Istri ke-7 - Bab 126 Rencana Liburan (4)

Saat makan, nenek tiba-tiba bertanya sudah sampai mana persiapan rencana liburannya.

Semuanya pun terdiam, mereka saling bertatapan satu sama lain, Joshua pun bertanya, "Sebenarnya siapa penanggung jawab liburan ini?"

"Yang mengusulkan yang tanggung jawab," kata nenek memandang semua orang, "Kenapa, kalian mau aku yang membawa kalian jalan-jalan?"

"Nek, aku yang mengusulkan, tapi aku kira kakak dan kakak ipar yang akan bertanggung jawab," kata Sally sambil memandang Claudius dan Shella, lalu tersenyum dan berkata, "Kakak sibuk kerja, sudahlah, aku saja yang bertanggung jawab."

Shella memiringkan kepala melihat Claudius, ia segera menimpali, "Claudius sibuk karena pekerjaannya, tapi aku tidak sibuk, aku saja yang bertanggung jawab."

Sally awalnya hanya berbasa-basi menawarkan diri, tak disangka Shella berkata seperti itu, ia pun tersenyum. "Aku pernah ke sana, aku sudah mengenal tempatnya, sebenarnya tidak ada yang perlu dipersiapkan."

"Tiket, rute, pesan makan, pesan hotel... Dan banyak lagi yang harus disiapkan, aku seharian tak ada kerjaan, kebetulan bisa memberikan sedikit kesibukan untukku," kata Shella lalu menghadap Claudius dan berkata sambil tersenyum, "Claudius, bukankah Perusahaan Besar Chen juga ada kantor di Bogor? Seharusnya tidak sulit kan mencarikan aku seorang asisten yang mengenal Kota Bogor?"

"Gampang, nanti aku carikan," ujar Claudius sambil tersenyum kecil.

Dengan kata-kata Claudius itu, Sally pun tidak berkata apa-apa lagi, dan Shella juga menjadi lebih tenang.

Tak peduli apa yang direncanakan Sally dalam perjalanan ini, kalau Shella yang mengatur jadwal perjalanannya, kesempatan Sally menjalankan rencana busuknya akan berkurang.

Sebelumnya ia selalu berpikir perjalanan ini akan diatur oleh Pengurus He, karena masalah kecil maupun besar dalam keluarga Chen, semuanya ia yang menyelesaikan, kalau tidak Shella dari awal akan memonopoli tanggung jawab ini.

Sekembalinya ia ke kamar, Shella segera memberitahukan berita ini pada Fransiska, lalu ia berkata geram, "Bu, dalam kesempatan sebagus ini tolong bantu aku menyusun rencana, aku mau membunuh Sally yang rendahan itu."

"Membunuhnya?" Tanya Fransiska terkejut.

Sebelumnya saat menyuruhnya menyekap seorang bayi hingga mati ia sudah kaget sampai kakinya lemas, apalagi membunuh orang dewasa.

Shella mengangguk. "Ya, benar."

"Shella, lupakan saja, membunuh orang itu juga harus diganti dengan nyawa, kalau belum tiba saat yang tepat kita jangan sembarang bergerak, sungguh tak sepadan kita mati demi membunuh seorang wanita rendahan begitu," ucapnya. Bagaimanapun membunuh itu bukan hal kecil, butuh rencana panjang, Fransiska sementara ini tak bisa menyanggupinya.

Tetapi Shella terus berkata, "Bu, sekarang ialah yang ingin membunuhku, entah apa yang ia rencanakan untuk menjebakku dalam perjalanan kali ini, jadi aku harus membunuhnya sebelum ia beraksi."

"Tapi..."

"Sebelumnya masalah anak itu aku dengan susah payah melewati bahaya, namun bagaimanapun aku kabur, ia tetap tak akan melepaskanku, kalau ada dia, jangan harap aku bisa hidup dengan tenang di rumah ini."

Merasa bahwa Shella mulai naik darah, Fransiska pun menenangkannya, "Shella, jangan khawatir, ibu akan memikirkan cara untukmu."

"Aku kali ini ingin begini, di sana ada pantai bukan? Aku akan menenggelamkannya, atau membakarnya... Pokoknya tak boleh membiarkannya kembali hidup-hidup!"

"Aku mengerti, aku akan memikirkan baik-baik caranya," ujar Fransiska memnenangkannya, "Kali ini kau hanya harus memanfaatkan segala kesempatan untuk menjaga hubunganmu dengan Claudius, masalah lainnya tak perlu kau pedulikan, serahkan segalanya pada ibu."

"Baik, aku pasti akan hati-hati."

"Bagus, kau tenang saja, besok akan ibu berikan rencana liburannya padamu."

Setelah menutup telepon, Shella pun merasa jauh lebih tenang, ia yang selalu menakutkan perjalanan ini, bahkan mulai menanti-nantikannya.

*****

Hari liburan telah tiba, Josephine berdandan dengan sepenuh hati, bahkan ia menggunakan parfum yang diberikan Vincent dulu, yang juga merupakan parfum kesukaannya.

Meskipun ia tak suka berdandan seperti ini, namun demi melewati liburan dengan lancar, ia terpaksa berdandan yang lumayan heboh.

Melihatnya di cermin, Vincent berkata pasrah, "Aku lebih menyukaimu yang dulu."

"Aku juga lebih menyukai diriku yang dulu," kata Josephine tertawa pahit, ia suka dirinya sebelum bertemu Vincent, saat itu meskipun hidupnya susah, namun ia melewatinya dengan santai dan bahagia.

Vincent berjalan ke belakang tubuhnya, lalu memeluk dan mencium rambutnya dari belakang. "Karena sudah begini, setelah menikah mari kita tinggalkan Jakarta, bagaimana? Kita tak perlu pergi terlalu jauh, asalkan kita bisa sampai ke tempat di mana kita tidak akan bertemu Claudius di setiap sudut jalan."

Josephine melihat pantulan Vincent di cermin, ia begitu bersungguh-sungguh, begitu tulus.

Kalau saja ia belum pernah dikhianati olehnya, ia pasti akan terharu hingga menitikkan air mata, tetapi...

Ia menenangkan hatinya, lalu tersenyum kecil. "Boleh."

Meskipun dalam hatinya sudah lama tak ada perasaan terhadap Vincent, namun bagaimanapun Josephine sudah menyetujui untuk menikahinya, menetapkan untuk bersama dengannya seumur hidup, kalau begitu ia harus melaluinya baik-baik.

Lagipula akhir-akhir ini Vincent sangat hebat, Josephine tak punya alasan untuk tidak melepaskan noda di masa lalunya itu, yang dikatakan Vincent itu benar, siapa yang tak pernah melakukan kesalahan, kalau ia tahu salah dan bisa mengubahnya, bukankah pantas untuk memaafkannya?

"Yuk, kita berangkat," ujar Vincent sambil menarik tangannya, lalu bersama-sama keluar dari kamar.

"Kakak, kakak ipar, apakah kalian yakin tidak mau mengajakku?" Tanya Justin dengan wajah memelas memandang kedua orang yang keluar dari kamar itu.

Rose mengangkat tangannya dan mengelus lembut kepala anaknya itu, "Bukannya barusan kita sudah membicarakan ini? Ini adalah rencana liburan orang lain, kau tidak boleh pergi, anak pintar, ibu akan membawamu ke taman bermain."

"Baiklah, dadah kakak dan kakak ipar," ujar Justin sambil terpaksa mengangguk dengan enggan.

Josephine berjalan ke arahnya lalu meremas bahu Justin dan menasehatinya, "Beberapa hari ini kakak tidak di rumah, kau harus pintar-pintar minum obat, dan harus menuruti kata-kata ibu, mengerti?"

"Aku mengerti, dasar cerewet."

"Hei, bisa-bisanya bilang aku cerewet," kata Josephine lalu menepuk kepala Justin, "Awas saja, kakak tidak akan memberimu oleh-oleh."

"Kakak ipar akan membelikanku oleh-oleh, benar kan?"

"Benar, asalkan kau pintar dan menurut," kata Vincent mengelus kepala Justin, lalu bangkit dan berkata pada Josephine, "Yuk, kita berangkat."

Josephine dan Vincent turun bersama, mobil perusahaan keluarga Lee sudah menunggu di bawah, Josephine menghirup napas pendek, baru melangkah masuk ke mobil.

Novel Terkait

Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Summer
Romantis
5 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
5 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
5 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
5 tahun yang lalu
Kembali Dari Kematian

Kembali Dari Kematian

Yeon Kyeong
Terlahir Kembali
4 tahun yang lalu
Cinta Dan Rahasia

Cinta Dan Rahasia

Jesslyn
Kesayangan
5 tahun yang lalu