You Are My Soft Spot - Bab 282 Kembalinya Hantu (1)

Taylor Shen mengamati bayangan tubuh Vero He dengan lirih. Rasa sakit perlahan muncul dalam hatinya. Si wanita sudah menolaknya tanpa bicara apa pun, ini rasanya lebih pedih daripada penolakan-penolakan yang pernah terjadi sebelumnya. Pria itu mengepalkan tangan dengan bibir yang datar dan memanggil pelan: “Tiffany Song, takdir kita untuk bersama sudah dikukuhkan tiga belas tahun lalu. Aku tidak mengizinkanmu kabur dariku, paham kamu?”

Yang merespon Taylor Shen adalah kesunyian. Hatinya jadi makin sakit seperti ditusuk-tusuk pisau. Sakit namun tidak berdarah, sebab yang luka adalah hati dan bukan kulit. Ia tidak akan menyerah menghadapi Vero He, juga tidak akan mengizinkan alasan apa pun memisahkan mereka.

Seumur hidup ini, Taylor Shen hanya mau mengejar Vero He seorang saja. Tidak peduli seberapa besar usaha yang harus dikeluarkan, ia tetap akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Ia sudah pernah melepaskannya sekali dulu, sekarang tidak boleh lepas lagi.

Si wanita memejamkan mata dalam-dalam. Mengapa Taylor Shen menyusahkan dirinya sendiri seperti ini? Apa dia tidak tahu kita sebenarnya dari awal sudah tidak mungkin kembali bersatu?

Satu detik kemudian, si wanita merasa selimutnya dibuka oleh si pria. Sisi sebelah ranjang kemudian menurun ke dalam seolah kejatuhan beban berat. Ya, Taylor Shen berbaring di sebelah Vero He. Kehangatan tubuh pria itu perlahan menjalar ke tubuh Vero He hingga membuatnya tidak kedinginan lagi.

Tidak sampai di situ, pinggangnya juga merasakan pegangan sebuah tangan besar. Ia refleks berusaha mendorong si pria untuk menjauhinya, namun usaha berakhir nihil. Pada akhirnya, Vero He menggeser tubuhnya sendiri mendekati sisi ranjang yang tidak ada Taylor Shen-nya.

Ranjang tunggal ditempati dua orang....... Kalau Vero He bergeser sedikit lagi, tubuhnya bakal jatuh ke lantai. Taylor Shen menahan bahunya, “Jangan geser lagi, sedikit gerak lagi bisa jatuh kamu. Aku sangat lelah, temani aku tidur sebentar.”

Vero He diam dengan patuh. Ia tidak bisa membenci pria di sebelahnya ini. Karena dirinya sendiri, si pria sudah kehilangan ini dan itu. Dulu, ia selalu merasa Taylor Shen tidak menginginkannya dan ingin membuatnya menderita. Nyatanya, ketika dia tidak punya rumah, si pria lah yang menyediakan tempat tinggal yang hangat buatnya.

Taylor Shen, kalau kita berdua tidak sengotot sekarang, bukankah kita bisa sedikit lebih rileks?

Entah berapa lama kemudian, nafas Taylor Shen berubah stabil. Vero He masih tidak berani bergerak, sebab sekalinya ia gerak ranjang pasti bakal bergetar dan membangunkan Taylor Shen. Setelah beberapa saat, ia merasa tubuhnya pegal dan kaku juga bila terus begini. Ketika ia bergerak sedikit saja, tangan Taylor Shen yang menahan pinggangnya mengencang dan mencengkeramnya lebih kencang lagi. Si pemilik tangan lalu berujar serak, “Jangan bergerak!”

Vero He membuang nafas pasrah saja.

Tidak lama setelah kejadian ini, Vero He ikut terlelap. Ditemani si pria di sebelah, si wanita tidur dengan sangat nyenyak tanpa bermimpi buruk. Ketika wanita itu terbangun, hari sudah tengah malam.

Waktu membuka mata, Vero He langsung melihat sepasang mata yang menatap dirinya lekat-lekat. Ia ketakutan dan refleks menutupi kedua mata dengan tangan, jantungnya juga berdebar kencang. Setelah menyadari itu mata Taylor Shen, ia bertanya sambil menatapnya melalui sela-sela jari yang menutupi mata, “Terbangun?”

Tidur di kasur tunggal dan berbagi bantal kepala begini, tubuh keduanya sepenuhnya menempel tanpa jarak. Nafas Taylor Shen bisa terasa di wajah Vero He. Itu membuat si wanita merasa hidungnya jadi gatal dan sedikit tidak nyaman.

Sepasang mata Taylor Shen masih terus terarah ke Vero He bagai tidak mau melewatkan satu ekspresinya sedikit pun. Pria itu lalu buka suara, “Lapar ya?”

Ia ingat wanitanya belum makan malam. Sudahtengah malam begini, Vero He pasti kelaparan. Dirinya sendiri bahkan tadi terbangun karena suara perut si wanita!

Vero He menggeleng bohong, “Tidak…...”

Belum kelar berucap “tidak lapar”, perut Vero He sudah mengeluarkan bunyi. Si wanita refleks membuang pandangan ke salah satu sisi tembok ruang pasien tanpa berani menatap Taylro Shen. Mereka nampak bagai lagi bertengkar jadi saling bohong, tetapi sebenarnya tidak bertengkar juga karena berinteraksi seperti biasa. Entahlah mana yang benar, hati mereka masing-masing yang tahu.

Taylor Shen tersenyum tipis melihat Vero He malu dengan kebohongannya. Ia mendudukkan diri dan berkata: “Kamu baring ya, aku masak dulu.”

Di kamar pasien ada sebuah dapur kecil. Bilang mau masak, Taylor Shen sebenarnya hanya masak sebungkus mie instan ditambah sayur dan sosis saja. Khawatir bumbunya terlalu kuat, pria itu hanya menuangkan setengah bungkus bumbu ke panci mie.

Karena sudah tidur seharian, Vero He sekarang tidak mengantuk lagi sama sekali. Si wanita mendudukkan diri di ranjang dan mengambil ponsel untuk melihat jam. Ia kemudian baru sadar ponselnya mati.

Sembari menunggu ponsel menyala, Vero He mengamati bayangan tubuh pria yang sibuk di dapur. Bau harum mie instan menyeruak keluar dari sana. Di malam yang sunyi begitu, keharuman ini mendatangkan kehangatan dan kenyamanan bagi siapa pun yang menghirup.

Melihat tidak ada pesan atau pun panggilan yang masuk, Vero He kembali menaruh ponsel ke kepala ranjang. Ia kini fokus mengamati bayangan tubuh Taylor Shen di dapur. Sebelum tidur, ia merasakan kegelisahan dan kecemasan si pria. Setelah tidur sebentar, semua emosi negatif ini sepertinya lenyap dari dirinya.

Sebenarnya suasana hati Taylor Shen benar-benar membaik atau emosi-emosinya itu hanya ditahan biar tidak dilihat olehnya?

Daritadi ditatap, Taylor Shen lama-lama menyadari tatapan Vero He. Ia menoleh dan berkata, “Tunggu sebentar, segera jadi.”

Sungguhkah pria itu takut dirinya kelaparan?

Berselang dua menit, Taylor Shen keluar dari dapur dengan membawa panci mie. Ia menaruh menaruh selembar koran sebagai alas di meja kecil sebelah ranjang pasien, lalu menaruh pancinya di sana. Setelah itu, si pria balik ke dapur dan keluar lagi dengan dua pasang mangkuk dan sumpit.

Bau harum mie sangat menggugah selera. Tidak hanya tergugah, Vero He bahkan merasa bisa makan mie instan harum begini di rumah sakit adalah sebuah kemewahan.

Taylor Shen membeerikan sepasang mangkuk dan sumpit pada Vero He. Melihat si wanita mengamati isi panci mie tanpa putus-putus, ia menyuruh sambil tersenyum: “Makanlah.”

“Di rumah sakit kok bisa ada mie instan?” tanya yang daritadi bengong.

“Tadi aku bawa saat datang. Mengapa? Tidak tertarik ya?” tanya si pria sambil mulai menyantap mie dengan elegan.

Vero He ikut menyumpit mie dari mangkuk sambil menggeleng, “Tidak kok, malah aku tertarik sekali.”

Taylor Shen lega dengan jawaban ini. Keduanya larut dalam keasyikan makan tanpa saling bicara, jadi di kamar pasien hanya terdengar suara kunyahan mie. Sekelarnya acara makan, si pria pergi ke dapur untuk mencuci peralatan masak dan peralatan makan. Sementara itu, Vero He membaca berita di ponsel.

Ia tidak membaca dengan serius, melainkan hanya iseng scroll-scroll layar saja. Sudut matanya bahkan daritadi terarah ke sosok Taylor Shen yang lagi berdiri menghadap wastafel dapur. Ia bertanya pada dirinya sendiri, kalau penyakitnya kambuh lagi, apa yang paling ingin ia jaga baik-baik sekarang?

Gerakan jari Vero terhenti. Si wanita membuka selimut, turun dari ranjang, dan berjalan ke dapur dengan mengenakan sandal kamar. Dari belakang Taylor Shen, Vero He melingkarkan kedua tangan ke pinggangnya dan menyandarkan kepala ke punggungnya. Punggung kokoh dan berisi yang ia jadikan tempat sandaran membuatnya merasa sangat nyaman.

Ia yakin sekali, yang ia paling ingin jaga baik-baik adalah Taylor Shen.

Gerakan tangan Taylor Shen mencuci mangkuk berhenti. Air keran masih menyala, namun dia tidak mendengar apa-apa dan cuma fokus merasakan sendera wanita di belakangnya. Meliaht sepasang tangan yang dilingkarkan di pinggangnya, ia bertanya dengan gembira, “Ada apa?”

“Ingin peluk kamu.” Suara Vero He agak bindeng dan itu terdengar lucu.

Vero He versi sebelum tidur dan sesudah tidur benar-benar beda bagai langit dan bumi, begitu pikir Taylor Shen. Sambil tetap mempertahankan gestur begini biar tangan si wanita tidak lepas dari pinggang, pria itu mengajak, “Tiffany Song, nanti sesudah tahun baru temani aku ke Prancis yuk.”

“Heh?”

“Kamu tidak mau melihat tempat aku tinggal selama enam tahun? Di tempat tinggalku itu kurang nyonya, hanya ada aku sebagai tuan,” jawab Taylor Shen. Ia ingin menunjukkan pada Vero He bagaimana ia menjalani hidup sealam tujuh tahun. Harapannya, wanita itu tidak bakal menyerah begitu saja pada hubungan mereka yang penuh perjuangan ini.

“Habis tahun baru, aku sudah janji untuk liburan yang jauh dengan papa,” balas Vero He datar.

Si pria bertanya lembut: “Tambah aku seorang boleh?”

“Boleh saja, kamunya nyaman pergi dengan kami?” tanya si wanita. Ia tahu waktunya tidak banyak lagi. Sebelum dirinya sepenuhnya runtuh lagi, ia ingin memberi kenangan indah bagi papa dalam wujud liburan bersama. Selama ini, pria itu dan kakak sudah menjadi dua orang yang paling peduli pada dirinya.

“Nyaman-nyaman saja, yang penting di mana ada kamu di situ ada aku,” jawab Taylor Shen yakin.

Vero He tersenyum, “Kita bawa Jacob Shen sekalian yuk! Papa sangat suka dengannya.”

“Baik!”

……

Keesokan hari, Taylor Shen menyuruh Christian untuk mengurus pengeluaran Vero He dari rumah sakit. Ia sebenarnya ingin membawa si wanita ke Sunshine City, namun wanitanya sendiri minta dibawa pulang ke rumah kediaman keluarga He saja. Ketika diminta begini, Taylor Shen teringat kata-kata dokter. Di mana Vero He merasa nyaman, maka berikan dia waktu selama mungkin di tempat itu.

Sunshine City punya tidak sedikit memori buruk tentang mereka. Memori-memori ini bisa membawa tekanan dan stres dalam kadar tertentu bagi kondisi Vero He yang sedang tidak stabil. Pada akhirnya, Taylor Shen mengiyakan permintaan si wanita dan mengantarkannya ke rumah kediaman keluarga He.

Sesudah mengantarkannya ke sana, Taylor Shen mengemudi ke Sunshine City. Ia kemarin semalaman di rumah sakit, jadi perlu pulang untuk ganti baju dulu. Mobil berhenti di arkiran, lalu si pria berjalan memasuki vila melalui taman bunga. Ketika mengganti alas kaki dan melepas mantel di lorong jalan, Taylor Shen menemukan sepasang tangan yang mengambil mantelnya.

Pria itu mendongak dan melihat sosok Luna Bai. Ia mengernyitkan alis dan bertanya dengan nada agak kelelahan, “Bibi Lan mana?”

“Dia pergi beli sayur. Aku disuruh berjaga di rumah olehnya,” jawab Luna Bai sembari menunduk. Melihat lecekan-lecekan di celana si pria, wanita itu jadi merasa sedikit canggung.

Taylor Shen mengambil balik mantel dirinya dan berujar: “Nona Bai, kamu aku anggap sebagai tamu sementara di sini, bukan asisten rumah. Kamu tidak perlu mengerjakan tugas-tugas asisten rumah.”

Luna Bai mendongak dengan makin canggung. Melihat wajah tampan Taylor Shen, ia malah buru-buru menunduk lagi karena gugup. Wanita itu menunduk lemah: “Itu wujud terima kasihku karena Tuan sudah mengizinkan aku tinggal di sini. Selain itu, aku juga tidak merasa ini tugas asisten rumah kok.”

Melihat wajahnya yang malu-malu dan gugup ini, Taylor Shen jadi sadar penglihatan pertamanya pada sosok si wanita salah. Luna Bai dan Vero He tidak mirip sama sekali, matanya waktu itu pasti berhalusinasi. Si pria membalas: “Omong-omong, rumahku ini bukan organisasi sosial ya. Setelah menemukan pekerjaan, kamu harus pindah dari sini.”

“Aku……” Luna Bai memainkan jari kedua tangan dan tidak tahu harus bicara apa.

Melihat gesturnya ini, Taylor Shen jadi ingat Vero He juga sering memainkan jari tangan ketika sedang gelisah. Tutur katanya yang agak keras barusan jadi melembut, “Persaingan kerja di Kota Tong memang ketat, tetapi asal kamu benar-benar mencari pasti bakal ketemu pekerjaan kok. Kalau kamu mengalami kesulitan apa pun, aku bisa menyuruh sekretarisku untuk bantu kamu.”

Luna Bai langsung menolak, “Tidak perlu, tidak perlu. Tuan sudah membiarkanku tinggal sementara di sini sudah sebuah kebaikan besar, aku tidak mau menyulitkan Tuan lagi. Aku balik kamar dulu ya.”

Taylor Shen mengamati bayangan tubuh wanita yang kabur dengan alis terangkat. Memang suasana pembicaraan mereka tadi sangat tegang sampai dia ketakutan segitunya ya?

Tanpa berpikir apa-apa lagi, si pria naik ke lantai atas, mandi, dan berganti pakaian.

Saat turun, Taylor Shen tidak melihat sosok Luna Bai lagi. Jujur saja, dia sebenarnya merasa kurang nyaman rumahnya diinapi seorang wanita muda. Tetapi, orang ini bagaimana pun juga punya hubungan saudara dengan Bibi Lan. Ia tidak enak hati mengusirnya begitu saja.

Ah sudah lah, suruh saja Christian carikan pekerjaan yang cocok dan minta dia pindah. Untuk sementara ini ia tidak perlu bercerita soal Luna Bai pada Vero He, daripada si wanita malah berpikir tidak-tidak.

Taylor Shen berkendara balik ke kantor. Baru ia masuk ruang kerja, Christian sudah mendatanginya sambil membawa sebuah file. Melihat bosnya melepas mantel, si sekretaris mengulurkan tangan untuk menerimanya dan menggantungkannya di lemari pakaian. Ia lalu melapor, “CEO Shen, Kota Jing sana sudah memberikan kabar.”

Si bos menerima sodoran berkas yang diberikan, lalu membaca isinya sekilas. Sembari membaca, ia menyipitkan mata dengan sadar. Itu adalah tanda keheranan. Penyebabnya, meski dari awal sudah menebak mencari ibu kandung Vero He sama sulitnya dengan mencari sebuah jarum di tumpukan jerami, ia tidak menyangka sulitnya sampai begini rupa.

Dalam satu file yang tebal, setidaknya ada delapan petunjuk yang sudah mereka telusuri namun hasilnya masih nihil. Ia membolak-balik setiap halaman dan bertanya, “Semuanya sudah dicek dengan seksama?”

“Sudah. Hal-hal ini sebenarnya sudah sempat ditelusuri seseorang sebelum kita. Mencari ibu kandung Nyonya Shen rasanya super sulit.” Christian sama peningnya dengan Taylor Shen ketika tadi membaca laporan ini.

Sungguh, mencari hal-hal beginian memang sama sekali tidak gampang!

Taylor Shen mengambil beberapa foto yang ada di dalam file. Itu foto keluarga milik berbagai keluarga ternama dari beberapa kota. Sebagai sepasang ibu dan anak, Vero He pasti memiliki kemiripan dengan ibu kandungnya. Dengan mengumpulkan foto-foto ini, ia berharap bisa mencari kandidat-kandidat yang mirip Vero He untuk ditelusuri lebih lanjut.

Si bos mengamati satu per satu foto. Sembari mengamatinya, ia berujar: “Realitas pada masa itu pasti sangat dirahasiakan, jadi memang tidak mudah untuk menelusurinya. Tetapi, berhubung realitasnya pernah terjadi, maka pasti ada bekas yang ditinggalkan. Tidak mungkin semuanya dilenyapkan.”

“CEO Shen tepat. Pasti ada bekas dan jejak yang bisa kita dalami,” angguk Christian.

Kelar melihat semua foto, Taylor Shen tidak menemukan satu orang pun yang memiliki kemiripan fisik dengan Vero He. Matanya kembali tertujuk ke berkas yang tadi dibaca. Ia berkeyakinan, semakin sulit jalan mereka, maka sebenarnya mereka sudah semakin dekat dengan keberhasilan.

Taylor Shen membaca ulang berkas. Gerakan matanya terhenti saat ia seketika teringat sesuatu, “Nona Kedua keluarga Xu pernah menghilang dan baru ditemukan empat tahun kemudian. Ada foto dia di berkas ini?”

“Tidak ada. Dengar-dengar Nona Kedua keluarga Xu pernah diculik dan jadi gila. Ia terus dikunci di rumah, tidak ada orang yang pernah melihat wajahnya. Jadi, kami sendiri juga tidak bisa menemukan data apa pun soal dirinya,” tutur Christian.

Halaman yang sedang Taylor Shen tatap adalah halaman tentang keluarga Xu. Tiga puluh tahun lalu, Tuan Besar Xu sudah menjadi petinggi di sekolah militer. Dengan jabatannya itu, bisa punya pasukan dan kendaraan pribadi sama sekali bukan hal yang sulit. Beberapa tahun ini, dengan jabatan yang lebih mentereng lagi, pria itu semakin disegani.

Novel Terkait

Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu

Gaun Pengantin Kecilku

Yumiko Yang
CEO
3 tahun yang lalu

Cinta Di Balik Awan

Kelly
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu

Eternal Love

Regina Wang
CEO
3 tahun yang lalu

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu

The Serpent King Affection

Lexy
Misteri
4 tahun yang lalu

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
3 tahun yang lalu