You Are My Soft Spot - Bab 256 Orang yang Makin Dekat Malah Harus Makin Diwaspadai (3)

Melihat lorong depan yang sepi dan sunyi, Vero He dalam hati tahu ia tidak bisa mengejarnya lagi. Kalau masih mau mengejar, ia bisa-bisa malah bakal dianggap membuat kekacauan di kantor polisi. Lagipula, semua kesimpulan ini ia buat berdasarkan tebakan dan tidak berbukti.

Vero He akhirnya menggeleng, “Tidak kok, tidak. Urusanmu sudah kelar?”

“Sudah. Ayo kita pulang,” angguk Erin. Melihat si bos sudah lebih tenang, Erin menengok sekilas ke lorong jalan yang barusan mau ditujunya. Di sana tidak ada apa-apa, sebenarnya Nona He mau kejar apa sih?

Vero He berbalik badan dengan diikuti Erin di belakang. Mereka berjalan keluar dari kantor polisi. Erin lalu bergegas mengambil mobil, sementara Vero He menunggu di lobi saja. Wanita yang kedua itu mengamati logo besar kantor polisi, yang melambangkan keadilan, dengan perasaan kacau balau.

Kejadian waktu itu sebenarnya realitasnya bagaimana? Kalau ia bisa tahu realitas ini, ia bakal berada dalam situasi bagaimana juga?

Suara klakson mobil membangunkan Vero he dari lamunannya. Ia berjalan perlahan ke mobil, lalu masuk dan duduk di dalam. Mobil melaju keluar kantor polisi. Di ruang kepala penjaga di lantai dua, seorang pria paruh baya berwajah lebar berdiri di samping jendela. Pria itu mengamati bayangan mobil sedan yang menjauh, lalu menengok ke polisi wanita yang berdiri di belakang meja kerjanya dengan tubuh gemetar. Ia menatapnya tajam.

“Jadi dia masih ingat kamu?”

Si polisi wanita tengah panik. Bagaimana pun juga, kalau realitas kejadian tujuh tahun yang lalu diungkap orang, ia pasti bakal kena masalah besar. Polisi wanita itu menjawab, “Kalau dilihat dari gelagatnya sih iya. Tetapi aku juga tidak begitu yakin, toh sudah tujuh tahun berlalu.”

Pria paruh baya gigit-gigit bibir. Kalau Tiffany Song benar-benar masih ingat si polisi wanita, segalanya bakal repot. Kalau Tiffany Song dan orang-orangnya menyelidiki keterlibatan orang dalam kepolisian dalam insiden dibawanya dia pergi, cepat atau lambat kebusukan mereka bakal diketahui.

“Kalian berdua tadi bicara apa? Ceritakan ulang padaku tanpa ada satu kata pun terlewat.”

Si polisi wanita menceritakan percakapannya dengan Vero He tadi. Baru kelar dia berbicara, sebuah besi papan nama dilemparkan mengarah padanya. Ia tidak keburu mengelak, jadi jidatnya kena ujung besi itu dan berdarah. Ah, rasanya perih sekali……

Ia mundur beberapa langkah karena takut. Si polisi paruh baya memaki kasar: “Kok bisa-bisanya aku punya bawahan bodoh begini sih? Sekarang semua orang tahu dia sebagai Vero He, mengapa kamu memanggilnya Nyonya Shen? Dia pasti jadi curiga padamu karena itu. Sudah bekerja selama ini di kantor polisi kok hal begini saja masih tidak paham?”

Polisi wanita tidak berani menanggapi atasannya yang kelewat marah. Wanita itu hanya bisa menunduk sambil memegangi jidat. Seumur hidup ini, rasanya hanya urusan ini yang ia lakukan dengan teledor. Tiba-tiba bertemu Tiffany Song, bagaimana tidak gugup coba?

Polisi paruh baya mengamati darah segar yang mengalir dengan cepat ke tangan si bawahana. Ia mengibas-ngibaskan tangan dengan sebal: “Keluarlah, untuk sementara waktu libur dulu kamu. Setelah itu, kamu aku mutasi ke kota kecil. Untuk sementara waktu kamu tidak boleh bertemu dengan Tiffany Song, kalau tidak dia akan makin curiga.”

Si polisi wanita terhenyak. Mengetahui dirinya akan dipinggirkan, ia gigit-gigit bibir dan mendongak untuk menatap si atasan. Posisi tubuh si pria paruh baya ternyata sudah membelakangi dia. Ia bertanya hati-hati: “Kepala Penjaga, aku masih bisa dimutasi balik ke sini kan?”

“Setelah hal ini berlalu dan terlupakan, aku bakal mutasi balik kamu kok.” Jawaban pria paruh baya membuat si polisi wanita agak tenang. Polisi itu lalu berbalik badan dan keluar sambil tetap memegangi jidat.

Di ruang kerja kini hanya tersisa si pria paruh baya. Ia berbalik badan dan mengamati pintu ruangan yang barusan ditutup dengan geram. Ponsel yang ia taruh di meja kerja tiba-tiba berdering. Pria itu mengambilnya, lalu melihat sekilas identitas penelepon. Ia membuka dengan suara pelan, “Bukannya sudah aku peringatkan jangan mengontakku kalau aku tidak mengontakmu?”

“Aku dengar kejadian waktu itu ada saksinya. Kamu harus cari cara untuk menutupi ini,” ujar suara yang sangat dingin di seberang.

Pria paruh baya terkejut, “Kamu masih mau bunuh orang? Kamu tidak tahu belakangan di Kota Tong sudah ada berapa orang mati?”

“Ini permintaan terakhirku. Kedepannya, aku tidak akan hubungi kamu lagi.” Dulu, pria di seberang telepon sangat aktif membantu pria paruh baya merancang segala rencana buat membawa pergi Tiffany Song diam-diam. Tetapi, si pria paruh baya benar-benar tidak menyangka pria di seberang sangat gila sampai membuat kebakaran! Caranya itu sangat berlebihan!

Mendengar janji pria di seberang, mata si pria paruh baya berbinar. Sayangnya, binar itu langsung kembali padam. Ia bertanya, “Atas dasar apa aku harus memercayaimu?”

“Kita berada di kubu yang sama,” jawab pria di seberang datar. Ia mengingatkan si pria paruh baya sekilas, kalau pun pria itu tidak percaya padanya, dia tetap harus percaya. Ini karena si pria paruh baya bakal ikut tenggelam kalau kapal mereka terbalik.

“Baik. Ingat, ini terakhir kalinya!” Pria paruh baya langsung mematikan telepon dengan emosi yang makin menjadi-jadi. Ia melempar ponselnya dengan kencang ke tembok sampai layarnya retak. Pria itu lalu duduk di meja kerja sambil menekan meja itu kencang-kencang. Nafasnya tergesa-gesa.

Dasar dua idiot. Yang wanita bodoh, yang pria gila!

……

Vero He sepanjang perjalanan terus melamun. Erin melihat kaca jendela untuk menengoknya. Melihat si bos tengah mengamati pemandangan luar jendela dengan tatapan kosong, ia jadi teringat candaan kakak senior tdi.

“Kulihat dari respon Nona He, apa nona kenal dengan terduga pelaku ini?”

Tidak dijawab, Erin menarik pandangannya kembali ke jalanan depan. Ia memikirkan semua yang terjadi belakangan ini. Orang-orang yang dibunuhs sedikit banyak berkaitan dengan Vero He. Apa bosnya ini benar-benar kenal dengan si terduga pelaku? Kalau tidak kenal, kok responnya bisa sebesar itu saat melihat skesta wajahnya?

Ah, kok dia jadi berpikir begini ya. Kalau bukan sedang menyetir, ia benar-benar ingin mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri. Vero He adalah orang yang harus dia jaga dan lindungi, bukan dia curigain. Kalau pun si bos kenal dengan si terduga pelaku, itu tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan tugas dia memberi perlindungan.

“Nona He, jam pulang kerja sudah mau tiba. Kita balik ke kantor dulu atau langsung antar kamu ke rumah kediaman keluarga Shen?” Erin bertanya begini karena Vero He belakangan sering tinggal di rumah Taylor Shen.

Vero He akhirnya bangun dari lamunan. Ia menjawab: “Antar aku ke rumah sakit.”

“Rumah sakit?” tanya si asisten bingung.

“Iya, aku mau menengok Dokter He.” Si dokter masih terbaring di ruang perawatan intensif dan belum keluar dari masa kritis. Karena dia, si dokter jadi kena nasib sesial ini. Ia seditaknya harus menegoknya lebih sering.

Erin tidak bertanya lagi. Ia membelokkan mobil ke kanan untuk ke rumah sakit.

Di rumah sakit, Vero He berdiri di depan ruang perawatan intensif. Ia ditemani dokter kepala, yang berdiri di sebelahnya. Melalui kaca jendela, Vero he bisa melihat tubuh Nick He yang dipasangkan banyak selang. Ia bertanya khawatir: “Dokter, bagaimana kondisinya sekarang?”

“Masih belum keluar dari kondisi kritis. Penyakitnya sesekali berubah parah, lalu sesekali melemah. Apakah dia bisa melewati fase ini dan bangun, jawabannya tidak ada yang tahu. Semoga tiba-tiba ada mukjizat,” jawab dokter kepala dengan agak pasrah. Ia merasa simpatik dengan Nick He karena sama-sama bekerja sebagai dokter. Nick He adalah dokter penyakit psikologi, sementara dirinya dokter penyakit medis.

Vero He mengepalkan kedua tangan dengan rasa bersalah. Wanita itu kemudian bertanya lagi: “Boleh aku masuk untuk melihatnya?”

“Jelas boleh. Aku panggil perawat untuk memberimu pakaian hazmat dulu ya,” angguk dokter kepala sambil melambaikan tangan ke salah satu perawat yang tengah berjaga. Vero He memberikan tasnya ke Erin dan menyuruh si asisten menunggu di luar. Ia pun ikut si perawat.

Setelah memakai pakaian hazmat, Vero He masuk ruang perawatan intensif. Ia berdiri di sisi ranjang sambil mengamati wajah Nick He yang pucat pasi. Pria ini kehilangan begitu banyak darah dan mengalami luka dalam. Ia masih bisa diselamatkan dari kematian berkat usaha banyak dokter yang super keras.

Dia sebenarnya hanya seorang psikiater yang lurus-lurus saja. Hanya dengan satu pasien seperti Vero He, dia malah jadi diserang begini. Vero He duduk di sisi ranjang. Kini yang ia amati adalah masker oksigen si pria yang penuh dengan uap.

Vero He masih ingat, ia tidak mau didekati Nick He ketika mereka pertama bertemu. Ia berulang kali melukai Nick He, namun pria itu tetap sabar untuk mendekatinya. Berkat usaha Nick He yang gigih ini, ia akhirnya bisa jadi wanita yang normal lagi.

Vero He memegang tangan Nick He. Tangannya itu agak bengkak karena beberapa kali disuntik. Ia bertanya serak: “Sangat kesakitan ya? Maaf, gara-gara aku kamu jadi mengalami ini semua.”

Nick He jelas tidak merespon. Ruang perawatan intensif sangat sunyi. Yang ada hanya suara Vero He dan suara mesin alat monitor jantung.

“Dokter He, kamu menemukan apa di diriku? Bangun dan beritahu lah aku, bisa?”

Ketika keluar dari ruang perawatan intensif beberapa menit kemudian, Vero He melihat seorang pria bersandar di tembok depan dia. Erin berdiri agak jauh dari si pria. Vero He bertanya dengan alis terangkat, “Kakak, kok kamu bisa datang kemari?”

“Aku dengar kamu ke rumah sakit. Kita sudah tidak berjumpa beberapa hari, jadi aku kangen.” Mereka belakangan memang sibuk dengan urusan kantor masing-masing. James He berujar lagi, “Dia…… Dia baik kan denganmu? Kelihatannya auramu jadi jauh lebih baik dari dulu.”

“Kakak bercanda mulu ih,” jawab Vero he dengan kepala tertunduk.

James He merangkul bahu adiknya, “Yuk jalan, temani aku makan.”

Vero He tidak langsung jalan. Ia menoleh dulu ke ruang perawatan intensif dengan sepasang mata penuh kekhawatiran, “Kakak, Dokter He bakal bangun kan?”

“Bakal!” jawab James He optimis.

Seperti mendapat suntikan semangat, Vero He mengangguk kencang, “Aku juga percaya dia bakal bangun. Ia harus bangun!”

James He tidak menjawab lagi. Ia merangkul Vero He berjalan ke depan rumah sakit. Ketiganya kemudian tiba di parkiran. Erin menyodorkan tas Vero He sambil pamit: “Nona He, berhubung kamu sudah ditemani Tuan Muda, aku balik kantor deh ya.”

James He menyapukan pandangan sekilas ke Erin. Ia menggeretakkan gigi dengan geram karena melihat tingkahnya yang sangat ingin menghindar, “Kamu harus selalu ada di sisi Vero He, mana boleh pergi begitu sih?”

Ekspresi Erin yang tadinya santai saja langsung berubah ketika ditegur begini. Pria ini kok iseng banget sih? Meski sangat gemas, si asisten tetap menjawab patuh, “Ya, baiklah.”

Melihat ekspresi Erin yang tidak begitu senang, Vero He berusaha menengahi: “Kakak, kan kita ada pengawal pribadi juga. Biarlah Erin balik kantor.”

“Pengawal pribadi hanya bertugas mengikutimu dari jauh. Mereka tidak bisa dekat-dekat denganmu. Kalau terjadi sesuatu denganmu, aku harus minta pertanggungjawaban siapa?” Ini hanya alibi James He saja biar Erin tidak bisa pergi dengan mudah.

“Pergi bareng kamu tidak mungkin kenapa-kenapa lah,” keluh Vero He.

“Orang yang makin dekat malah harus makin diwaspadai. Erin, waktu sekolah di sekolah militer kamu diajari ini kan? Selain dirimu sendiri dan orang yang kamu jaga, semua orang tidak boleh dipercaya. Semua orang adalah musuh yang bisa tiba-tiba menyerang kalian!” tutur James He dengan penuh ketegasan.

Vero He melihat Erin sekilas. Ia hampir lupa James He dulu anggota pasukan khusus. Kakaknya ini pasti punya standar yang tinggi untuk dirinya sendiri, apalagi untung seorang Erin. Ini bukan pertama kalinya ia melihat James He menegur dan menceramahi Erin.

Erin awalnya masih tidak senang karena merasa dikerjai. Mendengar James He mengingatkan prinsip kerja yang sangat mendasar, ia mendadak patuh, “Iya, Tuan Muda. Aku paham.”

Novel Terkait

His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
5 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Hello! My 100 Days Wife

Hello! My 100 Days Wife

Gwen
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu
4 tahun yang lalu