Istri ke-7 - Bab 155 Ulang Tahun (1)

“Apa-apaan ini, apakah pekerjaan bukan hal yang berguna?” Josephine merasa geli oleh ciuman Claudius sehingga ia meronta-ronta sambil tertawa.

“Urusan perusahaan serahkan saja pada suamimu. Tugasmu adalah untuk segera melahirkan penerus keluarga Chen,” Claudius melemparnya ke atas ranjang. Tubuhnya menindih tubuh Josephine, lalu menciumi dadanya.

Josephine tertawa kegelian. Ia meronta sambil berseru, “Claudius, aku baru saja masuk kerja, dan kau hendak membuatku mengambil cuti melahirkan?”

“Bukankah itu bagus? Tidak perlu bekerja tapi tetap mendapat gaji.”

“Aku tidak mau, aku mau melakukan hal-hal besar!”

“Kalau meronta lagi akan kupotong gajimu,” kata Claudius sambil menghimpit tubuhnya.

Josephine pun tak berani bergerak lagi. Ia membiarkan bibir dan lidah Claudius menelusuri dadanya. Jantungnya berdebar, ia menahan napas. Semakin ia berhasrat semakin ia tak senang. Pada akhirnya ia pun mengutarakan ketidaksenangannya ini, “Siapa yang tadi bilang bahwa perusahaan ini adalah perusahaan kita? Dan sekarang kau mau mengancamku dengan potong gaji? Apakah yang kau lakukan ini ada hubungannya dengan pekerjaan? Kapitalis kejam!”

Ciuman Claudius merambah ke telinga Josephine. Ia tertawa, “Siapa yang membuatku jadi kapitalis kejam?”

Tanpa memberinya kesempatan untuk protes, Claudius mencium bibirnya, menyumbat kata-kata yang belum terucap dari mulut Josephine agar tak keluar.

Claudius menghentikan mobilnya di depan pintu gedung perusahaan. Ia menoleh ke arah Josephine yang sedang bersiap turun dari mobil, “Tunggu sebentar.”

“Ada apa?” Josephine membalikkan badan. Ia melihat jam di pergelangan tangannya lalu mencondongkan tubuh ke arah Claudius dan mencium keningnya, “Sampai nanti malam.”

Claudius tidak senang mendengar ‘sampai nanti malam’ yang diucapkan Josephine, ia mengerutkan alis, “Hei istri, tujuanku mempekerjakan kamu di perusahaan adalah agar ada yang menemaniku makan siang. Perbuatanmu yang mengabaikan suami sendiri seperti ini apakah pantas?”

“Kita sudah sarapan dan makan malam bersama. Apa kau tidak bosan?” Josephine tersenyum lebar, “Bukankah bagus kalau aku memberimu kesempatan makan bersama dengan sekretarismu yang menawan itu?”

“Sekretaris itu mana bisa semenggoda dirimu.”

“Jangan bercanda,” Josephine kembali melihat arlojinya, “Tiga menit lagi sebelum terlambat. Sudah, ya.”

Ia membuka pintu mobil dan turun. Claudius mengikutinya turun dari mobil, lalu berjalan menuju hall perusahaan.

Josephine menoleh dan mendapati Claudius mengikutinya. Ia bertanya dengan agak kesal, “Untuk apa kau mengikutiku?”

“Ada yang belum selesai kubicarakan denganmu,” jawab Claudius sambil membalas sapaan karyawan.

Josephine melihat Cindy dan kawan-kawannya di depan, ia pun menoleh ke arah Claudius, “Kita lanjutkan lagi siang nanti, ya? Aku memberimu kesempatan untuk mentraktirku makan siang.”

“Boleh,” Claudius pun memundurkan langkahnya dan berjalan menuju lift khusus.

“Pagi, Josephine,” sapa Cindy dan beberapa pegawai wanita lainnya.

“Selamat pagi semua!” balas Josephine, lalu melangkah menuju lift.

Sekelompok wanita dengan pakaian kerja sedang cekikikan di dalam lift. Josephine menunduk melihat pakaiannya sendiri. Pakaiannya sama seperti mereka. Ia jelas telah melebur ke dalam gerombolan mereka, namun ia tetap tak bisa bergembira seperti mereka.

Mungkin karena kehidupan mereka lebih sederhana, lebih santai daripada dirinya!

Betapa ia sangat berharap dapat menjadi seperti gadis-gadis itu, punya pekerjaan yang stabil, punya anak-anak yang lucu dan sehat. Setiap hari dilewati dengan sederhana dan sangat hidup seperti ini.

"Josephine, kau kenapa?" tanya seorang teman ketika dilihatnya wanita itu melamun.

Josephine tersadar, lalu tersenyum, "Tidak apa-apa, aku hanya merasa hari-hari kalian sangat menyenangkan. Aku iri."

"Kau iri pada kami?" seru gadis itu terkejut, "Kami semualah yang iri padamu. Kemarin aku mendengar orang membicarakanmu di toilet, kata mereka di kehidupanmu sebelumnya kau pasti telah membantu banyak orang sampai kau bisa menjadi istri Tuan Claudius sekarang."

"Benarkah?" kata Josephine sambil tetap tersenyum.

Mengapa ia malah berpikir kalau di kehidupan sebelumnya ia telah melakukan dosa besar, sehingga di kehidupan yang sekarang ia jadi berhubungan dengan Claudius?

"Ah, bukankah semua orang seperti itu? Selalu saja merasa milik orang lain baik, tetapi milik sendiri tidak." Cindy menepuk-nepuk pundak Josephine, "Apa kau tahu kemarin aku bertengkar sampai jam berapa dengan pacarku yang hanya bermain game seharian? Kau akan tahu begitu melihat mata pandaku."

Cindy menunjuk-nunjuk kedua matanya.

"Itu masih bukan apa-apa. Lihatlah kerutan di wajahku," sela teman yang lain, "Putriku sulungku baru saja sembuh dari demam minggu lalu, sekarang putri bungsuku yang demam tinggi, sampai 4 hari! Setiap hari aku harus bangun jam 5 pagi untuk menyeduh obat, lalu jam 6 menyiapkan sarapan, jam 7 mengantar anak ke sekolah. Aku hampir gila."

"Aku juga, aku juga."

"Sudah sampai, ayo keluar."

"Eh, aku belum bercerita."

"Lain kali kita cari waktu untuk curhat bersama. Sekarang kita harus lekas bekerja," kata Cindy sambil tertawa.

Begitu masuk ke kantor Departemen Rancangan, mereka pun berpisah menuju meja kerja masing-masing. Melihat kawan-kawannya itu, Josephine tiba-tiba merasa bahwa ia bukanlah orang yang paling susah di dunia.

Meskipun begitu, kalau diberi kesempatan, ia juga rela begadang setiap hari demi menjaga putrinya. Bahkan sampai seluruh wajahnya dipenuhi kerutan pun ia rela.

Sayang sekali, putrinya tidak memberinya kesempatan ini!

Siang harinya, Josephine memperhatikan Claudius di depannya sambil bertanya, "Bukankah katamu kau punya sesuatu untuk dikatakan padaku? Apa itu?"

Claudius meletakkan steak yang telah dipotongnya ke atas piring Josephine, "Cobalah bagaimana rasanya."

Josephine menusuk steik itu dan mencicipinya, "Enak," angguknya.

"Coba ini juga," Claudius memotong daging ayam di piringnya, lalu memberikannya pada Josephine.

Sambil mengunyah daging ayam pemberian Claudius, Josephine memutar bola matanya, "Sudah selama ini, sebenarnya kau mau bicara apa?"

Claudius juga melahap sepotong besar steik, lalu berkata, "Sebenarnya tidak ada yang ingin aku bicarakan."

"Kau membohongi aku?"

"Tidak juga, kasihan sekali kalau harus berbohong demi bisa makan siang bersamamu."

"Tuan Claudius, ternyata kau lucu juga saat tidak serius," Josephine melempar senyum lebar padanya, lalu berkata, "Membosankan!"

"Terima kasih," Claudius minum seteguk air, lalu berpikir sejenak, "Sebenarnya ada 1 hal kecil. Aku kemarin lupa mengatakannya padamu."

"Hal apa?"

Claudius menatapnya dan berkata, "Sebentar lagi adalah ulang tahunmu. Kau ingin kado apa? Aku akan memberikannya untukmu."

Josephine sedikit terkejut. Ulang tahunnya? Benar juga, ulang tahunnya akan segera tiba. Claudius ingat hal yang bahkan hampir tidak diingatnya?

Ia tertawa, "Tidak perlu, kau memperbolehkanku bekerja sudah merupakan kado terbaik buatku."

"Kau masih bisa meminta yang lebih baik."

Kado yang lebih baik? Josephine hendak berkata sesuatu, namun akhirnya hanya menggelengkan kepala, "Selama yang memberikannya adalah kau, aku pasti suka."

"Maksudmu, kau menyuruhku mengurusnya sendiri?

"Kebetulan sekali," Claudius tertawa, "Minggu depan aku ada urusan bisnis ke Prancis. Kau ikutlah aku. Provence, pesisir laut selatan yang biru, semua ini adalah pertama kalinya aku menemani seorang wanita pergi ke sana. Apa kau cukup terkejut?"

Meskipun Provence adalah tempat yang selalu ingin dikunjunginya, dan pergi bersama Claudius adalah sebuah hal yang luar biasa indah, tapi jika dibandingkan dengan Justin, perbedaannya jauh sekali.

"Apa? Tidak terkejut? Lalu kau ingin pergi ke mana? Katakan saja padaku, aku bisa menemanimu ke mana saja."

"Tidak, aku sangat terkejut," Josephine menyembunyikan perasaan kecewanya dalam-dalam dengan tertawa, "Sejak kecil aku selalu bermimpi untuk bisa berjalan-jalan di tengah lautan bunga Provence bersama orang yang kucintai. Kupikir ini adalah kado yang tak akan terlupakan untukku."

"Baguslah kalau kau suka," Claudius tersenyum lega.

"Tapi..."

"Apa?"

"Minggu depan aku harus masuk kerja."

Wajah Claudius memuram, "Hei, istri, bisakah jangan mengecewakan begitu?"

"Aku serius."

"Aku juga serius, kalau kau sampai membuatku kecewa lagi, aku akan langsung memecatmu dan membuatmu libur panjang."

"Seenaknya saja!"

"Bukankah sudah kukatakan? Suami nomor 1, pekerjaan nomor 2."

Josephine memonyongkan bibirnya, ia tak berbicara lagi.

Novel Terkait

Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu
Don't say goodbye

Don't say goodbye

Dessy Putri
Percintaan
5 tahun yang lalu
Rahasia Istriku

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
5 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
5 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
4 tahun yang lalu