Cantik Terlihat Jelek - Bab ke 792 Cerita Ekstra Bima Xue dan Weni Mei

"Apa yang kamu katakan? Kiki adalah putri mu?"

Ibu Xue dan Ayah Xue saling bertatapan, wajahnya menunjukkan bahwa hal itu tidak dapat ia bayangkan.

Weni Mei menundukkan kepalanya, jarinya diam-diam menarik pakaian dari Bima, memberikan tanda agar dia yang menjelaskannya.

Meskipun dikatakan, keberanian untuk membohongi mereka adalah dipaksakan, akan tetapi kedua orang tua tersebut sangat baik terhadap dirinya, membuatnya merasa bersalah di dalam hatinya.

Namun seseorang malah berdeham dengan nada yang dingin, "Memiliki kemampuan untuk berbohong sebesar itu, jika memiliki kemampuan, maka jelaskan saja sendiri."

Weni mengangkat kepalanya, menatap Bima Xue, pria ini, sejak setelah dirinya menolak lamarannya di dalam mobil, dia pun telah merajuk sepanjang perjalanan.

Akan tetapi, mana ada orang yang sekali dilamar, maka akan dengan segera menyetujuinya?

Dia sedikit merasa kecewa, mengapa hal mengenai lamaran ini, juga dapat begitu dipaksakan?

"Kamu bicara ya, sebenarnya ada permasalahan apa?"

Ibu Xue pun telah tergesa-gesa.

Bima pun menghembuskan nafas dengan berat, kemudian membalikkan tubuhnya, menatap Weni, "Apakah, jikalau bukan karena kamu kelepasan berbicara saat pingsan, maka kamu akan benar-benar berencana mencarikan Kiki seorang ayah?"

"Apakah kamu benar-benar berencana, membuat anak ku seumur hidupnya, memanggil pria lain dengan sebutan ayah?"

Weni tahu permasalahan ini, dirinya tidak memiliki banyak alasan yang masuk akal, ia pun semakin menundukkan kepalanya, dan tidak dapat berbohong lagi, maka dari itu, dia hanya dapat bergumam dengan suara yang kecil, "Aku tidak ingin menggunakan anak untuk mengikat kamu."

"Kalau begitu..... maksud dari ini.... adalah.... Kiki adalah cucu kandung kami? Ya Tuhan, suamiku, apakah kamu sudah mendengarnya? A....ku...."

Ibu Xue sangat bersemangat hingga tidak dapat mengucapkan satu kata pun dengan baik, sedangkan Ayah Xue sebaliknya setelah menatap bergantian mereka berdua.

Ia pun membalikkan tubuhnya, menuju ke ruang penyimpanan, dan mengambil sebuah tongkat, kemudian mengarahkannya kepada tubuh Bima, lalu memukulnya dengan keras.

"Istrimu sendiri telah melahirkan anak untukmu, dirimu sendiri pun tidak mengetahuinya, masih menyalahkan orang lain?"

"Dia seorang diri, membesarkan Kiki, telah mendapatkan kesulitan yang seberapa banyak, kamu tidak menanyakannya juga tidak memperhatikannya, malah masih menyalahkannya, dia menikah dengan orang lain, memangnya salah? Menunggu kamu pria kurang hajar ini, jikalau menunggu hingga seumur hidup dan tidak mendapatkanmu bagaimana?"

Weni sama sekali tidak menyangka bahwa Ayah Xue akan begitu ramah dan sopan, juga dapat begitu keras, dia agak sedikit merasa terkejut, tertegun sesaat, ia barulah sadar kembali.

Dengan segera ia menghalangi Bima, pada saat itu sebuah tongkat terpukul ke atas tubuhnya, Ayah Xue memukul dengan sekuat tenaga, oleh karena itu, Weni pada saat itu hanya merasakan, ia dipukul hingga dadanya terasa sakit, tanpa dapat ditahan ia pun mengeluarkan suara "aaagghh".

Semua orang yang berada di dalam rumah pun terkejut, Ibu Xue pun melangkah maju, "Aiyooo, kamu lihat, bagaimana kamu melakukannya, memukul orang juga tidak lihat terlebih dahulu."

Setelah selesai mengatakannya, ia pun mendorong Ayah Xue, kemudian memegang kedua bahu Weni, dengan tatapan mata yang penuh perasaan simpati,

"Bagaimana kamu Weni? Aiyoo, ayahmu memukuli dia, kamu menghalangi apa? Dia membiarkan kalian berdua merasakan kepahitan selama bertahun-tahun, saat ini ia masih menyalahkan dirimu, jikalau di pukul hingga mati pun ia pantas mendapatkannya."

"Benar, anak lelaki kami tidak dididik dengan baik, membuat kamu merasakan ketidakadilan, dia pantas dipukul."

Ayah Xue pun ikut menambahkan.

Weni pernah memikirkan reaksi kedua orang tua ini, jika mengetahui Kiki adalah cucu kandung mereka, pasti akan sangat gembira, akan tetapi, tidak menyangka, ternyata kedua orang tua ini akan memperlakukannya seperti ini.

Dia menarik nafas, "Tidak menyalahkan dia." Salahkan dirinya sendiri.

Bima melihat Weni, yang ia rasakan hanyalah perasaan sakit di dalam hatinya, "Apakah kamu bodoh? Tidak melihat saat ini sedang situasi yang bagaimana, langsung menghalangi begitu saja."

Mulutnya bertanya dengan marah, namun suaranya bergetar, tangannya kaku di udara, melambat dan tidak berani untuk terjulur ke bawah.

"Paman, kamu jangan menyalahkan Bima, malam itu, dia mabuk, kemudian, aku yang melahirkan Kiki dengan menutupinya dari dia, dia tidak mengetahui apa pun."

Ibu Xue menangis dengan suara pelan, kemudian berteriak ke arah Bima: "Mengapa kamu masih melamun? Cepat bawa ia keatas untuk melihat, apakah ada masalah? Kulit yang lembut ini, mana dapat menahan tenaga dari ayahmu!"

Sambil berkata, kemudian ia menatap Ayah Xue, dengan segera memerintahkan pembantu yang ada dirumah, untuk membawakan obat.

Di kamar lantai atas

"Itu, aku... aku sendiri saja!"

Weni duduk disamping ranjang, melihat Bima menggantikan dirinya untuk melepas pakaiannya, wajahnya sedikit terasa canggung.

"Bagian belakangmu ada tumbuh mata?"

Dia berkata galak terhadap dirinya, namun nada bicaranya jelas telah merendah dari sebelumnya.

"Kamu juga terluka..."

Weni menolehkan kepalanya, dan memandang Bima.

"Sejak awal juga sudah terbiasa dipukul!" Bima dengan acuh tak acuh menjawabnya.

Pakaiannya telah dilepaskan, Sebuah tanda merah yang memanjang, muncul di kulit punggungnya yang putih itu, terlihat sangat menusuk mata.

Bima tidak mengatakan apa pun, lalu mengambil obat, dan menggosokkannya dengan perlahan-lahan.

Awal mulanya, pemikiran keduanya murni, akan tetapi perlahan-lahan, Weni merasa tidak biasa.

Tangan pria itu mengapa telah meluncur hingga kebagian pinggangnya.

Seluruh tubuhnya, bergetar tanpa dapat ditahannya, ia menolehkan kepala, kemudian menatap mata Bima, belum sempat ia membuka mulutnya untuk berkata-kata, mulutnya pun telah disumpal dengan bibir Bima.

Dia menjulurkan tangannya melingkari pinggangnya, menciumi aroma wangi segar dari tubuhnya, merasakan nafas yang menghampirinya, Weni hanya merasakan bahwa tubuhnya pun melunak, akan tetapi saat ini adalah siang hari, Ibu Xue dan orang lain bisa datang kapan saja.

Jikalau hal ini terlihat, benar-benar akan sangat canggung.

Selain itu, hubungan mereka berdua saat ini, jika dikatakan yang sebenarnya, apa pun juga bukan.

Terpikir hingga hal ini, dia memohon dengan nafas yang terengah-engah :

"Bima, jangan ..."

Beberapa kata yang sederhana itu, malah membuat jantung Bima seperti meledak.

Dia membenamkan kepalanya dileher Weni, dengan lahap ia menghisapnya dengan kasar.

Pada saat itu, dia memiliki semacam perasaan selama bertahun-tahun, ia telah hidup dengan sia-sia.

Perasaan yang sangat nikmat itu, setelah pernah mencicipinya sekali, kemudian membuatnya memiliki semacam perasaan ketagihan dengan rasa yang nikmat itu.

Karena telah mencapai tingkat dimana ia sudah tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri lagi.

Waktu pun seolah-olah berhenti sesaat, setelah lewat beberapa saat, Bima barulah bangkit berdiri, raut wajahnya sedikit merona.

Weni pun mendongak untuk melihat dia, kemudian ia berpikir, dengan suara yang pelan ia berkata : "Kamu... tidak apa apa kan?"

Suara nya yang tipis dan lembut itu, yang terdengar di telinga Bima, malah membuatnya tertegun dan berubah menjadi sebuah rasa.

Jakunnya pun bergulir, kemudian, ia memungut kemeja yang ada di atas lantai, dan mengenakannya di atas tubuh dirinya, "Pakai dengan baik."

Setelah selesai mengatakannya, ia pun berbalik ....

"Mau tidak, aku bantu kamu untuk mengoleskan obat sebentar." Melihatnya akan pergi, Weni dengan segera berkata, kemudian melihat punggung Bima, terlihat dengan jelas bahwa ia sedang membatu di tempatnya.

"Weni.... Kamu sengaja mempermainkanku?"

Weni menggerakan pipinya, wajahnya dengan serius menggelengkan kepala, kemudian seperti ia telah memahami apa yang terjadi, ujung bibirnya pun mengembang, dengan mengedip-kedipkan matanya berkata ,"Akan tetapi, punggung mu tidak ada mata, kamu bagaimana dapat mengoleskan obat?"

Suaranya sengaja dibuat melembut, Melihat wajah pria itu yang tidak dapat menahannya, dia dengan senang menaikan sedikit alisnya, ternyata, ada suatu hari dimana, pria ini, juga dapat mengeluarkan ekspresi seperti ini karena dirinya.

---TAMAT---

---Penulis Merekomendasikan Buku "Pertemuan Satu Musim Arwahku"---

Novel Terkait

See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu
King Of Red Sea

King Of Red Sea

Hideo Takashi
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Hanya Kamu Hidupku

Hanya Kamu Hidupku

Renata
Pernikahan
3 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
3 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
3 tahun yang lalu
Mi Amor

Mi Amor

Takashi
CEO
4 tahun yang lalu