Istri ke-7 - Bab 194 Dari Jari Sampai ke Hati (2)

Marco menggenggam erat tangan Josephine, ekspresi wajahnya berubah lembut. "Di mana Jesslyn?"

"Dia di kamar Paman."

Saat itu, seorang pelayan tiba-tiba masuk ke kamar Nyonya Qiao dan berkata, "Nyonya, Nona Besar telah datang."

"Benarkah? Secepat itu?" Wajah Nyonya Qiao semringah ketika mendengar Susi telah datang. Ia akhirnya tersenyum.

Dengan cepat, Susi masuk ke ruangan. Ia mengamati keadaan sekeliling, berjalan menuju Nyonya Qiao dan menyapanya hangat. Nyonya Qiao tersenyum, "Kau tidak pernah pulang bertahun-tahun ini, apakah kamu tidak mau rumah ini?"

"Bu, rumah ini ada kamu yang mengurusnya, jadi biarkan aku berkelana untuk beberapa tahun hehe..." Susi dan Nyonya Qiao tertawa bersama. Ia melihat ke arah Marco dan Josephine, lalu tersenyum juga kepada mereka, "Marco , lama tak jumpa."

"Kakak ipar," sapa Marco , lalu memperkenalkannya pada Jospehine, "Jessie, kenalkan, ini kakak iparku, Susi."

"Halo, Kak Susi," sapa Josephine dengan sopan. Susi mengalihkan pandangannya ke arah Josephine. Keduanya pun saling bertatapan.

Susi mengamati Josephine, setelah beberapa saat ia baru kembali tersenyum, "Halo, aku sering mendengar tentangmu dari Marco , juga putri kecil kalian, ehmm...siapa namanya?"

Susi tak dapat mengingatnya. Josephine pun menjawab, "Jesslyn."

"Ah, benar, Jesslyn. Di mana dia? Apakah dia ikut kemari?"

"Bibi, aku di sini," tiba-tiba terdengar suara anak-anak dari tangga lantai dua.

Semua orang mendongak, mereka melihat Henry sedang menggandeng Jesslyn menuruni tangga.

Susi bangkit dari sofa dan mendatangi mereka, lalu berjongkok di depan Jesslyn, "Jesslyn, ya? Kamu menggemaskan sekali, cantik seperti ibumu."

"Terima kasih, bibi juga cantik," puji Jesslyn. Pamannya tadi sudah berpesan agar Jesslyn bersikap sopan dan memujinya saat bertemu bibi.

"Pintar sekali kamu, siapa yang mengajarimu?" Susi tertawa sambil membelai rambutnya.

"Paman yang mengajariku," jawab Jesslyn.

Susi tidak mendongak menatap Henry, melainkan langsung berdiri dan menggandeng Jesslyn, "Sini, Bibi punya hadiah untukmu."

Henry berdehem untuk menarik perhatian mereka, namun sayang Susi tetap saja tidak menengoknya, melainkan langsung menuju ke lantai dua bersama Jesslyn.

Henry pun kesal, ia mengikuti mereka berdua ke lantai dua.

Di salah satu sudut lorong, ia menarik pergelangan tangan Susi dan merangkulnya dalam lengannya. Tubuhnya menghimpitnya erat, "Sudah setahun kamu pergi, dan kamu bahkan tidak menyapaku saat pulang. Kamu menganggapku apa?"

Susi memberontak dalam pelukannya, lalu balik menatapnya sambil tertawa dingin, "Apa kamu tak tahu? Aku menganggapmu sebagai udara."

"Udara? Susi kuingatkan kamu, kamu bisa kekurangan apa saja, tapi kamu tidak bisa kekurangan aku, sang udara ini. Kamu lebih baik menahan dirimu sedikit, kalau sampai kamu berani pergi lagi..."

"Penerbangan jam 8 besok pagi, kamu tak perlu antar."

"Kalau begitu juga harus lihat apakah kamu akan bangun besok pagi!" ucap Henry murka. Ia mencium bibirnya lalu menahannya ke tembok.

Ciumannya begitu panas namun dingin, membawa aroma pembalasan dendam, tentu saja juga mengandung...kerinduan.

Susi tak dapat bergerak dibuatnya. Mulutnya penuh dengan aroma yang familiar sekaligus asing. Sungguh sudah terlalu lama mereka tidak berjumpa. Pertemuan mereka yang terakhir adalah tepat setahun yang lalu. Dia bahkan hampir lupa rasanya. Ia tidaklah membenci aroma Henry, tapi tiap kali berhubungan dengannya, ada rasa penolakan di dalam hatinya.

Kali ini pun sama. Henry mengejar, Susi melarikan diri. Mereka benar-benar memainkan perang kata-kata.

"Ah..." Jesslyn menutupi kedua matanya dengan tangan, "Paman dan Bibi malu..."

"Dengar tidak, tidak pantas dilihat anak-anak!" Susi mendorongnya.

"Cihh..." Henry mencibir, tubuhnya spontan mundur. ia mengerutkan alis sambil memegang Susi, "Kamu cari mati?"

"Demi penerbanganku besok," Susi menarik Jesslyn masuk ke kamar.

***

Setelah makan siang, Susi menemani Nyonya Qiao minum teh di ruang tamu, setelah itu naik ke atas.

Ia tidak langsung kembali ke kamarnya, melainkan berdiri di depan kamar Marco dan mengetuk pintu.

Saat masuk, ia hanya melihat Josephine di sana. Melihat Susi, Josephine pun segera bangkit dari kursi dan menyapanya, "Kakak Ipar."

Susi tersenyum, lalu mengamati sekitar, "Di mana Marco dan Jesslyn?"

"Kakak mengajaknya ke ruang baca, dan Jesslyn bersikeras ikut dengannya," Josephine menunjuk ke sebelahnya, "Silakan duduk."

Josephine belum pernah bertemu dengan Susi selama 2 tahun ini. Ia hanya mendengar dari Marco bahwa hubungannya dengan Henry tidak terlalu baik, sehingga belakangan ini ia tinggal dan bekerja di luar negeri. Awalnya Josephine mengira akan susah berhubungan dengan Susi, tapi hari ini ia sadar dirinya telah salah kira. Susi benar-benar orang yang ramah.

Susi mengamatinya selama beberapa saat, lalu berkata, "Kita tidak pernah bertemu kan sebelumnya?"

"Tidak," Josephine menggeleng.

"Seingatku juga tidak, tapi mengapa saat pertama kali melihatmu aku merasa familiar?" ujar Susi sambil kembali mengamatinya.

Josephine tertawa, "Sebenarnya, aku juga merasa begitu."

"Aneh," kata Susi heran.

Perasaan ini terus mengikutinya seharian ini, membuatnya datang ke kamar Josephine untuk menyelidiki kebenarannya.

"Atau mungkin kita pernah bertemu di luar negeri dulu," kata Josephine. Ia berpikir, selama bertahun-tahun tinggal di luar negeri tidaklah mengherankan kalau ia pernah bertemu dengan kakak iparnya.

Namun Susi tidak setuju. Marco tidak pernah bercerita bahwa ia memiliki istri dan anak di luar negeri, bahkan Henry pun tidak tahu. Sampai ia pulang ke Indonesia hari ini, ia baru mendengar hal ini dari Nyonya Qiao, dan itu membuatnya terkejut.

Ia selalu mengira kalau Marco belum berkeluarga, sehingga sempat ingin menjodohkannya dengan Josephine.

Memikirkan Josephine, Susi tiba-tiba menepuk meja, "Aku tahu kenapa aku merasa sangat familiar, kau mirip sekali dengan sahabatku."

"Benarkah? Sangat mirip?"

"Bentuk tubuh, ekspresi, cara bicara...bahkan sifatmu pun sangat mirip," Susi menegakkan tubuhnya. Saat ia ingin melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara Marco dari luar pintu, "Kakak Ipar."

Susi menghentikan ucapannya dan menoleh.

"Kakak Ipar, kami bersiap pulang," Marco melirik Josephine, matanya jelas menyorotkan kecemasan.

"Oh iya, kami mau pulang, lain kali kita lanjutkan lagi ya," Josephine ikut berdiri, lalu berjalan ke sisi Marco.

Susi mengangguk, "Baik kalau begitu, kalian pulanglah dulu."

Setelah berpamitan dengan Nyonya Qiao, mereka pun kembali ke kediaman mereka.

Di dalam mobil, Josephine bertanya, "Bukannya katamu sore baru mau pulang? Mengapa buru-buru sekali?"

Marco tersenyum tipis, "Sudah terlalu lama aku tidak tinggal di sana, tidak terbiasa. Setelah kupikir-pikir kita pulang dan beristirahat lebih awal saja."

Ia tidak tahu kalau Susi akan pulang. Kalau ia tahu, ia tidak akan membawa Josephine dan Jesslyn apapun yang terjadi. Saat melihat mereka berdua mengobrol barusan, hatinya langsung berkata pulang saja.

"Apa yang dikatakan Kakak Ipar padamu?"

"Dia bilang aku sangat mirip dengan salah satu sahabatnya," kata Josephine.

Marco langsung cemas, "Lalu apa kau mengatakan tentang amnesiamu padanya?"

Josephine menggeleng, ia menggenggam tangan Marco, "Bukankah kau sudah bilang padaku, jangan membahas hal itu dengan sembarang orang? jadi aku tidak akan mengatakannya."

"Ng," Marco mengangguk sambil diam-diam menghembuskan napas lega, "Karena aku tak ingin orang lain memandangmu berbeda."

"Aku mengerti," Josephine menggamit lengannya, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Marco, "Marco , sebetulnya kau tidak perlu melindungiku seperti itu, apalagi sampai bertengkar dengan Nyonya Qiao demi aku. Aku tidaklah selemah yang kau pikirkan. Sungguh, aku tidak peduli sedikitpun dengan penilaiannya terhadapku. Asal Jesslyn dan kau menyukaiku dan baik padaku, itu cukup bagiku."

"Tenang saja, aku dan Jesslyn selama-lamanya adalah orang yang paling mencintaimu," Marco menunduk melihat Jesslyn yang sedang tertidur dalam pelukannya.

"Jadi, kalaupun orang sedunia tidak mencintaiku, aku tetap merupakan orang yang paling berbahagia kan," kata Josephine sambil bersandar pada Josephine.

***

Juju datang ke Surabaya bersama Claudius. Claudius tidak memiliki urusan penting di hari pertama, jadi ia menemani Juju berziarah ke makam nenek.

Setelah memberi penghormatan kepada mendiang nenek, Claudius menyingkir ke sebelah.

Juju duduk di tepi batu nisan sambil mengajak mendiang neneknya mengobrol. Dia bercerita tentang hal-hal masa kecilnya. Ia mengusap nisan itu dengan perasaan tak rela, "Nenek, aku akan datang dan mengobrol denganmu lagi lain kali. Nenek harus jaga diri di bawah sana. Aku tahu nenek paling mengkhawatirkan aku, tapi sekarang nenek sudah lihat, aku telah menikah dengan Claudius, aku sudah mewujudkan impian terbesarku dalam hidup ini. Jadi, nenek jangan cemas, aku akan baik-baik saja."

Ia menunduk dan menyedot ingusnya, lalu berdiri, "Yuk, kita pergi," katanya pada Claudius.

Claudius mengangguk, lalu meninggalkan pemakaman bersama dengan Juju.

Novel Terkait

Kamu Baik Banget

Kamu Baik Banget

Jeselin Velani
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Istri Direktur Kemarilah

Istri Direktur Kemarilah

Helen
Romantis
4 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
5 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu