Istri ke-7 - Bab 155 Ulang Tahun (2)

"Claudius, lihat sketsaku, bagus tidak?" Josephine menunjukkan layar di hadapan Claudius dengan ekspresi bangga, "Manajer Huang memujiku di rapat hari ini."

Claudius memejamkan mata sambil memeluk erat tubuh Josephine, "Aku sudah lihat, bagus."

"Kau sudah lihat? Kapan?"

"Saat rapat tadi."

"Benarkah? Kau sungguh merasa ini bagus?" tanya Josephine dengan wajah antusias.

"Ng," Claudius menyingkirkan layarnya ke kepala ranjang, "Cepat tidur, besok kita harus bangun pagi ke bandara."

Namun Josephine mengambilnya kembali dan memaksa Claudius untuk melihat sketsanya, "Kau pasti belum melihatnya. Katakan padaku, bagian mana yang paling kau suka?"

Melihatnya sekeras kepala ini, Claudius pun membuka mata dan melihat layar, lalu menunjuk salah satu tempat, "Aku suka taman gantung ini, sangat asri."

"Benarkah? Aku juga suka," Josephine tersenyum riang, "Tempat ini disinari matahari saat pagi, sangat nyaman untuk berbaring, berjemur, atau membaca buku."

"Kalau suka aku akan menyisakan 1 kamar untukmu."

"Tidak perlu lah, aku juga tak butuh kamar sebanyak itu," Josephine menegakkan tubuh dan menatapnya, "Maksudmu, kau akan memakai desainku?"

"Desain dari istri CEO tentu saja akan menjadi pilihan utama untuk dipertimbangkan."

"Sungguhan? Bukannya kau bilang tak akan memberiku hak khusus?"

"Tentu saja bohong. Ini adalah rumah komersial, tidak bisa dibuat hanya dengan berdasarkan seleramu. Kita harus memperhatikan keadaan di lapangan dan luas ruangan yang harus dipakai. Inilah yang diperhatikan oleh pelanggan. Kau mendesain taman gantung seluas ini, bukankah boros tempat?" Claudius mengecupnya di bibir, "Jadi, di rapat tadi, aku langsung mengeliminasi sketsamu, lalu memaki Manajer Huang."

"Hah? Kau memakinya?"

"Ya."

"Memakinya apa?"

"Memakinya agar jangan lagi membawa sketsa seburuk ini ke hadapanku, lalu aku bertanya siapa yang mempekerjakan pegawai dengan kualitas seburuk ini. Dan tiba-tiba aku melihat namamu di bawah."

Tawa Josephine meledak, "Lalu? Wajahmu jadi semerah ini?"

"Begitulah, pokoknya kau membuatku benar-benar kehilangan muka."

Josephine tertawa terbahak-bahak, lalu bertanya lagi, "Eh, apakah benar-benar seburuk itu?"

"Ya."

"Mengesalkan."

"Kau ini mau tidur atau tidak? Kalau tidak, kita lakukan sesuatu yang bermakna sedikit," kata Claudius sambil memasukkan tangannya dari bawah baju Josephine, meremas dadanya.

Josephine segera meronta sambil tertawa, "Aku tidur, aku tidur."

Ia baru saja dihancurkan oleh Claudius, namun sekarang ia menginginkannya? Claudius tahan, tapi ia tak tahan.

Josephine melepaskannya, lalu mendesah dalam pelukan Claudius, "Sungguh ingin tinggal di rumah rancangan sendiri, rasanya pasti luar biasa."

"Itu bukan hal sulit. Desainlah sebuah vila, nanti aku dan anak kita akan tinggal bersamamu di sana."

"Sungguh? Kalau begitu aku harus menunjukkan bakat luar biasaku untuk mendesainnya."

"Kau punya bakat luar biasa?"

"Tentu."

Josephine tersenyum manis.

Keesokan paginya, Josephine pun naik pesawat bersama Claudius ke bandara Paris Charles de Gaulle.

Penerbangan selama belasan jam membuatnya lelah, namun karena kehadiran Claudius, Josephine tidak merasa kesulitan melewatinya.

Sesampainya di Paris, keduanya langsung menuju hotel untuk beristirahat dan melepas jetlag. Setelah itu, mereka berjalan-jalan dan makan di sekitar sana.

Ini pertama kalinya Josephine pergi ke Prancis. Ia memfoto setiap sudut jalan.

Siang harinya, Claudius harus pergi mengurus bisnis. Ia mencarikan Josephine seorang pemandu wisata keturunan Asia. Josephine berjalan-jalan sepanjang siang.

Malam hari, selepas perjamuan, Claudius kembali ke hotel. Ia melihat hasil belanjaan Josephine memenuhi meja.

Claudius mendekati Josephine, lalu memeluk pinggang istrinya tu dan mencium lehernya, "Apa ada bagianku?"

"Tidak ada."

"Barang sebanyak ini tidak ada bagianku?"

"Banyak, kah? Di kantor banyak sekali temanku, belum lagi Susi dan Angie, serta anak-anak."

"Sayang," Claudius memotong kata-kata Josephine, tak tahu harus berbuat apa, "Kita ke sini untuk berlibur, bukan menjadi agen belanja."

"Iya, memang, kita ke sini untuk berlibur, tapi apakah dengan berlibur alu tak perlu membelikan oleh-oleh untuk sanak saudara?" Josephine menoleh dan mengecup bibir Claudius, "Kenapa? Tak suka karena tak ada bagianmu?"

"Tentu saja. Di hatimu, bahkan aku tidak sepenting teman-temanmu, apa aku bisa senang?"

"Dasar pelit," Josephine mengecup bibirnya sekali lagi, lalu mengambil sebuah tas belanja dari sebelah sofa dan menyerahkannya di hadapan Claudius, "Mana aku berani tidak membelikanmu hadiah setelah menggunakan kartumu? Bukankah aku bisa mati?"

"Ini boleh juga," Claudius mengambil tas itu dari tangan Josephine, lalu mengeluarkan sebuah kotak perhiasan dari dalamnya, ternyata isinya adalah aksesoris manset platinum berhiaskan berlian hitam. Claudius mengamat-amatinya.

Josephine bertanya dengan penuh penantian, "Bagaimana? Suka?"

"Hadiah pilihan istri, tentu saja suka," Desain aksesoris manset pria dari dulu juga begitu-begitu saja, ia tidak pernah cerewet.

"Manis sekali kata-katamu."

"Iyakah? Lebih manis kalau kau cicipi," Claudius pun menunduk mengecup bibirnya, membiarkan napasnya merasuk ke dalam mulut Josephine

Josephine melepaskan ciumannya sambil berkata, "Di dalamnya masih ada lagi, cepat lihat."

"Masih ada?" Claudius mengeluarkan kotak yang lain. Isinya adalah sebuah dasi dengan motif unik.

"Lihat, bukankah motifnya cantik sekali? Aku langsung suka begitu melihatnya. Aku merasa ini sangat cocok untukmu, dan ternyata benar."

Claudius menunduk mengamati dasi itu, lalu tertawa, "Sayang, apa benar-benar bagus untuk mendandani suamimu setampan ini?"

"Kau sudah tampan dari awal, jadi tidak masalah kalau menambahkan sedikit aksesoris."

"Tidak khawatir kalau nanti aku direbut wanita lain?"

"Bisakah?" Josephine memelototinya.

"Belum tentu juga."

"Kalau memang kau begitu mudah direbut wanita lain, aku bisa apa?" Josephine mengendikkan pundak, "Kalau kau diambil mereka, aku masih punya kesempatan untuk mencari pria lain, yang lebih baik emosinya, lebih lembut, dan lebih ramah."

"Apa yang kau katakan?" Wajah Claudius mendung, ia menekan tubuh Josephine ke atas sofa, memelototinya, "Katakan sekali lagi?"

Josephine dibuat tertawa oleh tingkah Claudius, "Aku bilang emosi suamiku sangat bagus, lembut, dan ramah. Kalaupun aku kehilangan nyawa aku tak akan rela dia direbut wanita lain!"

Walaupun Claudius tahu yang Josephine katakan adalah kebalikannya, tapi ia tetap melepaskan wanita itu dengan puas, "Boleh juga."

Josephine meronta bangkit dari sofa, ia memutar bola matanya, "Claudius apa kau tidak malu?"

Claudius tertawa cuek, "Tidak peduli emosiku bagus atau tidak, lembut atau tidak, ramah atau tidak, aku adalah suamimu. Ini adalah fakta yang tidak bisa diubah siapapun selain aku."

"Bagaimana kau bisa sepercaya diri ini!"

"Dari lahir sudah begitu," Claudius bangkit dari sofa, "Sudah, bereskan mejamu, kuajak kau makan di restoran Prancis yang sebenarnya."

"Oke, kebetulan aku sudah lapar!" Josephine membereskan barang-barang secepat kilat, lalu mengikuti Claudius pergi meninggalkan hotel.

Melihat Claudius tampak sangat mengenal tempat ini, Josephine pun bertanya, "Apa kau sering ke sini?"

"Tidak juga, hanya dua kali."

"Mengapa aku merasa kau seperti sudah sangat mengenal tempat ini?"

"Aku melihat peta sebelum keluar. Apa gurumu tidak pernah mengajarimu?"

"Tidak sama sekali," Josephine tertawa sambil menggamit lengan Claudius. Keduanya berjalan di bawah gemerlap lampu neon di sepanjang jalan, menghirup udara segar di negeri asing, sungguh bahagia.

Namun, tak tahu mengapa, Josephine seperti merasa ada yang mengikutinya dari belakang. Ketika ia menoleh, yang dilihatnya selalu saja bule-bule yang sedang sibuk berlalu lalang. Mereka semua sedang sibuk dengan urusan masing-masing, tidak ada yang sedang melihatnya.

Perasaan ini sudah muncul sejak siang tadi. Mungkinkah ini gara-gara jetlag, sehingga memunculkan ilusi?

Ia menggeleng-gelengkan kepala, mungkin benar begitu, siapa yang bisa mengikutinya di tempat asing seperti ini?

Claudius mendapati Josephine yang sebentar-sebentar melihat ke belakang. Ia pun ikut menoleh ke belakang, matanya tertuju pada seorang pemuda berambut pirang. Wajahnya pun seketika menunjukkan ketidaksenangan, "Apa dia lebih tampan dari pada aku?"

"Siapa?" tanya Josephine bingung.

"Tidak usah berpura-pura bodoh, jangan kira aku tak tahu kau sedang lihat apa," Claudius menggigit telinganya, "malam nanti aku akan membereskanmu."

Josephine menoleh. Ia juga melihat pemuda itu. Jujur, ia tidak setampan Claudius, namun perawakannya sangat menarik.

Novel Terkait

Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
3 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
4 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Mr. Ceo's Woman

Mr. Ceo's Woman

Rebecca Wang
Percintaan
3 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Hello! My 100 Days Wife

Hello! My 100 Days Wife

Gwen
Pernikahan
3 tahun yang lalu
The Campus Life of a Wealthy Son

The Campus Life of a Wealthy Son

Winston
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Summer
Romantis
4 tahun yang lalu