Cantik Terlihat Jelek - Bab 699 Peredam Suara Ruangan Cukup Bagus

"Aku tidak mau..." Mimi mendongak, sengaja memprovokasi.

Aderlan sekilas melihatnya, "Jangan main, kamu lagi sakit, kita masih punya banyak waktu, kamu makan dulu sekarang."

Aderlan membujuk Mimi dengan nada yang terkandung kemanjaan tanpa batas, seperti pada tahun itu ketika dia menarik Mimi dan bertanya bolehkah Mimi tidak pergi.

"Kenapa kalau aku sakit? Tidak suka? Takut tertular? Tidak mau bermesraan denganku?"

Mimi melihat pipi Aderlan sedikit memerah, dia pun semakin bersemangat. Kerinduan yang terpendam di dalam hati selama bertahun-tahun tidak dapat ditahannya lagi.

Dia merasa lebih bergairah saat melihat Aderlan seperti ini.

Aderlan menatap Mimi sambil menghela nafas, satu tangan menampan mangkuk, tangan lainnya meraih Mimi ke dalam pelukan, menciumnya dengan ganas.

Sampai keduanya agak terengah-engah, barulah Aderlan melepaskan Mimi.

"Tubuhmu masih lemah sekarang. Aku takut aku tidak bisa menahan diri dan akhirnya melukaimu. Kenapa kamu tidak memahami niat baikku?"

Aderlan menahan gairah di tubuh, menggeram pada Mimi, tapi tampak jelas bahwa dia sama sekali tidak bermaksud menyalahkan Mimi.

Mimi mendorong Aderlan, menyelip rambut pendeknya ke belakang telinga, mengambil mangkuk dari Aderlan dan mengucapkan kata "Oh" dengan serius.

Mimi menunduk dan mulai makan bubur.

Berbeda total dengan dirinya yang baru saja memprovokasi dengan sengaja.

Mimi mendengar tawa rendah dari atas, kemudian sebuah tangan besar mengelus kepalanya dengan lembut.

"Tidak perlu makan terlalu banyak, cukup mengisi perut saja. Nanti kita makan di luar."

“Aderlan, kamu mencintai Rozi. Apakah kamu juga mencintai Mimi?” Mimi mengalihkan topik pembicaraan.

Pria mengambil mangkuk dan sendok dari tangan wanita, menyuapnya sesendok demi sesendok.

“Aku, mencintaimu. Tidak peduli siapa dirimu. "

Wanita menelan bubur, memandang Aderlan, "Aku pernah menikah dengan orang lain. Apakah kamu tidak keberatan?"

"Jika aku menikah denganmu lagi, berarti aku sudah menikah untuk kedua kalinya."

"Aku juga pernah bersama dengan Gukimi."

Pria sekilas melihat Mimi, "Rambo sudah memberitahuku."

Mimi mengernyit, tertawa.

"Dasar pembohong!"

“Iya!”

“Kamu bajingan!”

“Iya!”

"Kamu bahkan menyuruh orang untuk memukulku, apalagi pukulan yang begitu berat, kamu brengsek."

“Iya!”

"Kalau begitu, aku akan menghukummu, kedepannya kamu tidak boleh sentuh aku lagi!"

“Tidak boleh.”

"Apakah kamu tahu bagaimana aku melewati hari demi hari dalam beberapa tahun terakhir ini..."

“Tahu!” Suara pria itu tiba-tiba merendah, sangat serak.

Mimi mengangkat kepala, terlihat mata Aderlan sudah memerah, bibir tipis merapat menjadi satu garis lurus.

Kesengajaan awal seketika berubah menjadi ketidaktegaan.

Mimi tahu betul bahwa jika Aderlan tahu segalanya, maka hari-hari yang dilalui Aderlan pasti tidak akan lebih baik darinya

“Hal ini tidak akan berulang.”

"Tidak akan!"

Orang di luar pintu saling memandang, mereka semua menghela napas lega.

Kevin menarik keluar bocah yang menjulurkan kepala ke dalam ruangan, "Kakak kedua, bawa putramu pergi, untuk apa bocah kecil ikut bergabung?”

Bocah itu berkedip pada bibi yang galak padanya, lalu duduk di lantai dan mulai menangis.

Mimi menoleh keluar begitu mendengar suara, dia lalu memerhatikan perabotan ruangan dengan teliti, "Di mana kita?"

Dia ingat dengan jelas bahwa mereka ada di hotel. Dia baru saja bangun, tidak menyadari kondisi sekeliling.

Aderlan meraihnya ke dalam pelukan, menjawab dengan tenang, "Rumah Mo."

Ru…rumah Mo?

Mimi lantas tersipu begitu memikirkan apa yang barusan dikatakan dirinya.

Dia terpaku sejenak, menarik selimut untuk membungkus dirinya, "Lalu kenapa kamu tidak menghentikanku? Mampus, bukankah mereka mendengar semua yang kukatakan barusan?"

Ekspresi Aderlan tidak berubah, membungkuk, menarik selimut, dan menggigit telinga Mimi dengan lembut, "Tidak apa-apa. Lain kali, kita cukup mengecilkan suara kita."

Mimi menelan ludah, mengangkat kepala untuk memandang Aderlan. Dia merasa bahwa pria ini tampak bernafsu tinggi sekarang.

Ketika Mimi keluar dari kamar mandi, tidak ada seorang pun di ruang tamu atau ruang makan, mungkin karena takut Mimi akan merasa malu.

Aderlan mengambil sup untuknya, "Minum ini dulu sebelum makan yang lain. Lambungmu tidak bagus, kedepannya kamu harus lebih memperhatikannya.”

Aderlan juga menjepit sayuran untuknya, memisahkan tulang ikan untuknya, menyeka mulutnya.

Kebahagiaan datang terlalu cepat, terlalu kuat.

Mimi agak tercengang. Wajahnya tersenyum sampai kaku selama makan.

"Ibu, aku sudah menduga bahwa Aderlan adalah tipikal orang yang akan melupakan ibu ketika sudah menikah."

Suara wanita memecahkan suasana romantis kedua orang itu.

Mimi mengangkat kepala, terlihat sekeluarga besar Mo berdiri di area tangga.

Masih Keluarga Mo yang sama, ada beberapa yang pernah disukai dan beberapa yang pernah tidak disukai.

Namun, semua perasaan itu sekarang hanya tersisa rasa syukur tak berujung.

Kakek Mo yang lama tidak dijumpai menjadi agak membungkuk, terlihat perubahan yang besar. Dia berjalan mendekat dengan tongkat sambil dipapah oleh Velve.

Mimi bangkit, melangkah maju untuk memapah Kakek Mo, "Kakek ..."

Kakek Mo memandang Mimi dari atas ke bawah, mengangguk, "Semuanya sudah berlalu, Nak, kami telah membuatmu menderita.”

Mimi menoleh untuk melihat Aderlan, kemudian menggelengkan kepala. Selagi masih bisa bersama, semuanya tidak berarti.

Mimi tidak bertanya kepada Aderlan tentang segala sesuatu mengenai Gukimi, bagaimana Gukimi mengacaukan Perusahaan Mo, bagaimana Gukimi menganggu Aderlan dalam beberapa tahun terakhir.

Juga tidak bertanya bagaimana Aderlan menjatuhkan Gukimi.

Beberapa hal, beberapa orang, dan beberapa waktu yang sudah lewat, dia hanya ingin melupakannya untuk selamanya.

"Kakek, apakah kamu sudah makan?"

Pria tua mengangguk, "Kamu cepat makan, kami semua sudah makan."

Sambil berkata, pria tua menunjuk ke arah luar, "Aku mau berjalan-jalan di luar dulu, kamu tidak enak badan, istirahat lebih awal setelah makan."

Tidak ada percakapan yang berlebihan, tidak ada antusiasme yang bergelimang, keadaan masih sama seperti dulu, akrab nan nyaman seperti keluarga.

Hati Mimi secara tidak sadar merasa hangat.

"Mimi, sini, ini sudah direbus dari pagi, nanti kamu minum ya."

Orang yang berbicara adalah Jina. Dia berjalan keluar dari dapur dengan sebuah mangkok keramik berwarna putih susu di tangannya.

Mimi amat kaget, dia segera berdiri, lalu mengambilnya, "Bibi, terima kasih."

Setelah tidak bertemu selama bertahun-tahun, meskipun telah mengalami begitu banyak hal, Mimi tetap tidak yakin dengan niat Jina. Oleh karena itu, dia masih merasa sedikit ragu atas kebaikan Jina padanya.

“Mulai sekarang, kita semua adalah keluarga, tidak usah sungkan.” Jina berkata sambil berjalan dan duduk di samping Mimi, lalu meraih tangannya.

"Kenapa tanganmu begitu dingin. Aderlan, bagaimana caramu merawatnya, tangannya sangat dingin."

Ketika musim dingin tiba, tangan dan kaki Mimi selalu dingin, tidak peduli berapa banyak baju yang dikenakannya, tapi dia tetap menoleh ke arah Aderlan.

"Bolehkah kamu membantuku mengambil mantel."

Aderlan mengangguk dan pergi.

“Dia hampir mati karenamu.” Sesuai dugaan, begitu Aderlan pergi, Jina langsung melepaskan tangan Mimi, parasnya mendingin.

Novel Terkait

Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
3 tahun yang lalu
His Soft Side

His Soft Side

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
3 tahun yang lalu
Marriage Journey

Marriage Journey

Hyon Song
Percintaan
3 tahun yang lalu
Half a Heart

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
3 tahun yang lalu
Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu