Cantik Terlihat Jelek - Bab 479 Sebelum Badai

Weni tertegun setelah melihat orang di luar, kedua tangannya berpelukan di depan dada, tatapannya penuh kesedihan dan perasaan bersalah.

“Kakek, nenek….. kalian…..mengapa datang ke sini?”

Kedua orang tua menatapnya dan tidak berkata, berjalan melewatinya dan duduk di sofa.

“Kamu benar-benar hebat ya? Terjadi masalah yang begitu besar, kamu sama sekali tidak memberitahu kami.”

Tatapan kakek menjadi sangat tajam, Weni menarik nafas, setelah orang tuanya meninggal, dia kembali dan kondisi mentalnya sangat buruk, jadi dia masih belum tahu bagaimana memberitahu mereka tentang masalah ini.

Dia khawatir kedua orang tua yang sudah berusia 70-an tahun, tidak sanggup menerima pukulan ini, jadi dia berpikir setelah kondisinya stabil, baru memberitahu mereka.

Namun tanpa terduga, mereka tiba-tiba datang, pada saat ini dia terlihat tidak berdaya.

Dia menarik Kiki, “Kiki, kamu pergi menggambar dulu, ok? Nanti Mama akan masakan makanan untukmu.”

Setelah kejadian itu, dia tidak bisa membiarkan Kiki terus memanggilnya kakak, jadi dia memberitahukannya tentang kebenaran masalah ini, dia tidak tahu apakah anak ini bisa mengerti, pokoknya mulai saat itu, dia selalu memanggilnya Mama.

Kiki sangat pengertian, mendengar kata-katanya, dia mengangguk dan memeluk boneka diatas sofa yang dibelikan Ayahnya Weni, berbalik dan masuk ke dalam kamar.

Setelah pintu ditutup, Weni berlutut pada kedua orang tua, “Kakek, Nenek maaf, awalnya aku berpikir menunggu beberapa saat lagi, baru aku pergi dan memberitahu kalian.”

Dia juga baru tahu bahwa Kiki ingin pergi ke taman bermain, dan pada hari itu Ayahnya sakit maag, tetapi dia khawatir anak akan kecewa.

Di pertengahan jalan, mungkin terasa terlalu menyakitkan, jadi ingin parkir di pinggir jalan, tetapi tidak melihat truk datang dari belakang, sehingga menyebabkan kecelakaan.

Dia mendengar Nyonya tua menarik napas, kemudian berdiri dan menampar wajahnya dengan keras sebelum dia bereaksi.

“Kamu dan ibumu adalah orang sial! Pembawa masalah, hingga menghancurkan keluarga orang!”

Ketenangan sebelumnya, saat ini berubah menjadi tangisan memilukan.

Kakeknya hanya memiliki dua putra, namun putra sulungnya selalu tidak memiliki pekerjaan, sebagai putra bungsu, ayah Weni sangat berbakti, selama bertahun-tahun, ayahnya Weni selalu bertanggung jawab atas biaya hidup mereka.

Tetapi ayahnya tidak pernah mengeluh di depannya, pernah mendengar bahwa satu-satunya hal yang membuat sang ayah memberontak terhadap kedua orang tua itu adalah menikahi ibunya yang lebih muda lima tahun darinya.

Namun, karena kedua orang tua tidak menyukai Ibunya, dan setelah melahirkan, tubuh ibunya selalu kurang sehat, jadi ayahnya memutuskan untuk tidak memiliki anak lagi.

Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa kedua orang tua membencinya dan membenci Ibunya.

Begitu banyak tahun, kedua orang tua tidak pernah baik-baik melihat Weni.

Meskipun Ayah bersedia memberikan segalanya, dan meskipun Paman tidak bekerja.

Dia melahirkan dua putra.

Jadi, uang yang mereka dapatkan dari ayah, selalu diberikan ke keluarga paman. Orang tuanya juga mengetahui hal ini, tetapi kesalehan ayahnya selalu menutup mata.

Ayah selalu berkata, tidak dapat berbakti dan menemani di sampingnya, tetapi asalkan mereka senang.

Melihatnya menundukkan kepala dan tidak berkata, Nyonya tua semakin marah, mengambil gelas di depannya langsung memercikkan segelas air ke muka Weni.

“Kamu jangan pura-pura kasihan, putrimu menyebabkan kematian putraku, kamu menyuruh kami berdua bagaimana bisa hidup?” Nyonya tua selesai berkata langsung menangis histeris.

Weni langsung menatap ke arah pintu dengan gugup, melihat pintu tertutup, barulah dia merasa lega.

Karena rumah ini kedap suara, jadi dari dalam tidak dapat mendengar suara di luar.

“Nenek, Kiki masih kecil, apa pun masalahnya, datang saja padaku, itu semua salahku.” Dia menundukkan kepalanya, dahinya hampir mengenai lantai, terasa sentuhan dingin, membuatnya semakin sadar.

“Apakah aku salah berkata? Kamu masih ingin menyembunyikannya pada kami, kalau bukan saudara di sana menelepon kami, apakah kamu ingin menyembunyikannya pada kami selamanya?”

Suara Nenek semakin keras, matanya penuh amarah, dan ekspresinya sedikit mengerikan, Weni mengangkat kepala meliriknya dan segera menundukkan kepalanya.

“Nenek, bisakah kamu berhenti mengatakan perkataan seperti ini di masa depan, ini akan berdampak pada pertumbuhan anak, aku juga sakit hati dan sangat sedih atas kepergian orang tuaku, tetapi kiki masih kecil….... kalian ingin marah ataupun pukul, datang saja padaku.”

Dia memohon, karena terlalu kuat, kepalanya mengenai lantai dan mengeluarkan suara yang keras.

Rasa sakit menyentuh hatinya, namun bagaimanapun dia tidak bisa menekan kesedihan di dalam hatinya.

Kalau bukan karena Kiki, dia merasa dirinya akan pergi mengikuti orang tuanya!

“Maaf, maaf!” Dia meminta maaf pada kedua orang tua itu, tidak peduli di mata mereka, peran ayah sebagai sapi perah atau sesuatu, itu adalah anak mereka, tidak mungkin salah.

Dia juga meminta maaf pada orang tuanya yang telah meninggal, kalau sebelumnya dia tidak begitu tegas…… mungkin semuanya tidak akan menjadi begini.

“Weni, Ayah dan Ibu…... melahirkanmu, kamu melahirkan Kiki, kami sangat bahagia..... kami sangat berharap kita masih bisa menjadi sekeluarga di kehidupan berikutnya.”

“Jangan menyerahkan dirimu…. karena kepergian kami…... kamu…... kalau kamu benar-benar ingin kami bahagia, hiduplah dengan baik, dan…... membesarkan Kiki.”

“Weni, jangan salahkan dirimu, aku…... aku dan ayahmu, tidak pernah…... tidak pernah menyalahkanmu, kami..... rela melakukan itu.

Kata-kata ibu sebelum meninggal masih bergema di telinganya.

Air mata Weni jatuh di telapak tangannya bagaikan seutas benang, dan terasa dingin di hatinya.

“Sudahlah, tangisanmu membuatku kesal, kakekmu dan aku sudah begitu tua, dan sekarang malah kehilangan putraku, aku tidak tahu bagaimana hidup di masa depan, dan kamu hanya tahu menangis, lebih baik kami pergi mati saja!”

Perkataan Nenek yang menusuk hati, sekata demi sekata masuk ke dalam telinga.

Weni mengangkat kepala, menatap Nyonya tua, dia sudah tidak asing lagi melihat keserakahan di dalam tatapannya itu, setiap kali ayahnya memberikan uang pada mereka, dia selalu memiliki pandangan seperti itu.

Suaranya bergetar, “Nenek, aku akan berbakti pada kalian seperti ayahku.”

Begitu kata-kata ini dikatakan, kedua orang tua saling memandang, dan wajahnya terlihat jelas agak mereda.

Nyonya tua mengambil tisu, menyeka matanya yang tidak memiliki air mata.

Dia tiba-tiba berdiri dan melihat di sekeliling ruangan.

Hati Weni langsung menjadi suram.

Novel Terkait

Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Anak Sultan Super

Anak Sultan Super

Tristan Xu
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
5 tahun yang lalu
Hello! My 100 Days Wife

Hello! My 100 Days Wife

Gwen
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
After Met You

After Met You

Amarda
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Step by Step

Step by Step

Leks
Karir
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu