Cantik Terlihat Jelek - Bab 368 Tidak Ada Kesedihan Yang Lebih Besar Dari Sakit Hati

“Beberapa hati yang lalu, Catatan panggilan beberapa hari yang lalu kamu yang menghapusnya?”

Sekretaris ini tidak menyangka Mohan akan menanyakan pertanyaan ini, dia mengerutkan kening, menjawab dengan gemetaran, “Ti……tidak.”

“Tidak? Tidak ada yang menelepon atau tidak menghapus? Kamu tahu, aku paling benci orang berbohong, kalau kamu masih ingin terus bekerja di perusahaan Mo, sebaiknya kamu jujur.”ucap Mohan dingin membuat yang mendengarnya ngeri ketakutan.

“Manager Muham yang menghapusnya, dia bilang hanya iklan tidak penting tidak perlu memberitahumu.”

“Menurutmu teleponku akan ada iklan yang telepon kemari?”teriak Mohan marah menutup telepon.

Nyonya Mo menarik lengannya, “Tidak apa-apa, anak kecil demam tinggai ada baiknya, tidak perlu cemas, sekalipun kamu pergi, juga tidak bisa membantu apa-apa, kamu……”

“Pang”suara bantingan mangkuk.

Nenek Mo dengan tegas mengatakan: “Apa ini kalimat yang harus kamu ucapkan sebagai seorang nenek? Anak berusia beberapa bulan demam tinggi berhari-hari, orang dewasa saja tidak tahan, apalagi anak kecil, dulu waktu Mohan kecil demam tinggi, kamu sudah lupa, dia demam sampai ngigau, hatimu pilu sampai pingsan, kamu sudah lupa? Kenapa giliran cucu, sudah semestinya begitu."

Selesai itu, nenek menoleh memandang Mohan, “Bawa pengasuh, suruh supir jemput kami.”

“Bu, ibu juga pergi?”Nyonya Mo bangkit terkejut.

“Kalau tidak pergi lagi, putramu ini sudah jadi bujangan.”

“Bu, lelucon apa ini, Kalau Mohan jadi bujangan, di dunia ini sudah tidak ada pria lagi yang bisa menikah.

Nenek Mo melototi putrinya, lalu menunjuk keningnya, “Kamu ini ya, jadi orang dan memikirkan sesuatu harus pertimbangkan dari sudut pandang orang lain, cari menantu banyak dan mudah, tapi menantu yang baik susah dicari.”

Nyonya Mo mengerutkan kening dan memegangi tangan ibunya, “Bu, kamu lihat ibunya Mia, mengatakan hal yang tidak enak didengar, seakan keluarga kita telah melakukan sesuatu pada putrinya, orang seperti ini, bisa mendidik putri sebaik apa, aku lebih suka melihat Seli Muham, lahir dari keluarga terpandang, tidak mirip dengan orang biasa……”

“Nek ayo pergi, mobil sudah datang.”Mohan tidak bisa mendengarkan kata-kata ibunya, dan menyela.

Di mobil

“Si Seli dalangnya ya.”tanya Nenek Mo di belakang mobil dengan nada yakin.

Mohan menjawab ‘Ehn’.

“Benar-benar semakin lama semakin keterlaluan, Mohan, kalau kamu terus memanjakannya, lain kali kalau terjadi masalah, nenek tidak akan tinggal diam, dan nenek tegaskan sekali lagi, tidak peduli apa perasaanmu pada Seli, cucu menantu seperti ini, keluarga Mo tidak menginginkannya.”

“Nenek.”

“Kamu tahu kakekmu mendengarkan nenek, ibumu, dia keras kepala sendirian, meskipun kamu tidak menyukai Mia dan sudah cerai, cucu menantu keluarga Mo juga bukan Seli, lebih baik kamu putuskan hubunganmu dengan Seli, hutang budi padanya, keluarga Mo bisa memberikannya tapi selain pernikahan.”

Setelah itu, Nenek Mo memejamkan mata tidak mengatakan apapun.

Entah bagaimana, Mohan merasa lega.

Ketika ketiganya tiba di rumah sakit, Mia sedang tidur disebelah tempat tidur, tangannya meraba kening Morena, beberapa hari ini tidak ketemu membuat raut wajah Mia kekuningan, kantong matanya terlihat jelas.

Mendorong pintu kamar pasien.

Mia menengadah, melihat Mohan dan Nenek Mo, Mia tidak mengatakan apapun, hanya menarik pandangannya kembali menatap Morena.

Demam tinggi beberapa hari membuat wajah Rena menjadi kurus kemerahan, Nenek Mo sedih melihatnya hatinya pilu mengeluarkan air mata, “Mia, beberapa hari ini sudah menyusahkanmu.”

Mia ingin tersenyum tapi tidak bisa, beberapa hari tidak tidur, membuat seluruh tubuhnya tidak bertenaga.

“Nona, Anda istirahatlah, Rena biar aku yang jaga, Nona tenang saja, aku pasti akan berusaha yang terbaik.”ucap pengasuh.

Mia menggangguk, lalu bangkit dan pingsan.

Ketika sadar, sudah keesokan harinya, Mia membuka matanya dan menemukan dirinya ada di keluarga Mo.

“Rena.”Mia spontan bangkit duduk.

“Rena dikamarnya sendiri, demamnya sudah turun, dan sudah dijemput pulang.”ucap Mohan.

Mia baru sadar Mohan sedang duduk di jendela kamarnya melihat beberapa dokumen, ini sedikit canggung.

Mia membuka selimutnya, bangkit pergi ke kamar Rena, disana ada pengasuh sedang bermain dengannya, membuat Rena tertawa tiada henti, hati Mia merasa lega.

Mia kembali ke kamar, mengambil Hp menelepon ibunya.

“Bu, demam Rena sudah reda.”

“Baguslah kalau begitu, kamu juga perhatikan kondisi tubuh sendiri, anakmu masih kecil, kalau kondisi tubuhmu baik, baru bisa menjaganya.”

Mia menjawab ‘Ehn’lalu pergi keruang tamu, “Bu, kamu yang menelepon ke keluarga Mohan?”

“Ibu mertua mu yang telepon kemarin, ibu sekalian mengatakannya, Mia, kalau ingin cerai, cerailah, untuk ayahmu, setelah kamu memutuskannya, biarkan ibu yang mengatakan padanya.”

“Bu……”

“Kamu juga permata ibu yang ibu besarkan dari kecil, kamu ini darah daging ibu, ibu tidak tahan melihat anak ibu sendiri, diperlakukan begitu oleh orang lain.”

Mia menelan ludah.

“Sudahlah, ayahmu sudah pulang, ibu matikan ya, kalau ada masalah ingat telepon, kalau rindu pulang saja.”

“Ehn.“”

Telepon dimatikan, Mia duduk disofa melamun.

“Ayo makan di ruang makan.”tiba-tiba terdengar suara Mohan.

Mia terkejut, dia tidak tahu kapan Mohan kemari, dan tidak tahu apakah mendengar sesuatu atau tidak, tapi Mia sama sekali tidak peduli.

Dua orang ini pada dasarnya tidak ada perasaan, menghadapi masalah demi masalah membuat hati Mia semakin tenggelam ke dasar lembah, sekarang Mia sedang menunggu waktu tiba, lalu cerai, sejak saat itu jalani hidup masing-masing.

Mia bangkit menuju ruang makan, Mohan yang jalan setengah jalan menerima telepon, dan mengatakan tidak makan dan akan pergi ke kantor.

Di meja, Mia masih terbiasa menyajikan makanan untuk nenek, memberikan sup untuk kakek, dan memilih makanan ibu mertua, semuanya seolah kembali tenang.

Tapi ketenangan ini membuat semua yang duduk berpikir.

“Mia, kalau kedepannya ada masalah, Mohan sibuk dan teleponnya tidak bisa ditelepon, kamu telepon kesini, kamu lihat dirimu sekarang ini, ibumu mengeluh mengatakan keluarga kami tidak memperlakukan mu dengan baik, coba katakan dari lubuk hatimu yang dalam, semenjak kamu menikah, pernahkah kami memperlakukan mu dengan buruk, semua makan enak, minum enak, dan……”

“Kurangi ucapanmu.”ucap Kakek Mo.

Nyonya Mo melototi Mia, “Yah, apa aku salah bicara? Kemarin ucapan yang dibilang ibunya, kalimat yang mana yang tidak mengatakan kita sudah menyusahkannya, anaknya demam tinggi, telepon Mohan tidak tersambung, terus tidak bisa telepon kerumah? Terus apa harus seorang diri menanggungnya.”

Mia menelan makanan di mulutnya, lalu perlahan bangkit dan membuka mulutnya, semuanya mengira Mia akan melawan.

Tapi, diluar dugaan, Mia tidak mengatakan apapun, hanya menganggukkan kepala pada Nenek Mo lalu meninggalkan ruang makan.

Apa itu namanya kesedihan yang lebih besar dari sakit hati? Mia sedang berusaha yang terbaik untuk menjelaskannya.

Novel Terkait

Unlimited Love

Unlimited Love

Ester Goh
CEO
4 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
5 tahun yang lalu