Cantik Terlihat Jelek - Bab 698 Jangan Main, Ada Orang, Bagi Gula

Aderlan tidak menjawabnya, dia berjalan keluar dengan cepat.

Di dalam mobil, wajah asisten memuram setelah menjawab telepon. Dia lalu menutup telepon dan melapor kepada Aderlan.

"Dia naik ke gunung? Sampai sekarang masih belum turun?"

Dua tangan Aderlan yang memangku di lutut mengepal erat, raut mukanya memucat.

Mimi tidak tahu berapa lama dia tidur, tapi dia merasa dirinya bukan tidur, cuman tidak punya tenaga untuk membuka mata.

Dalam kelinglungan, dia merasa ada orang yang menciumnya. Kemudian, dia digendong menuruni gunung.

Aroma tubuh yang familiar membuatnya mengira dirinya sedang mimpi. Hanya mencium aroma itu sudah membuat jantungnya berdebar.

Dia terobsesi dengan aroma itu, dia tidak berani bangun, dia lantas memasuki pelukan orang itu.

"Jangan main, ada orang lain di sini."

Dia mendengar seorang pria berbisik di telinganya. Dia bahkan dapat merasakan hawa panas menyembur di lehernya, hawa panas itu menyebabkan tubuhnya bergidik.

Perasaan ini... terlalu ... nyata.

“Tidur dulu, kita akan tiba sebentar lagi.” Sembari berucap, pria itu mencium bekas luka di pipi Mimi.

Tanpa menunggu respons Mimi, setetes cairan jatuh di alis Mimi dan bergulir melalui wajah. Ketika mengalir sampai ke leher, cairan itu sudah terasa dingin.

Ini ... air mata?

Mimi menelan ludah, dia sontak membuka matanya, menatap wajah di depan hingga termenung.

Senyum tipis muncul di wajah Aderlan, dia berkata dengan sangat spontan, “Kita sudah mau sampai di hotel. Kamu tidur sebentar lagi."

Nada ini persis seperti nada suara saat berada di bar pada bertahun-tahun yang lalu, rendah nan lembut.

Tidur sebentar lagi?

Tidur sebentar lagi?

Mimi kembali memejamkan matanya. Bibir dan sekujur tubuhnya mulai gemetaran.

Namun, itu bukan karena kedinginan, melainkan kegembiraan, kegirangan, tidak terkendali.

Tapi dia menahannya tanpa bertanya atau berkata apa pun.

Dia takut salah omong ataupun terlalu banyak omong. Jika itu terjadi, itu akan menjadi lelucon saat dia bangun.

Entah berlalu berapa lama, hari terasa sepanjang tahun.

Mimi digendong ke hotel mewah oleh Aderlan. Dia mendengar semua orang memanggilnya Direktur Aderlan dengan hormat.

Pipi memanas, Mimi masih diam tak berbicara.

Masuk lift, naik ke lantai atas, masuk ke kamar.

Aderlan meletakkan Mimi di atas ranjang. Mimi merasa nyaman, dia ingin berbicara dengan Aderlan.

Tapi dia malah tertidur lagi.

Mimi terbangun karena dicium.

Dia tidak membuka matanya, tapi dia bisa merasakan bahwa orang yang menciumnya adalah Aderlan.

Dia merespons dengan malu-malu, lalu dia seolah-olah mengingat sesuatu, dia langsung menghentikan gerakannya.

Menyadari Mimi tidak merespon, Aderlan menyandarkan kepala di dada Mimi. Aderlan seperti bergumam pada diri sendiri, tetapi Mimi mengerti bahwa Aderlan sedang memberi penjelasan padanya.

"Dia jauh lebih kuat daripada yang aku kira. Aku tidak berani lalai untuk menjatuhkannya. Jadi, aku hanya bisa mengecewakanmu. Aku pernah berpikir untuk menyerah dan membawamu pergi, tapi aku tahu itu bukan solusi jangka panjang."

Aderlan mengangkat kepala, jari panjang dan putih mengusap wajah Mimi, "Dia akhirnya jatuh."

Beberapa kata itu menjelaskan segala hal dalam beberapa tahun terakhir.

Mimi membuka mata, menatap pria di depannya.

Keempat mata saling berpandangan. Kesedihan di mata Aderlan, kemarahan yang dipendam, dan rasa rileks setelah berhasil, semua itu terpampang keluar dengan begitu tulus tanpa perlu bantuan sepatah kata pun.

Ini bukan mimpi!

Akhirnya, hujan berakhir dan pelangi muncul.

Mimi ingin tertawa, tapi juga ingin menangis.

Dia ingin berdebat dengan Aderlan, ingin memarahinya, ingin memukulnya, ingin mengeluh, tapi begitu memikirkan kerinduan pada malam-malam yang tak terhitung, cinta yang terpaksa dilepas.

Serta rasa sakit hati yang menyumsum.

Mimi tiba-tiba merasa bahwa semua pemikiran barusan hanyalah mencerminkan dirinya "tidak bersyukur"!

Pada saat ini, perasaan yang paling intuitif dan nyata dalam hatinya adalah kegembiraan, kebahagiaan, dan kegirangan.

Dia tidak ingin membuang waktu untuk hal yang tidak penting.

Oleh karena itu, dia tidak ribut, tidak menangis, tidak mengeluh, tidak manja. Dia tahu tidak mudah bagi mereka berdua untuk mendapatkan momen ini.

Mimi mengangkat tangan untuk merangkul leher Aderlan, lalu berinisiatif menciumnya.

Berinisiatif mengodanya.

Dia bisa merasakan napas pria menjadi lebih cepat dan tak beraturan.

Tetapi pria malah menahan tangannya dan mendorongnya menjauh, "Jangan main, kamu lagi demam tinggi, aku akan membawa makanan untukmu."

Aderlan berkata sambil menegakkan tubuh dengan agak panik.

Lalu dia menghela napas.

Mimi menopang badan dengan lengan untuk duduk, menunduk dan menemukan bahwa pakaian ditubuhnya telah digantikan piyama.

Walaupun keduanya sudah pernah berhubungan intim, tapi sekarang dia tetap saja tidak bisa mengendalikan diri, telinganya memerah.

Dia kemudian merasa sangat senang dan manis. Dia mengakui bahwa dia menyukai sentuhan Aderlan, sangat menyukainya.

Meskipun, hal seperti ini agak memalukan!

Setelah mengalami begitu banyak hal, dia benar-benar merasa cukup atas penderitaan, dia merasa cukup dengan hal-hal tidak penting.

Di masa depan, baik muka, harga diri, omongan orang lain, maupun kekhawatiran.

Enyah lah!

Mulai sekarang, dia hanya ingin bersama dengan orang yang dia cintai. Dia tidak lagi takut dengan apa pun.

Dia tidak peduli apa yang dipikirkan dan dikatakan orang lain, selama Aderlan tidak peduli, dia juga tidak peduli.

Aderlan masuk dengan menampan semangkuk bubur.

Mimi merasakan ketidaknyataan saat melihat Aderla, itu mungkin karena terlalu rindu, mungkin juga karena terlalu berharap.

Dalam beberapa tahun terakhir, waktu tampaknya tidak meninggalkan bekas apa pun di wajah Aderlan, dia masih tampan dan elegan seperti dulu, hanya auranya saja yang menjadi jauh lebih kuat.

Aderlan mengerutkan kening, "Apa yang kamu lihat?"

"Biarkan aku mencoba apakah kamu masih bisa muntah?"

Sebenarnya saat melihat Aderlan di rumah sakit, Mimi sudah tahu mengapa Aderlan muntah. Sekarang, dia cuman sengaja mengolok-olok Aderlan.

Mimi duduk dan sengaja mencium wajah Aderlan, dia juga sengaja menjulurkan lidah untuk menjilati telinga dan bibir Aderlan.

Pria mengambil napas dalam-dalam, wanita tertawa nakal. Piyama yang sedikit terbuka menyebabkan tenggorokan Aderlan terasa kering, haus.

Wajah tersipu, tangan yang menampan mangkuk menghindari tangan Mimi yang terulur kemari, "Jangan main, makan dulu."

Suaranya jelas berbeda, seperti tercekat sesuatu.

Bagaimana mungkin Mimi tidak mengerti. Mimi menatap Aderlan sambil berkedip, lalu merangkul leher Aderlan, "Bagaimana kalau makan aku dulu?"

Mimi berkata dengan cabul, ini membuat muka kedua orang segera merona merah.

Aderlan jelas sedikit terkejut terhadap sifat Mimi yang tiba-tiba terbuka. Dia menundukkan kepala untuk menilik Mimi.

“Kamu makan dulu…”

Novel Terkait

Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu
Awesome Husband

Awesome Husband

Edison
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
3 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
My Greget Husband

My Greget Husband

Dio Zheng
Karir
3 tahun yang lalu
Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
3 tahun yang lalu