Istri ke-7 - Bab 221 Berbagi Ranjang (3)

Marco berdehem, melihatnya sekilas, lalu tersenyum, "Josephine... Kau sudah pulang..."

"Aku bukan Josephine, aku Belinda," Belinda menegakkan tubuhnya, berusaha sekuat tenaga mengangkatnya dari lantai, namun tidak berhasil, "Tuan Qiao... Kau berat sekali..." gumamnya.

"Oh... Maaf... Aku lupa kalau kau lumpuh... " Belinda menggeleng-gelengkan kepala, lalu kembali berusaha menariknya sekuat tenaga.

"Aku bukan... Orang lumpuh... " Marco menggeleng sambil tersenyum bodoh, lalu memeluk Belinda, "Josephine, aku bukan orang lumpuh, aku juga bisa memberimu kebahagiaan...asal kau mau mencintaiku..."

"Tuan Qiao jangan begini..." Belinda berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Tidak mudah untuk akhirnya bisa mencapai kasur kamarnya. Kaki Belinda tersandung, keduanya pun terjatuh bergulingan ke atas kasur.

Marco menekannya keras di atas ranjang, ia berbisik di telinganya, "Josephine..."

Hati Belinda terasa kecut, ia berkata, "Josephine... Apakah dia benar-benar sebaik itu? Apa dia lebih baik dariku? Lebih cantik dariku?"

Marco menggigit lehernya. Seketika Belinda merasa tubuhnya lemas seperti tersengat listrik.

Ia mengulurkan kedua tangan dan memegang wajah tampan Marco, sorot matanya nanar, ia tersenyum menatapnya, "Katakan... Apa aku cantik? Apakah aku lebih buruk daripada orang lain?"

"Sama sekali tidak..." Marco juga memandangnya dengan tatapan nanar. Wajah cantik Belinda berkelebat di depan matanya. Ia mengedipkan kedua matanya, mencari-cari bibir merah Belinda dan menciumnya...

-----

Keesokan harinya, Josephine terbangun oleh perasaan yang tak biasa.

Lehernya gatal. Ia mengangkat tangannya, dan terkejut ketika melihat ada Claudius di sana. Ia langsung membuka kedua matanya.

Matanya menyapu pemandangan sekitar yang asing. Ini di hotel, tak salah lagi, ia masih berada di kamar suite hotel. Kejadian kemarin malam pelan-pelan memasuki otaknya. Ia dan Claudius bersama-sama makan kue milik Marco, mandi bersama, dan...

Ia memejamkan mata, tak tahan ingin mati saja rasanya.

Di saat itu ia bahkan tak berani menatap pria di pelukannya, namun kabur bukanlah cara yang baik, lagipula ia tidak bisa kabur.

"Sudah bangun?" Terdengar suara penuh sukacita milik Claudius di telinganya.

"Aku sedang bermimpi ya?" Josephine tetap memejamkan matanya.

"Tidak salah, ini adalah mimpi indah yang membuatmu tak ingin bangun," Claudius mencium bibirnya, "Tapi sekarang sudah jam 9, kau harus bangun dan menghadapi kenyataan."

Jam 9...!

Josephine bangkit dan duduk di ranjang, dia mengamati sekeliling, lalu meraih ponsel Claudius di atas meja. Benar, sudah jam 9 lebih.

"Kenapa kau tidak membangunkanku lebih awal?" protes Josephine.

"Aku melihat tidurmu sangat nyenyak, jadi tak tega untuk membangunkanmu," Claudius juga bangun dari kasur. Josephine buru-buru meraih selimut dan membungkus dadanya. Ia memelototi Claudius dengan galak, "Singkirkan pandanganmu, dilarang melihat!"

"Kau yakin mau bersikap berlebihan begini?" Claudius meraba-raba punggung Josephine, "Bagian yang belum cukup kulihat kemarin malam, aku barusan melihatnya lagi."

"Kau..." Josephine tak bisa berkata-kata lagi. Mukanya memerah.

Josephine memandang sekeliling. Ia tak menemukan pakaiannya. Ia baru teringat kalau pakaiannya basah di kamar mandi dan ia lupa menjemurnya.

"Pakaianku... "

"Masih terendam di kamar mandi."

Josephine langsung pening, ia menatap Claudius, "Lalu bagaimana?"

"Kalaupun kau punya baju kau juga tak bisa keluar," Claudius kembali menindih badannya. Ia menciuminya sambil berkata, "Jangan cemas, aku akan memanggil orang untuk mengantarkan baju."

"Kalau begitu panggillah," Josephine memalingkan wajah untuk menghindari ciumannya.

"Tadi aku sudah menelepon Asisten Yan, tapi tidak diangkat," Claudius mengejar bibirnya, dan menciumnya dalam-dalam, memberinya ciuman selamat pagi yang panas.

Josephine menarik napas, ia sama sekali tak bisa menghindar dari ciumannya, juga tak bisa menghindar dari tubuh Claudius yang kekar. Ia hanya bisa pasrah.

Mengetahui Josephine mau berkompromi dengannya, Claudius tersenyum puas. Tangannya menggerayangi tubuh Josephine, memancing dirinya.

Namun Josephine menyingkirkan tangan Claudius sambil memohon, "Claudius, kita tidak boleh begini..."

Claudius pun menghentikan aktivitasnya dan memandangnya, "Kau masih ingin kembali ke sisi pria itu?"

"Ya, bisakah kau mengaturnya untukku?"

"Josephine, bisakah kau tidak keras kepala?" tanya Claudius sedikit marah.

Josephine juga marah, "Claudius, bisakah kau jangan selugu itu? Kau kira sekali bercinta langsung bisa mengikatku di sisimu? Sudah kubilang, aku punya pemikiranku sendiri, pilihanku sendiri. Kau harus menghormatiku!"

"Kemarin kau jelas-jelas mencintaiku, dan mau menurutiku."

"Kemarin aku mabuk!"

“......”

Keduanya saling melotot, tak berbicara lagi.

Setelah agak lama, Claudius akhirnya menyerah duluan. Ia melepaskan pelukannya dan mencium kening Josephine, "Baiklah, jangan marah. Aku tahu apa yang kau pikirkan dan rasakan. Tapi satu yang jelas, kita saling mencintai, saling rindu. Kau lihat, aku bahkan menjaga tubuhku tetap bersih selama 2 tahun ini. Hasratku susah dihindari... Maaf."

Josephine mendongak menatapnya. Wajahnya penuh ketidakpercayaan, "Kau berbohong. Kau menikah dengan Juju selama 2 tahun... masih bisa bilang menjaga tubuhmu tetap bersih? Dan lagi kulihat kemarin malam kau tidak tampak seperti telah berpuasa selama 2 tahun lebih."

"Siapa bilang kalau sudah lama tak melakukannya ......? Hehe..." Ia terkekeh, lalu mengoreksi, "Sudah kubilang, aku menikah dengan Juju atas paksaan Nenek. Aku juga sudah berjanji dengan Juju saat menikah, bahwa aku akan memberinya status dan kedudukan, namun jiwa dan ragaku tetap milikmu. Tanyakan padanya kalau tidak percaya."

"Tidak akan!" Untuk apa bertanya pada Juju tentang hal ini? Apa dia tidak cukup tersakiti olehnya?

Claudius tertawa. Sebenarnya ia bisa merasakan kalau Josephine juga menjaga tubuhnya demi Claudius. Kemarin saat ia memasukinya, rasanya tidak hanya lebih sensitif, tapi juga lebih kencang.

Sepertinya Marco memang tidak memiliki kemampuan itu. Menyadari hal itu, hatinya pun jadi senang.

"Apa yang sedang kau pikirkan? Apa kau diam-diam tersentuh?" tamya Claudius di telinganya.

Josephine kembali tersadar. Ada semacam rasa tak nyaman dalam hatinya. Ia memalingkan wajah, "Tidak."

Kemudian ia teringat sesuatu dan memandangnya, "Jadi kapan kau akan mengusir orang-orang di luar itu?"

"Aku sudah menelepon pihak hotel untuk mengurusnya," kata Claudius.

Meskipun ia tak rela meninggalkan kamar ini, tapi ia harus menelepon pihak hotel. Bagaimanapun ini bukan waktunya untuk memikatnya terus menerus. Ia juga punya urusan untuk diselesaikan. Lagipula Josephine juga tak akan mau menemaninya di sini.

"Lalu bagaimana dengan bajuku? Kapan diantar?"

"Akan kutanyakan lagi," Claudius bersandar di sandaran ranjang sambil memeluk Josephine dan mencium keningnya, "Boleh, kan, kalau aku memelukmu lagi?"

Ia sudah mengatakan semua hal yang menyentuh itu, mana mungkin Josephine berani menolaknya? Ia hanya bisa membiarkannya memeluknya.

Bagaimanapun ia tak akan pernah mengakui kalau sebenarnya ia juga merasa terlena akan pelukannya.

Josephine menyuruhnya agar cepat menelepon.

Claudius kembali menghubungi nomor Asisten Yan di depan matanya. Nomornya tersambung, tapi tak ada yang mengangkat. Claudius pun mengendikkan bahunya pada Josephine.

"Tidak bisakah mencari orang lain?"

"Bukannya tak bisa, hanya saja..." Claudius tertawa, "Aku tidak peduli kalau dilihat orang lain dalam kondisi begini, tapi kau?"

Josephine memalingkan wajah dan tak berbicara lagi.

Mana mungkin ia tak peduli. Sepertinya memang hanya bisa menunggu Asisten Yan. Bagaimanapun hanya dia yang mengetahui identitasnya.

-----

Sementara itu, Belinda mendengar ponselnya berdering, namun ia tak kunjung menemukannya. Ia meraba-raba, tapi malah merasakan sebuah tubuh besar dan hangat.

Ia membuka mata dengan heran. Saat ia melihat wajah tampan di hadapannya, ia pun spontan berteriak kaget. Tubuhnya melompat ke belakang. Bruk! Ia terjatuh dari atas ranjang.

Dia mengerang dan segera merangkak bangkit, dengan was-was melihat ke atas ranjang.

Pikirannya seketika kosong.

Apa yang dia lihat? Marco sedang berbaring di atas ranjang tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Tidak salah, tanpa sehelai benang pun.

Ia menunduk melihat dirinya, sama!

Belinda memukul-mukul kepalanya sambil mengingat-ingat kejadian semalam. Ia tak ingat bagaimana dirinya bisa berada di atas ranjang Marco. Kalau begitu apa yang terjadi semalam? Apa yang mereka lakukan dalam keadaan telanjang?

Ia memejamkan mata dan merasakan badannya, tubuh bagian bawahnya terasa sedikit sakit, membuatnya mau tak mau mengakui bahwa ia dan Marco tidak hanya berbaring telanjang di atas kasur begitu saja!

Tidak mudah untuk kembali sadar. Begitu mendongak, ia mendapati kalau Marco sudah bangun juga. Ia memandang Belinda dengan tatapan kaget.

Mereka jelas-jelas baru bertemu beberapa kali, dan tiba-tiba terbangun di atas satu ranjang yang sama dalam keadaan telanjang. Aneh kalau tidak kaget!

"Bukankah kau lumpuh setengah badan?" Belinda menatapnya sambil berkata pahit, "Kau bohong ya?"

Novel Terkait

Mi Amor

Mi Amor

Takashi
CEO
5 tahun yang lalu
Adore You

Adore You

Elina
Percintaan
4 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu