Istri ke-7 - Bab 147 Mengenai IQ (2)

Festival pertengahan musim semi tiba, ketika sarapan, Joshua berpamitan dengan Nenek Chen, katanya dia akan pulang kerumahnya untuk sembahyang leluhur.

Nenek Chen menganggukkan kepalanya, dan berkata, “Memang seharusnya begitu, makan siang kita makan di keluarga Shen saja, malam-malam kita baru makan lagi diluar semuanya, nanti pulang ingat beritahu orangtuamu.”

Joshua tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “Tenang saja Nenek, setiap tahun juga selalu begitu, tidak perlu aku beritahu saja mereka seharusnya mengetahuinya.”

Pagi hari, menurut tradisi keluarga Chen, mereka sembahyang leluhur di ruang sembahyang mereka.

Josephine baru pertama kali ke ruang sembahyang bersama rombongan, dia melirik sekeliling, suasana disekitar sana tidak begitu menakutkan karena banyak orang.

Ini juga pertama kalinya Josephine tidak merasa ketakutan masuk kedalam ruang sembahyang.

Setelah keluar dari ruang sembahyang, Nenek Chen pulang dengan ditemani Pengurus He, sedangkan Claudius tidak kunjung meninggalkan ruang sembahyang.

Claudius berlutut dihadapan leluhurnya, kedua matanya tertutup rapat, tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Ketika membuka matanya, dia bertanya, “Mengapa kamu masih ada disini?”

“Kamu tidak pergi, aku tentu saja harus menemanimu disini.”

“Tidak perlu, kamu pulang dulu.” Kata Claudius.

Josephine menganggukkan kepalanya lalu berbalik badan melangkah kearah pintu ruang sembahyang.

Setelah keluar dari ruang sembahyang, dia tidak langsung pulang melainkan menunggu Claudius di mobil.

Dia menunggu diatas mobil selama 15 menit, namun tidak kunjung melihat Claudius keluar, tadi Josephine keluar dari ruang sembahyang karena tidak ingin menganggu Claudius mengobrol dengan leluhur, tapi sudah selama ini, seharusnya dia sudah selesai mengatakan semuanya.

Beberapa saat kemudian, Claudius akhirnya keluar dari ruang sembahyang, namun dia tidak berjalan kearah mobil melainkan berjalan kearah yang lain.

Itu adalah arah ke makan anaknya, Josephine kaget, dia bergegas membuka pintu dan mengikutinya.

“Tuan Muda, tunggu aku sebentar.” Josephine memanggilnya sambil mengejarnya dari belakang.

Claudius berhenti dan berbalik badan lalu menatapinya sambil mengerutkan keningnya, “Mengapa kamu masih belum pulang?”

“Aku......aku ingin pergi bersamamu.” Kata Josephine.

“Untuk apa kamu kesana?”

Josephine terdiam, untuk apa dia kesana? Sebagai ibunya, apa lagi yang bisa dilakukannya? “Aku ingin melihat anak kita.”

Dia tahu Claudius akan membencinya mengatakan hal begini, lalu bergegas menambahkan, “Tuan Muda, tidak peduli aku pernah melakukan apa sebelumnya, tapi bukankah bagaimanapun juga aku tetaplah adalah ibu kandung dari anak kita? Mohon biarkan aku pergi bersamamu.”

Meskipun kemungkinan besar anak itu bukanlah anak kandungnya, namun bagaimanapun juga anak itu mati karenanya!

Ekspresi Claudius sangatlah marah, nada bicaranya penuh dengan sindiran, “Kamu yakin anak kita ingin melihatmu?”

“Tidak peduli dia ingin melihatku atau tidak, aku tetap ingin pergi melihatnya, untuk memohon maaf kepadanya.” Josephine menatapi Claudius, “Ini adalah impianku, bisakah kamu menyetujuinya?”

Melihat penyesalan dan rasa bersalah di wajah Josephine, Claudius tidak mengatakan apa-apa dan berbalik badan terus melangkah.

Menurut tradisi keluarga Chen, anak yang tidak cukup umur seratus hari tidak diperbolehkan memasuki ruang sembahyang keluarga Chen, jadi anak mereka hanya bisa di sembahyangkan di belakang sana.

Dari ruang sembahyang hingga tempat pemakaman anak mereka kira-kira berjarak 10 menit perjalanan kaki, selama perjalanan mereka berdua tidak berkata apa-apa. Josephine mengetahui bahwa suasana hati Claudius tidak baik, dan tidak ingin mengobrol dengan dirinya maka dari itu dia tidak menganggunya sepanjang jalan,

Hingga tiba di depan makam anak, mereka berdua tidak berinteraksi sama sekali.

Terakhir kali ketika berada disini, Jospehine hampir pingsan ditabrak oleh Claudius, kali ini Josephine tahu hati Claudius juga masih tetap membara. Dia melihat Claudius mengeluarkan lilin dari samping makam lalu menyalakannya, dan memberdirikannya di mangkok depan makam.

Jospehine berjalan mendekatinya dengan hati-hati, dan juga mengeluarkan tiga dupa lalu menyalakannya, dan bersujud didepan batu nisan, dan terakhir menancapkan dupa didalam mangkok.

Josephine tetap tidak berkata apa-apa, dia takut sekali dirinya tidak sengaja dan akan membuat Claudius marah lagi, setelah sembahyang, Josephine berdiri dengan aneh disana.

Setelah berhenti sejenak didepan makam anak, Claudius berbalik badan dan berjalan kearah rumahnya, Jospehine bergegas mengikutinya.

Ketidaknyamanannya, penyesalannya semua itu terlihat oleh Claudius. Dia tiba-tiba terpikiran kata-kata Susi, Josephine lebih menderita, lebih sedih kehilangan anak dibanding dirinya. Dia bukannya tidak mempercayai kata Susi, hanya saja dirinya tidak bisa memaafkannya, dan juga tidak bisa mengerti perbuatannya saja.

“Jika waktu itu kamu memberitahu semuanya kepadaku, dan bukan melakukan keputusanmu sendiri, maka mungkin saja nasib anak ini akan berbeda.” Claudius tiba-tiba berkata aneh seperti ini.

Josephine tercengang, lalu mempercepat langkahnya dan berkata, “Tuan Muda, anak ini memang kekurangan saat lahir, siapapun yang memutuskannya dan apapun keputusannya, dia tidak akan bisa hidup.”

“Beginikah caramu menasehati dirimu sendiri?” Claudius berbalik badan dan menatapinya.

Josephine terdiam.

Claudius melanjutkan, “Maka dari itu kamu bisa hidup tanpa tertekan seperti begini? Tidak ada sedikitpun rasa bersalah?”

“Tidak.” Josephine mengelengkan kepalanya, “Tuan Muda, kamu salah paham dengan maksudku, sebenarnya aku berharap kamu bisa melepaskan tekanan dalam hatimu, jangan menyalahkan dirimu sendiri maupun orang lain atas kematian anak ini. Bukankah menyalahkan dirimu sendiri dan menyalahkan orang lain juga merupakan tekanan bagi dirimu sendiri?”

Sejenak kemudian, Josephine melanjutkan, “Anak ini tidak ditakdirkan bersama kita, dan dia sudah pergi begitu lama, sudah saatnya kamu melepaskan ini semua.”

“Tuan Muda, aku bukan tidak sakit hati, tidak sedih.” Josephine mulai merengek, “Hari dimana anak kita dibawa pergi, aku terkurung di sebuah kamar kecil, aku menangis hingga sesak nafas, kamu hanya tidak melihat tampang aku sedih saja.”

Teringat kembali dengan masa-masa itu, Josephine masih saja ketakutan hingga sekarang, untung saja Vincent menolongnya keluar, jika tidak mungkin saja dirinya sudah mati diatas tangan Shella dan Fransiska.

Dia memberitahu hal beginian kepada Claudius bukan untuk membuatnya terharu, untuk membuatnya mengasihani dirinya, dia hanya ingin memberitahu Claudius bahwa dirinya bukan tidak peduli dengan anak mereka seperti apa yang dipikirkan Claudius, dia sangatlah menyukai anak ini.

Dia hanya ingin......menurunkan rasa dendam Claudius terhadap dirinya, untuk membuatnya tidak lagi hidup dalam rasa dendam.

Dia mengira bahwa tidak akan mempercayainya seperti sebelumnya, namun tidak disangka bahwa kali ini Claudius tidak membantahnya, melainkan menatapinya sejenak lalu berbalik badan dan lanjut melangkah pergi.

Apakah Claudius mendengarkan perkataannya atau tidak, Josephine tidak mengetahuinya!

Dia menghirup nafas dan melangkah mengikuti Claudius.

Diperjalanan kembali, mereka tetap tidak berkata apa-apa.

******

Novel Terkait

Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Cinta Dan Rahasia

Cinta Dan Rahasia

Jesslyn
Kesayangan
5 tahun yang lalu
See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu
Cantik Terlihat Jelek

Cantik Terlihat Jelek

Sherin
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Rahasia Seorang Menantu

Rahasia Seorang Menantu

Mike
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
 Habis Cerai Nikah Lagi

Habis Cerai Nikah Lagi

Gibran
Pertikaian
5 tahun yang lalu
Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
4 tahun yang lalu