Istri ke-7 - Bab 86 Takut (3)

Setelah Josephine pergi, Shella pun berteriak panik, "Bu, aku tidak mau merawat anak orang lain, aku bukannya tidak bisa melahirkan anak sendiri."

Apalagi anak itu dari perempuan yang paling dibencinya, membayangkannya saja membuatnya jijik.

Fransiska menepuk-nepuk tangannya, ia tersenyum menenangkan, "Meskipun anak ini tidak membawa kebahagiaan, tapi dia adalah perisaimu. Benar yang dikatakan Josephine, kalaupun kau bisa kembali ke rumah Keluarga Chen, kau tetap akan dibunuh oleh Nenek Tua Chen. Sebaliknya, kalau kau bisa melahirkan darah daging Keluarga Chen, Nenek akan memperlakukanmu dengan baik demi anak itu.

"Tapi, kalau suatu hari nanti Josephine si wanita murahan itu menyesal dan kembali ke rumah Keluarga Chen untuk mengambil anaknya, bagaimana? Bukankah aku akan celaka?"

"Tenang, kita tak tahu apakah ia masih punya kesempatan untuk itu," kata Fransiska sambil tertawa.

Berhubung telah mengambil rencana kedua, ia tentu sudah merencanakan semuanya sampai jauh ke depan. Dan juga, ia tak berencana membiarkan Josephine si pembawa sial ini hidup sesudah ia melahirkan anaknya.

Shella terkejut, ia membuka mulutnya dengan ngeri, "Bu, kau tak bermaksud..."

"Dia yang memaksaku begitu."

Meski Shella merasa cara ini terlalu kejam, namun demi masa depannya, ia mengerti, karena hanya dengan melenyapkan Josephine selamanya, ia baru bisa hidup tanpa ketakutan.

***

Malamnya, Claudius mendapati Josephine masih melukis di teras hingga malam. Ia pun mendekatinya, lalu memperhatikannya, "Bukankah besok kau mau pergi berlibur? Kenapa belum tidur?"

"Tidak jadi," Josephine mendongak melihat wajah tampan Claudius yang bersemu merah, "Kau minum-minum lagi?"

"Urusan bisnis, minum sedikit tidak bisa dihindari," langkah Claudius semakin dekat, sampai berdiri di belakang wanita itu dan memperhatikan dia melukis. "Kenapa tak jadi pergi?"

"Aku takut kau menyuruhku pulang di tengah perjalanan."

"Kupikir kau yang tak bisa meninggalkanku."

"Narsis."

"Kemarilah, puaskan rasa laparku," kata Claudius lalu melingkarkan tangan di pinggang Josephine.

"Apa?' Josephine mendongak menatapnya, lalu menggeleng, "Sebaiknya kau cari orang lain saja, aku harus segera menyelesaikan lukisanku."

Wajah Claudius jadi mendung, "Kau yakin menyuruhku mencari orang lain?"

"Aku..."

"Aku beritahu kau, barusan tadi benar-benar ada wanita yang bentuk tubuhnya seratus kali lebih bagus darimu dan dia ingin memuaskan rasa laparku, jadi kau jangan menyia-nyiakanku," Claudius membuang kuas dari tangan Josephine, lalu menunjuk sosok Alex Zhao di lukisan itu, "Untuk apa kau tiap hari memandangi wajah pria lain? Ingin memberontak?"

"Aku sedang melukis."

"Melukis juga tidak boleh."

"Claudius bisakah kau masuk akal sedikit?"

"Aku memang otoriter dan tak berperasaan, agak tak masuk akal," Claudius menarik Josephine ke dalam pelukannya lalu mencium bibirnya.

Aroma anggur yang samar-samar masuk menembus bibirnya. Josephine terhenyak, ternyata maksud dari 'memuaskan lapar'-nya adalah ini, dan ia menyuruhnya mencari orang lain begitu saja?

"Tanganku...dan juga, kau belum mandi," Josephine mendorong lengannya dan memberontak.

Meskipun Claudius tidak mabuk, namun kelakuannya juga lumayan membuatnya tak tahan, ia agak takut.

Claudius juga tak nyaman karena belum mandi, ia pun melepaskan Josephine dan pergi ke kamar mandi.

Saat Claudius mandi, terdengar suara pintu diketuk. Jospehine membuka pintu, ternyata itu Vina yang membawakan obat untuk Claudius. Ia dengan sopan berkata, "Nyonya Muda, obat Tuan Muda telah selesai direbus, apakah beliau sekarang di kamar Anda?"

"Dia sedang mandi," Josephine mengulurkan tangannya untuk mengambil obat, "Berikan padaku."

Setelah pintu ditutup, Josephine kembali dan meletakkan obat di atas meja.

Begitu Claudius selesai mandi dan mencium aroma pahit obat, pandangan matanya langsung tertuju pada mangkuk obat itu, alisnya pun berkerut.

"Segeralah minum obatnya, kalau dingin nanti akan lebih pahit," kata Josephine.

Claudius sejenak ragu, ia berjalan dan mengamati obat di dalam mangkuk itu, "Aku tak mau minum, bantu aku membuangnya."

"Buang?" Josephine terkejut, "Tuan Muda, kau tidak membuangnya diam-diam setiap kali diberi obat, kan?" katanya sambil menunjuk-nunjuk mangkuk.

"Sesekali."

"Mana boleh begitu?"

"Kenapa tak boleh?" Claudius mengangkat mangkuk obat itu di hadapan Josephine, "Apa kau pernah mencicipi rasanya? Kau mungkin tidak akan bisa meminumnya barang seteguk."

"Tapi kau sakit, sakit harus minum obat."

"Minum obat pun tetap sakit, mending tak usah minum," Claudius dengan tak sabar hendak membuang obat itu ke tempat sampah.

"Tidak boleh," Josephine buru-buru menangkap pergelangan tangan Claudius, "Kalau tidak minum obat penyakitmu mungkin akan bertambah parah, apa kau ingin menjadi seperti rumor, hidup tidak sampai usia 30?"

"Apa kau sedang menakutiku?"

"Anggap saja begitu."

Claudius memperhatikannya, tak lama kemudian ia berkata, "Aku akan minum kalau kau juga minum."

"A...pa...?" Josephine terbata-bata.

"Bukankah kau mau aku meminumnya? Temani aku minum, kalau sampai aku tak hidup sampai usia 30, kau akan jadi janda, kasihan sekali."

"Tapi...obat ini, tubuhku tidak kenapa-kenapa..." Mangkuk yang dipegang Claudius terus mendekat ke depan wajahnya, Josephine tak henti-hentinya mundur, sampai punggungnya terdesak di atas sofa.

"Ini obat herbal, kau tidak akan mati kalau meminumnya," Claudius menunduk sekilas melihat obat itu, lalu kembali memaksanya, "Kukira kau sangat memedulikanku, tapi pengorbanan sekecil ini saja kau tak bersedia melakukannya demi aku, tampaknya kau tidak berbeda dengan wanita lain..."

"Bukan begitu...aku hanya..." Josephine kembali terbata-bata, tak tahu harus bagaimana menjelaskan.

Kalau bukan karena hamil, jangankan obat ini, racun pun bersedia ia minum bersama Claudius.

"Kau hanya beralasan karena takut kan," Claudius menarik mangkuk obatnya, kembali berpose hendak membuang obat itu ke tempat sampah.

"Jangan buang," Josephine buru-buru menagnkap pergelangan tangannya, ekspresinya pasrah, "Aku minum saja."

Ini adalah obat herbal untuk menyembuhkan tubuh, tidak akan begitu berbahaya, kan, untuk janin? Ia juga bisa memuntahkannya lagi nanti.

"Kenapa kau begitu memaksa?"

"Karena aku tidak ingin jadi janda," kata Josephine sambil meminum obat itu.

Cairan obat baru saja masuk ke mulut, ia langsung mual oleh rasa pahitnya. Ia buru-buru meletakkan mangkuk tersebut dan merangkak menuju tempat sampah untuk memuntahkannya.

"Lihat, bahkan seteguk pun kau tak bisa minum, dan kau menyuruhku meminumnya seumur hidup," Claudius duduk di sebelahnya, lalu menepuk-nepuk punggungnya, "Apa kau baik-baik saja?"

Josephine meludah beberapa kali, setelah pulih, ia berdiri untuk mengambil tisu dan mengelap mulutnya, "Aku sangat baik."

Novel Terkait

Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
4 tahun yang lalu
Wonderful Son-in-Law

Wonderful Son-in-Law

Edrick
Menantu
3 tahun yang lalu
Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Shuran
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
3 tahun yang lalu
My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Blooming at that time

Blooming at that time

White Rose
Percintaan
4 tahun yang lalu
Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Summer
Romantis
4 tahun yang lalu