vero He dengan tatapan agak merendahkan. Bagi orang sekelas dirinya, steak punya Pizza Hut jelas tidak cocok dan belum tentu enak. Ia jauh lebih memilih makan di restoran yang memang ahli dan terkenal dengan steak.

Melihat Taylor Shen diam saja, Vero He tidak memaksa dan lanjut makan. Memerhatikan wanita di sebelahnya makan dengan lahap, si pria jadi penasaran: “Enak?”

“Lumayan, mau coba kamu?” Vero He menusuk satu potongan kecil daging dengan garpu dan menyodorkannya ke mulut si pria. Tanpa menolak, Taylor Shen memakan potongan itu dan mengunyah.

“Cukup oke sih!” puji Taylor Shen sengaja melihat ekspresi Vero He yang penuh penantian.

Hati Jacob Shen jadi was-was melihat tingkah manis mereka berdua. Ia menusuk satu potongan daging, bangkit dari tempat duduk, dan berjalan ke sebelah papanya. Ia lalu menyodorkan potongan daging itu: “Papa, makan juga nih steak aku. Rasanya sama-sama enak.”

“……” Yang disodori steak membalas datar, “Kamu makan saja sendiri. Hati-hati jangan sampai sausnya kena pakaian.”

Wajah Jacob Shen seketika cemberut. Anak itu kembali ke tempat duduknya dan makan dengan menahan kekesalan di dada. Papa sudah mengambil wanitanya, ia tidak boleh diam saja dan membiarkan mereka bersama.

Dengan alasan apa pun, pokoknya tidak boleh! Ia harus makan yang banyak biar cepat tinggi dan berisi. Setelah sudah setinggi papa, Peanut pasti akan jadi miliknya.

Memikirkan ini, makan Jacob Shen jadi makin cepat dan makin lahap. Saking berkonsentrasi pada makanan, ia bahkan sampai lupa dengan hatinya yang barusan cemburu.

“……”

Langit sudah menggelap begitu mereka kelar makan. Taylor Shen mengemudikan mobil, sementara Vero He duduk di kursi penumpang depan. Si wanita meminta: “Antar aku ke rumah kediaman keluarga He.”

Si pria menoleh padanya sejenak dan berbelok kanan di perempatan depan. Ini jalan ke Sunshine City, bukan rumah kediaman keluarga He. Vero He menatap Taylor Shen dengan pasrah. Ia sadar, permintaannya barusan hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Mobil memasuki Sunshine City. Ketiganya turun dari mobil dan disambut jalanan yang basah akibat butiran-butiran kecil salju. Vero He menengadahkan tangan berusaha menangkap butiran salju yang sedang turun, “Turun salju.”

Taylor Shen mendongak menatap langit. Suhu hari ini tidak begitu rendah, akibatnya butiran salju yang turun jadi sangat kecil. Hanya beberapa detik sampai ke jalanan, butiran-butiran itu bakal langsung mencair. Menyadari mantel Vero He agak tipis, ia melebarkan mantel tebalnya biar bisa melindungi si wanita.

Vero He jadi gelisah. Ia khawatir Jacob Shen bakal berpikir yang aneh-aneh kalau melihat mereka begini. Saat dia menengok kesana-kemari untuk mencari keberadaan anak itu, ia baru sadar Jacob Shen sudah berjalan masuk ke vila sambil menggendong ransel sekolahnya.

Si wanita langsung lega. Ia menoleh ke wajah samping Taylor Shen, “Ini salju pertama tahun ini, sayang tidak besar. Kalau lebih besar sedikit, dalam dua hari pasti aku sudah bisa bikin boneka salju.”

“Mau main salju?” tanya si pria sambil mendekap Vero He. Mulutnya mengeluarkan uap ketika berbicara, jadi wajahnya jadi agak terhalangi.

Vero He bersandar dalam dekapan Taylor Shen dengan tubuh yang makin lama makin terasa dingin, “Aku ingat salju turun besar sekali pada hari pernikahan kita tujuh tahun lalu.”

Membicarakan masa lalu, keduanya seketika terdiam. Taylor Shen memegang pinggang Vero He dengan pikiran yang mengembara ke momen menyedihkan itu. Pernikahan mereka, yang harusnya merupakan acara bahagia, malah berujung dengan insiden kematian. Di pemakaman Vero He, hati dan semangatnya ikut terbang entah ke mana bersama jiwa si wanita.

Ternyata semua yang terjadi di dunia ini ada maksudnya. Langit waktu itu tidak membiarkannya mati karena sudah menyiapkan perjumpaan kembali bagi mereka.

“Di luar sangat dingin, yuk masuk.” Taylor Shen merangkul bahu Vero sampai ke vila.

Sewaktu keduanya berganti sendal rumah di lorong masuk, Bibi Lan menyambut dan menerima sodoran mantel keduanya. Asisten rumah itu kemudian bertanya dengan nada keibuan: “Kalian sudah makan malam belum? Mau aku masakkan makanan?”

“Kami sudah makan,” jawab Taylor Shen datar. Pandangan Taylor Shen menemukan Jacob Shen yang tengah menonton kartun di ruang tamu. Pantas saja tadi cepat-cepat masuk vila, ternyata sudah ada acara televisi yang menunggu.

Si pria bergegas ke ruang tamu dan bertanya garang, “Jacob Shen, mau nonton berapa lama?”

Si anak menoleh ke sumber suara. Menyadari nada bicaranya barusan, ia menjawab dengan diakhiri jaminan: “Setengah jam. Habis menonton, aku akan langsung mengerjakan tugas.”

Taylor Shen tidak menanggapi lagi. Ia menoleh ke Vero He dan berjalan mendekatinya. Berhubung Jacob Shen dan Bibi Lan lagi sibuk dengan urusannya masing-masing, ia mendekatkan bibir ke bibir si wanita. Vero He refleks menutupi bibir dengan tangan. Melihat reaksinya itu, dia menegakkan kembali kepalanya dan berujar dengan senyum, “Aku masih ada urusan yang belum kelar. Nanti aku temani kamu lagi ya.”

Wajah Vero He memerah. Melihat senyuman di wajah Taylor Shen, ia tahu pria itu lagi meledek dirinya yang barusan takut berciuman. Ia mendorongnya sedikit dan menjawab, “Iya. Aku sekarang temani Jacob Shen sebentar.”

Taylor Shen menyadari Vero He cukup suka dengan Jacob Shen. Bagaimana tidak, waktu mereka bertengkar cukup parah, wanita itu masih membawa Jacob Shen ke rumah kediaman keluarga He untuk dirawat. Memikirkan ini, hasrat untuk segera punya anak kandung dengan si wanita kembali terlintas di benaknya.

Dirinya dalam satu kedipan mata akan genap berusia empat puluh tahun. Dengan adanya anak kandung, hatinya baru akan merasa lebih puas dan tidak sering kosong.

Taylor Shen menengok lagi ke Vero He sekilas, lalu berbalik badan dan naik ke lantai atas. Bibir si wanita terasa menghangat saat mengamati bayangan tubuh Taylor Shen yang menjauh. Vero He gigit-gigit bibir, lalu melangkahkan kaki ke ruang tamu.

Seusai kembali dari menggantung mantel Taylor Shen dan Vero He, Bibi Lan mengamati satu wanita dan satu anak kecil yang lagi di ruang tamu. Ketika mengamati Jacob Shen, wajahnya jadi agak muram karena teringat kejadian tadi sore. Taylor Shen tidak sabaran dengan Jacob Shen, tetapi ia bisa melihat bosnya itu sebenarnya cukup perhatian pada si anak.

Kalau ibu kandung Jacob Shen datang dan meminta balik anaknya, dia harus bagaimana? Apa dia harus menceritakan ini pada si bos?

Bibi Lan membuang nafas pasrah. Melihat Vero He dan Jacob Shen serius sekali menonton kartun, ia berbalik badan dan naik ke lantai atas.

Wanita itu pergi ke depan ruang buku Taylor Shen. Mendengar bosnya lagi menelepon di dalam, ia mondar-mandir di depan. Ia bukan hanya sedang menunggu bosnya kelar bertelepon, melainkan juga berusaha mengumpulkan keberanian. Sayang, ketika keberaniannya sudah terkumpul dengan cukup, Taylor Shen yang tadinya sudah diam kembali mendapat telepon lagi.

Setelah setengah jam mondar-mandir di sana, Bibi Lan pada akhirnya memutuskan untuk tidak bercerita dulu. Ia pikir, biarlah ceritanya besok-besok saja.

Jacob Shen sangat konsisten dengan kata-katanya sendiri. Persis setengah jam menonton ia mematikan televisi dan memakai ransel untuk naik ke lantai atas. Sebelum pergi, ia bertanya apakah Vero He malam ini bersedia mendongengkannya atau tidak. Si wanita menyanggupi dan mengambil alih tasnya. Anak zaman sekarang kasihan sekali, tiap hari kerjanya memakai ransel besar yang penuh pekerjaan rumah……

Sekelarnya Jacob Shen mengerjakan tugas, Vero He membawanya mandi dan mendongengkan di kamar anak. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam setelah ia berhasil menidurkannya. Vero He duduk di sisi ranjang sambil mengamati wajah kecil dan lucu Jacob Shen. Masih kecil saja sudah begini tampan, saat besar nanti entahlah berapa banyak gadis yang bakal terpikat.

Pintu kamar anak tiba-tiba dibuka seseorang. Tubuh tinggi besar yang membukanya itu membawa sensasi dingin yang cukup kuat. Taylor Shen berdiri membelakangi cahaya, jadi ekspresinya tidak bisa terlihat terlalu jelas. Yang terlihat hanya sepasang matanya yang bulat, “Sudah tidur dia?”

“Iya,” angguk Vero He dengan perasaan gugup yang tiba-tiba muncul. Mereka baru saja bertengkar, jadi ia jelas merasa agak tidak nyaman ketika lagi-lagi meenginap di sini.

Taylor Shen berjalan menghampiri Vero He. Pria itu mengenakan sendal kamar yang halus, jadi langkah kakinya tidak begitu terdengar jelas. Si pria berdiri di sisi ranjang dan menatap Vero He yang lagi duduk. Dengan wajah serak, Taylor Shen bertanya, “Terus kamu sudah mau tidur belum?”

Aura tubuh Taylor Shen yang kuat membuat jantung Vero He beerdebar kencang. Hatinya makin tidak senang karena membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya, entah di kamar anak ini atau pun di kamar tidur mereka nanti. Si wanita menjawab: “Sudah.”

Satu detik kemudian, punggung dan bokong Vero He sudah digendong dengan kedua tangan Taylor Shen. Karena tiba-tiba kehilangan keseimbangan, wanita itu kaget sampai nyaris berteriak. Ia segera memegangi lehernya biar bisa lebih aman selama dibopong begini. Melihat tatapan nafsu si pria, jantung Vero He berdebar makin kencang.

Tiap momen begini, Taylor Shen memang menatap Vero He seperti seekor singa menatap calon mangsanya. Tatapan itu sangat agresif dan tajam, siapa pun yang diberi tatapan begitu pasti akan bergeming takut.

Vero He paham, dengan setujunya dia bermalam di Sunshine City, mereka tidak bakal hanya berbincang semata. Ia sudah mengantisipasi hal-hal yang lebih dibanding berbincang saja dari awal, namun sekarang tetap saja merasa sangat gelisah.

Kamar anak dan kamar tidur utama hanya berjarak beberapa langkah. Dengan langkap cepat, Taylor When membawa Vero He masuk dan melepaskannya di depan pintu. Vero He kini berdiri dengan posisi punggung bersandar ke pintu kamar yang dingin dan kepala menunduk. Ketika ia mau merapikan rambutnya yang agak berantakan, satu tangan besar sudah bergerak lebih awal darinya. Tangan itu memain-mainkan rambutnya seperti tengah menikmati dirinya yang lagi gelisah.

“Dingin kakimu?” tanya Taylor Shen dengan mata mengarah ke kaki Vero He yang bersentuhan langsung dengan lantai. Ketika ia membopongnya tadi, ia tidak memerhatikan sepasang sendal kamar si wanita copot. Lengkung-lengkungan kakinya ini terlihat cantik sekali.

Udara kamar terasa panas meski pendingin ruangan daritadi menyala. Nafsu dalam tatapan Taylor Shen sangat kuat, namun pria itu tidak melakukan apa-apa selain mengejek dirinya. Harus bagaimana ini dia?

Vero He bahkan tidak tahu ia harus mengarahkan matanya ke mana. Ia akhirnya melingkarkan tangan saja ke leher Taylor Shen dan menelan ludah dengan pasrah.

Mendengar suara tenggorokan Vero He menelan ludah, Taylor Shen senyum-senyum sendiri. Ia merangkul pinggangnya dan berkata: “Sini berdiri di atas kakiku.”

Vero He menatap Taylor Shen dengan bingung. Otaknya berpikir terus ini mau apa, lalu ia seketika paham. Ia mencari alasan: “Aku tidak ringan loh.”

“Tidak masalah.”

Vero He tidak punya pilihan lain selain menuruti perintahnya. Kakinya memang langsung terasa hangat, tetapi dirinya makin bingung harus mengarahkan mata ke mana berhubung jarak antar keduanya semakin dekat. Taylor Shen mendekatkan bibir ke daun telinga Vero He dan membuang hawa nafas yang panas. Merasakan hawa panas itu, Vero He berpamitan, “Aku mau mandi dulu.”

“Tidak perlu……” Si pria menciumi rambut si wanita, lalu menciumi telinganya.

Tubuh wanita dalam pelukan Taylor Shen tidak berhenti bergetar. Bukannya merasa kasihan, ia malah merasa puas dan senang dengan kegugupannya ini. Vero He berusaha pamit lagi: “Aku benar-benar mau mandi dulu.”

“Tidak perlu. Sebentar lagi kamu bakal berkeringat, jadi mandi sekarang tidak ada gunanya,” tukas si pria. Taylor Shen lalu mencium bibir Vero He dan memasukkan lidahnya ke dalam biar dia tidak pamit-pamit lagi.

Vero He mencengkeram pakaian Taylor Shen untuk menahan ketakutannya yang memuncak. Pria itu benar-benar mendemonstrasikan padanya bahwa mandi sekarang tidak ada gunanya.

Setelah beberapa belas menit, suasana kamar tidur utama baru menenang. Taylor Shen berbaring di atas tubuh Vero He dan memeluknya tanpa mau melepaskan diri. Sekujur tubuh mereka dipenuhi keringat. Bagi Vero He, bertempelan begini dalam keadaan keringatan sungguh tidak enak.

Untuk itu, ia kembali mencari alasan untuk pergi berhubung “sesi” mereka sudah selesai: “Eh, aku sungguh mau mandi.”

“Temani aku berbaring sebentar,” jawab si pria serak tanpa bergerak sama sekali.

“Jangan menindihku, tidak enak.” Vero He sebenarnya malas bergerak karena tubuhnya pegal. Tetapi, kalau dia membiarkan posisi tindih-tindihan ini bertahan sampai besok, bangun-bangun tubuhnya bisa tidak bisa gerak.

Si pria memeluk tubuh si wanita dengan erat dan memutarbalikkan posisi tubuh mereka. Sekarang Vero He jadi di atas, sementara Taylor Shen di bawah.

Vero He: “……”

Ya sudah lah…… Dibanding posisi ditindih, posisi menindih memang jauh lebih rileks. Vero He bersandar di bahu Taylor Shen. Telinganya bisa merasakan detak jantung si pria, dan itu entah bagaimana menimbulkan ketenangan dalam dirinya.

Taylor Shen memainkan jari di sela-sela rambut Vero He. Ia lalu menatap langit-langit dan mengungkapkan sesuatu yang daritadi sangat ingin diucapkan, “Tiffany Song, aku cinta kamu!”

Vero He terhenyak dan tidak menunjukkan respon apa pun.

Taylor Shen menanti-nanti jawaban Vero He. Melihatnya tidak menjawab juga setelah beberapa detik, ia menatap kepalanya lekat-lekat dan bertanya: “Apa kamu masih cinta aku?”

Vero He memejamkan mata dan pura-pura tidur. Menyadari si wanita masih diam saja, Taylor Shen juga memejamkan mata dengan kecewa. Jawaban si wanita jelas-jelas sudah ia perkirakan, tetapi mengapa ditanya jawaban itu malah tidak terucap dari mulutnya?

Gara-gara memejamkan mata, Vero He yang awalnya hanya pura-pura tidur jadi sungguh tertidur.

Keesokan hari, Vero He terbangun oleh jam biologisnya. Ia membuka mata dan mengambil ponsel yang ditaruh di kepala ranjang untuk melihat jam. Waktu baru menunjukkan pukul setengah delapan. Ia sangat lelah, sekujur tubuhnya pegal seperti habis ditimpa gajah. Di pinggang si wanita, ada sebuah tangan yang menahan dirinya erat-erat. Vero He tidak merasakan ini sebagai beban, melainkan malah merasa nyaman dengan tambahan berat ini.

Vero He bangkit berdiri dengan hati-hati. Ia lalu mengamati wajah Taylor Shen lekat-lekat. Peribahasa “tidak ada orang yang bisa menghindar dari pertambahan umur” memang benar adanya. Tidak peduli seberapa gencar Taylor Shen merawat tubuh, di sudut matanya tetap sudah muncul kerutan.

Syukur kerutan ini sama sekali tidak mengurangi ketampanannya, bahkan malah menambah.

Novel Terkait

Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Si Menantu Dokter

Si Menantu Dokter

Hendy Zhang
Menantu
3 tahun yang lalu
Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Summer
Romantis
4 tahun yang lalu
Pengantin Baruku

Pengantin Baruku

Febi
Percintaan
3 tahun yang lalu
See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu
His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
3 tahun yang lalu
Someday Unexpected Love

Someday Unexpected Love

Alexander
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
4 tahun yang lalu