Istri ke-7 - Bab 251 Pertemuan Kembali

Setelah tinggal di hotel selama semalam, keesokan paginya mereka menikmati pemandangan kota London dari gedung The Shards, sorenya mereka makan makanan khas sana, baru kemudian Marco dan Josephine memutuskan untuk pulang.

Kembalinya ke dalam mobil, Jesslyn dengan tidak rela berkata, "Ayah, ibu. Apa kita akan pulang sekarang?"

"Kenapa? Tidak mau pulang?" Tanya Marco sambil tersenyum melihatnya.

Jesslyn mengangguk. "Aku rasa bermain di luar lebih menyenangkan."

"Bodoh, kita tidak mungkin terus-terusan main dan tidak pulang," kata Josephine sambil tertawa.

"Aku tahu. Aku kan cuma tidak rela," kata Jesslyn sambil membuat wajah mengolok pada Josephine.

"Sebenarnya aku juga tidak ingin pulang," kata Marco sambil tersenyum tiba-tiba.

Josephine mengamatinya, seketika tidak begitu mengerti maksud perkataannya.

Marco mengelus rambutnya dan berkata, "Jangan melihatku seperti itu, sebenarnya pemikiranku sama dengan Jesslyn, yaitu ingin kita sekeluarga bisa terus bahagia seperti ini, benar tidak, sayang?" Kata Marco lalu menoleh pada Jesslyn.

Jesslyn mengangguk, lalu tertawa dan berkata, "Benar, tidak perlu sekolah, kalau sudah besar tidak perlu bekerja, tidak perlu berpisah dengan ayah dan ibu."

"Tidak perlu sekolah dan bekerja? Kalau begitu apa bedanya dengan orang cacat?" Tanya Marco sambil tersenyum.

"Iya, kemarin tidak tahu siapa yang bilang mau berusaha menjadi orang terkenal," kata Josephine.

Jesslyn tertawa cekikikan dan berkata, "Jesslyn mau terkenal."

"Pintar, begini baru benar."

Jesslyn bermain dan bergurau bersama Marco di dalam mobil, Josephine duduk di samping melihat mereka, dalam hati perasaannya campur aduk, ia mulai merasa sedih. Setiap kali melihat mereka berdua bahagia, ia selalu memikirkan Claudius, tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Apakah ia sudah bertambah sehat, apakah perusahaan sudah membaik. Dan juga... Apakah hatinya sudah semakin tenang.

Sekarang, baginya semua ini tidak mudah.

"Ayah. Apakah nanti kita masih bisa pergi ke tempat sebanyak ini?" Tanya Jesslyn tiba-tiba.

Marco terdiam, lalu tertawa dan menjawab, "Tanyalah pada ibu, kalau ibu mau pergi, boleh saja."

"Ibu, bagaimana?" Tanya Jesslyn sambil menoleh pada Josephine.

Josephine berpikir sebentar lalu mengangguk. "Boleh, asalkan Jesslyn nanti pintar dan menurut, nanti kita akan sering-sering pergi."

"Jesslyn selalu pintar dan penurut, kok."

"Kalau begitu kita pergi setiap tahun," ujar Josephine menghiburnya.

"Luar biasa, terima kasih ibu!" Seru Jesslyn senang.

"Sudah, sudah main seharian pasti kau lelah," kata Marco sambil memeluk Jesslyn di pangkuannya, "Tidurlah yang pintar, sebentar lagi kita akan sampai rumah, oke?"

"Oke," ujar Jesslyn sambil mengangguk, kemudian memejamkan mata.

-----

Satu jam kemudian, mobil mereka berbelok memasuki daerah di sekitar tempat tinggal mereka.

Dari kejauhan, Josephine pun melihat sosok yang familiar berdiri di gerbang rumah mereka, ia pun tertegun, orang yang berdiri di sana ternyata adalah Claudius?

Saat ini Claudius mengenakan mantel panjang berwarna hitam dengan bulu di bagian lehernya. Tubuhnya jauh lebih kurus daripada sebelumnya, ia juga terlihat jauh lebih pucat, walaupun ia tidak terlihat bersahaja dan garang seperti dulu, namun ketajaman pada kedua matanya sama sekali tidak berkurang.

Sorot mata yang familiar itu, hanya dengan melihat sekilas saja Josephine bisa merasakan saat ini Claudius merasa sangat tidak senang!

Iya juga, di saat seperti ini, mana mungkin ia bisa menuntutnya untuk senang?

Mobil mereka berhenti di hadapannya, Josephine baru perlahan tersadar, namun ia tidak turun dari mobil, malah seketika tidak tahu harus bagaimana.

Ia menoleh memandang Marco di sebelahnya, bagaikan sedang meminta bantuan. Marco juga menatapnya, lalu berkata dengan lembut, "Turunlah."

Setelah berkata demikian, Marco membangunkan Jesslyn yang tertidur nyenyak dan memberitahunya bahwa mereka sudah sampai di rumah.

Jesslyn perlahan membuka matanya, lalu melihat ke luar dan bertanya, "Sudah sampai? Aku belum sepenuhnya bangun."

"Ayo anak pintar, kita masuk dan makan, lalu mandi baru tidur, oke?"

"Baiklah," kata Jesslyn sambil mengangguk dan turun dari mobil.

Josephine tetap duduk di dalam mobil, ia sebentar-sebentar memandang Claudius yang berada di depan mobil, ia benar-benar tidak memiliki keberanian untuk turun begitu saja lalu berjalan ke hadapannya, karena ia tidak tahu apa yang harus ia katakan setelah berhadapan dengan Claudius.

Jesslyn turun dari mobil, dengan mata yang tetap mengantuk itu ia melihat Claudius, kemudian rasa kantuknya langsung menghilang, kedua matanya langsung terbuka lebar, ia mengamati Claudius kemudian dengan senang memanggilnya, "Ayah..."

Panggilan "ayah" ini langsung menempel di hati Claudius, seumur hidupnya ini baru kali ini ada yang memanggilnya ayah, dan yang memanggilnya adalah anak kandungnya sendiri. Claudius seketika tersentuh, kemarahan di hatinya pada saat yang bersamaan juga menghilang cukup banyak.

Bagaimanapun sudah sekian lama berhubungan, Jesslyn tidak seakrab dan sebebas itu dengannya seperti saat bersama Marco, Jesslyn hanya berdiri begitu saja melihatnya, dengan wajah yang tersenyum lebar.

Claudius melangkah maju, lalu memandangnya dan berkata, "Apakah kamu memanggilku?"

"Ayah..." Panggil Jesslyn dengan sedikit gugup, "Kata Ayah Qiao, Paman Chen adalah ayah Jesslyn yang sebenarnya."

"Oh ya? Kalau begitu maukah kamu kembali ke sisi ayah?" Ujar Claudius sambil berlutut di hadapannya, tangan besarnya mengusap kepala mungil Jesslyn. Hatinya sangat amat gembira dan bersemangat, namun wajahnya malah terlihat sangat tenang, kelewat tenang hingga membuat orang takut.

Jesslyn memandangnya lalu menggeleng. "Aku mau bersama dengan ibu dan Ayah Qiao."

"Tapi ibu juga akan kembali ke sisi ayah," ucap Claudius.

"Oh ya?" Tanya Jesslyn dengan tidak percaya, ia menoleh memandang Josephine di balik jendela kaca mobil, "Tapi ibu bilang kita akan tinggal di sini bersama Ayah Qiao, dan tak akan pergi lagi."

"Ibu hanya bercanda," kata Claudius akhirnya tersenyum, lalu menggendongnya dan menatapnya, "Coba kau pikir, siapa yang tidak mau hidup bersama ayah dan ibu kandungnya sendiri?"

Jesslyn mengerutkan dahinya dan berkata, "Tapi bagaimana dengan Ayah Qiao? Ayah Qiao akan kesepian sendirian."

"Jesslyn," ujar Marco yang turun dari mobil dengan bantuan supir, lalu berkata padanya, "Ayo masuk dulu dengan Ayah Qiao, oke?"

"Tidak mau ah... Aku mau main dengan ayah, aku sudah lama tidak bertemu ayah, lagipula aku belum bertanya apakah ayah sudah sehat!" Seru Jesslyn membenamkan tubuhnya di pelukan Claudius sambil menggelengkan kepala mungilnya.

Marco dengan sabar berkata, "Bukannya sekarang sudah bertemu, ayah sudah sehat, lagipula ayah dan ibu sudah sangat lama tidak bertemu dan mengobrol, kita jangan mengganggu mereka, oke?"

Jesslyn berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah kalau begitu," katanya kemudian berkata pada Claudius, "Ayah, nanti kalau ayah sudah selesai mengobrol dengan ibu, ingat ajak Jesslyn main ya, Jesslyn juga ingin bicara dengan ayah."

"Tentu saja, ayah juga ingin mengobrol dengan Jesslyn," kata Claudius sambil mencubit pelan hidung mungil Jesslyn kemudian menurunkannya kembali ke tanah.

Jesslyn dengan menurut mengikuti Marco masuk ke dalam rumah, hanya tersisa Josephine yang tetap duduk diam di dalam mobil dan Claudius di pintu gerbang.

Mereka berdua yang terpisah kaca jendela mobil itu saling memandang begitu lama, Josephine tetap tidak keluar dari dalam mobil, akhirnya Claudius-lah yang melangkah ke arahnya, lalu membuka pintu dan duduk di dalam.

Tanpa menyapa, tanpa sepatah kata pun, Claudius langsung menekan Josephine di kursinya dan menciumnya.

Hati Josephine yang tertekan oleh kerinduan dan kekhawatiran selama berhari-hari itu, karena ciuman Claudius ini, akhirnya terasa lega. Seketika Josephine bahkan melupakan identitasnya saat ini, ia lupa perjanjiannya dengan Henry, lupa hubungannya dengan Marco.

Saat ini, ia hanya ingin memeluk Claudius erat-erat, membalas ciumannya, dan memang itulah yang ia lakukan.

Menerima responnya, hati Claudius semakin bergairah, sambil menciumnya dalam-dalam, tangannya menyelinap masuk ke bawah pakaian Josephine dan mulai meraba dengan bergairah.

Begitu merasakan tubuhnya sedikit terasa dingin, kesadaran Josephine perlahan kembali, tangan kecilnya menahan wajah besar Claudius dan berkata dengan terengah-engah, "Claudius, Claudius... Kita tidak boleh begini... Tidak boleh..."

"Kenapa tidak boleh?" Tanya Claudius dengan terengah-engah juga, kedua matanya dipenuhi nafsu.

"Aku tidak mau membohongi diriku bahwa aku merindukanmu, mencintaimu, tetapi juga tidak boleh melakukan hal tidak beradab seperti ini, sekarang aku adalah kekasih Marco, aku..."

"Dan Marco itu beradab, begitu? Ia mempergunakan penyakitku untuk memaksamu kembali ke sisinya, apakah ia beradab?" Teriak Claudius murka.

Josephine menggeleng, "Bukan, ini bukan salah Marco, ini karena aku mau kamu hidup dengan baik. Claudius... Kamu tahu barusan ini saat aku melihatmu masih hidup dan berdiri di sana, betapa senang dan berdebarnya aku? Aku benar-benar tidak berani mempercayai mataku sendiri... Waktu itu dokter memberitahuku detak nadimu semakin melemah, tidak lama lagi kamu tak akan bisa bertahan lagi, kemudian Henry pun muncul, ialah yang membawa harapan bagimu. Saat itu tak usah bilang menyuruhku meninggalkanmu dan kembali ke sisi Marco, bahkan kalau ia meminta nyawaku pun aku akan setuju 1000% ..."

Kalimat belakangnya dibungkam oleh ciuman Claudius, ciuman panas di antara mereka pun lagi-lagi dimulai.

"Aku tahu, aku mengerti..." Ujar Claudius melepaskan bibirnya, lalu mencium telinga Josephine dan berbisik, "Tenang saja, aku akan mengurus semua ini dengan baik, tenanglah..."

"Bagaimana kamu mau mengurusnya?" Tanya Josephine dengan mata berkaca-kaca, "Nyawamu memang diselamatkan oleh Henry, ini adalah kenyataan..."

"Asalkan kamu mencintaiku, aku pasti punya cara," ujar Claudius sambil tersenyum kecil, lalu mengusap air mata di wajah Josephine, "Asalkan kamu tak menghidariku seperti dulu dan tidak mengakui bahwa kamu mencintaiku, itu sudah bagus."

Josephine mengedip-ngedipkan kedua matanya, dengan berlinang air mata ia memandang Claudius dan berkata, "Berjanjilah padaku, jangan terlalu menyakiti Marco."

"Kau masih perhatian padanya?"

"Dua bersaudara itulah yang menyelamatkan kita."

Tentang itu, Claudius tak bisa menentang, ia pun mengangguk. "Aku mengerti."

Claudius memeluknya dan tersenyum pahit, ia tahu Josephine sangat baik hati, selalu penuh perasaan, apalagi terhadap balas budinya pada Marco, Josephine tak akan pernah lupa, jadi mengenai Marco, walaupun ini demi Josephine, Claudius tak akan membalasnya!

Novel Terkait

Balas Dendam Malah Cinta

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
5 tahun yang lalu
Cinta Adalah Tidak Menyerah

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Clarissa
Kisah Cinta
5 tahun yang lalu
Eternal Love

Eternal Love

Regina Wang
CEO
4 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
4 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
Istri Direktur Kemarilah

Istri Direktur Kemarilah

Helen
Romantis
4 tahun yang lalu