Istri ke-7 - Bab 222 Ternyata Hanya Pura-Pura (1)

"Aku... minta maaf... "

Marco bangkit dari kasur dan duduk sambil menutupi tubuhnya dengan selimut, "Sebenarnya aku tidak lumpuh setengah badan, tapi aku tidak punya maksud untuk membohongimu. Aku...aku juga tidak tahu kenapa..."

Ia memukuli kepalanya dengan penuh rasa bersalah, "Maafkan aku Nona Yan. Kau pukul saja aku. Pukul aku sampai aku benar-benar jadi orang lumpuh!"

Melihatnya begitu terpukul, Belinda pun bertanya, "Jadi sebenarnya kakimu benar-benar cacat atau tidak? Kemarin kau berkata sudah menyukai Nona Bai sejak kuliah, tapi tak berani mendekatinya karena kakimu cacat, kemudian kau diam-diam berinteraksi dengannya dalam game dan menikah dengannya. Apakah semua cerita menyentuh ini bohong?"

"Tidak," Marco menggeleng, "Kakiku benar-benar lumpuh akibat kecelakaan dulu, tapi hanya di bagian lutut ke bawah saja. Semua yang kuceritakan kemarin malam adalah nyata."

Ia terhenti sejenak, wajahnya menampakkan ekspresi pahit, "Saat kakak menyerahkan Josephine padaku 2 tahun lebih yang lalu, ia kira-kira telah terbaring di ranjang rumah sakit selama 2 tahun. Baru 6 bulan terakhir ini ia benar-benar keluar dari rumah sakit. Kami bertiga pun tinggal bersama. Walaupun ia sangat percaya dan bergantung padaku, tapi hatiku semakin tak tenang. Aku selalu merasa akan ada saat di mana ingatannya pulih kembali. Akh takut dia akan membenciku, menganggapku memanfaatkan kesempatan. Aku bukannya tidak ingin menjadi suami istri sungguhan dengannya, tapi aku berharap bisa memilikinya dalam keadaan dia benar-benar sadar dan mencintaiku..."

"Jadi kau membohonginya dengan berkata bahwa kau lumpuh separuh badan?"

"Ng."

"Setiap malam kau tidur memeluk wanita yang kau cintai tapi tak bisa melakukannya, apa kau tidak sedih?"

Marco tidak merespons pertanyaannya, melainkan kembali meminta maaf, "Maaf, aku kemarin benar-benar mabuk... "

Melihat ekspresi bersalahnya, hati Belinda mendadak merasa tak tega menyalahkannya.

Ia menggigit bibir dan ragu selama beberapa saat, sebelum tiba-tiba tersenyum, "Hei, tidak apa-apa, ini hanya kecelakaan. Melihat ekspresi bersalahmu rasanya seperti kau habis membunuh dan membakar orang saja."

Belinda bangkit berdiri dan mengitari ranjang sambil mencari pakaiannya kembali. Lalu mengenakannya sambil berkata cuek, "Hal ini sudah aku lakukan banyak kali. Tidak buruk juga berganti rasa untuk sesekali. Ini juga bukan yang pertama, jadi kau tidak perlu merasa bersalah."

Belinda mengatakan hal itu sambil melemparkan pakaian Marco, menyuruhnya mengenakannya. Marco mengambilnya, namun tidak langsung mengenakannya. Ia menatap Belinda sambil berujar, "Tapi ini yang pertama buatku."

Belinda yang sedang mengancing baju pun terkejut mendengarnya. Ia menoleh dan menatapnya, "Apa maksudmu? Apa kau menyuruhku bertanggung jawab?"

"Tidak..." Marco menggeleng, dengan ragu berkata, "Maksudku adalah...kalau kau butuh, aku akan bertanggung jawab."

Belinda tertawa, "Tuan Qiao, kau segan sekali. Kalaupun aku butuh aku juga tak akan berani mencarimu."

“.......”

"Tenang saja, aku bukan orang yang seperti itu, aku tidak akan mengganggumu untuk meminta pertanggungjawaban." Demi menghapus kekhawatirannya, Belinda kembali berkata, "Lagipula, aku tidak suka ada pria dari wanita lain di hatiku, apalagi..." ia melirik sekilas kaki Marco, "Apalagi seorang pria cacat."

Mendengar hal ini, Marco sungguh lega.

Setelah selsai berpakaian, Belinda berkata pada Marco, "Kalau begitu, aku pergi dulu. Aku tidak bisa membantumu membereskan ruangan, kau sendiri ya."

"Baik."

Belinda menghentikan langkahnya dan menoleh, "Kuharap pikiranmu terbuka sedikit, maksudku tentang urusan Nona Bai."

Marco diam saja. Belinda berjalan keluar kamar. Ia melihat keadaan ruang tamu yang berantakan, lalu kembali melihat ke arah kamar. Ia akhirnya membereskan botol-botol anggur itu ke dalam kotak dan membawanya keluar.

Sampai di mobil, ia baru menghembuskan napas, lalu memukul-mukul kepalanya dengan geram. Dalam hati ia memaki: kue ini telah mengantarnya ke ranjang orang lain. Di seluruh dunia mungkin hanya dia yang sebodoh ini!

Kedua tangannya memegang kemudi. Memikirkan fakta bahwa keperawanannya hilang dalam keadaan seperti ini, serta diberikan kepada orang yang tidak dicintainya, ia merasa sangat depresi. Tentu saja, ia tidak bermaksud menyalahkan Marco. Bagaimanapun ia adalah penyandang cacat. Kalau saja dirinya kuat, ia juga tak akan sampai jatuh ke ranjang. Setelah dipikir-pikir tetap dirinyalah yang tidak baik. Sudah tidak seharusnya ia pergi menemani pria minum alkohol dengan bodohnya, apalagi sampai mabuk begitu.

Semakin memikirkannya, ia semakin kesal dan marah.

Kebetulan di saat itu ponselnya berbunyi. Ia buru-buru mengusap wajahnya dan mengambil ponsel dari dalam tas.

"Lama sekali tidak mengangkat telepon?" Terdengar suara Claudius yang tidak senang dari ujung telepon.

Belinda membersihkan tenggorokannya sebelum menjawab, "Barusan tidak mendengar suara ponsel. Ada apa Tuan?"

"Aku masih terjebak di hotel. Tolong antarkan 2 pasang baju, juga..."

Tanpa menunggunya selesai berbicara, Belinda segera berteriak marah, "Claudius! Aku bukan ibumu! Yang mengurusi semua keperluanmu sampai akhir!"

Claudius tertegun di ujung telepon. Sesaat ia terdiam hingga akhirnya bertanya dengan heran, "Belinda, apa kau salah minum obat?"

Belinda tercekat, ia melembutkan nada bicaranya, "Tidak. "

"Kalau begitu kau..."

"Aku sedang kesal, PMS, " katanya, "Pakaianmu dan Nona Bai kan? Aku akan segera mengantarnya, " katanya lalu langsung menutup telepon.

Karena suaranya sangat keras, Josephine yang berdiri di depan jendela pun dapat mendengarnya. Ia melihat ke arah Claudius yang memegang telepon dengan bingung, "Asisten Yan kenapa?"

"Tidak tahu. Katanya sedang PMS, kesal," sambil mengikat jubah mandinya, Claudius mendekati Josephine, lalu memeluknya dari belakang, "Kau sinting begini, apa kau juga sedang PMS?"

"Kau yang PMS," Josephine memelototinya, lalu melepaskan diri dari pelukan Claudius.

Tangannya memegang ponsel, ragu hendak menelepon Marco atau tidak. Ia bingung bagaimana menjelaskan ketidakpulangannya hingga kini.

Entah bagaimana Marco melewati keadaan semalam? Mungkin ia sedih sekali karena menunggunya di rumah sendirian!

Memikirkan perbuatannya dengan Claudius semalam, sementara Marco menunggunya di rumah sendirian, ia merasa amat bersalah.

-----

Kemampuan Asisten Yan dalam mengurus sesuatu memang sangat baik. Dalam waktu 20 menit ia sudah mengantarkan baju mereka.

Saat ia memasuki kamar, Josephine sedang berdiri di sisi ranjang dengan berbalut selimut, sementara Claudius mengenakan jubah mandi, ekspresinya segar sekali.

Belinda melihat keduanya. Ekspresinya kembali dipenuhi senyum sopan seperti biasanya, "Tuan Chen, ini baju yang Anda minta."

Claudius mengeluarkan baju itu dari dalam kantong dan menyerahkan baju perempuan untuk Josephine, "Cobalah sebentar cocok atau tidak."

Josephine yang telah menunggu sejak tadi pun langsung mengambilnya dan pergi ke kamar mandi. Ia memakainya secepat kilat. Baju itu masih baru, ukurannya pas.

Josephine keluar dari kamar mandi. Claudius mendekatinya dan mengamati pakaiannya, "Bagus, cukup pas."

"Terima kasih, Asisten Yan," ujar Josephine.

"Sama-sama, sudah seharusnya," ujar Belinda dengan senyum terpaksa.

Claudius menyadari sorot mata Belinda yang tak tenang. Ia pun bertanya, "Belinda, kau kenapa sebenarnya?"

Belinda menatapnya sekilas, lalu tersenyum sambil menggeleng, "Tidak apa-apa, tadi habis dimarahi oleh customer, jadi agak tak nyaman."

"Baik kalau begitu," kata Claudius sambil membawa bajunya ke kamar mandi.

Melihat Claudius sudah masuk kamar mandi, Josephine pun menoleh ke arah Belinda. Belinda juga menatapnya. Ia tersenyum kaku saat pandangan mata mereka bertemu.

Meskipun Josephine tidak mencintai Marco, tapi tetap saja ia adalah suaminya. Bercinta dengan suami orang lain adalah hal yang sangat canggung dan amoral. Hatinya merasa bersalah.

Josephine tidak menyadari pergumulan Belinda. Ia malah bertanya dengan suara pelan, "Asisten Yan, kemarin kudengar kau mengantarkan kue untuk Marco, apakah benar?"

"Benar," Belinda tak berani menatap mata Josephine.

Josephine bertanya lagi, "Lalu apakah kau bertemu Marco? Bagaimana keadaannya?"

"Dia..." Belinda tersenyum tipis, "Dia cukup baik."

Cukup baik, mana mungkin cukup baik!

Novel Terkait

The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
4 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
5 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
4 tahun yang lalu
Diamond Lover

Diamond Lover

Lena
Kejam
4 tahun yang lalu
Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
4 tahun yang lalu
This Isn't Love

This Isn't Love

Yuyu
Romantis
4 tahun yang lalu
The Campus Life of a Wealthy Son

The Campus Life of a Wealthy Son

Winston
Perkotaan
4 tahun yang lalu