Cantik Terlihat Jelek - Bab 495 Tidak bisakah kamu lebih lembut sedikit?

Bima melirik ke arah Weni, kemudian melihat ke arah makanan yang dilemparnya dihadapannya ke arah meja itu, tidak sedikit kuah dan makanan yang berada didalam mangkok itu berceceran keluar, “Masuk kedalam rumah ini berarti kita adalah satu keluarga, tidak perlu sebegitunya membatasi diri.”

Weni perlahan menaikkan kepalanya, ujung-ujung jarinya yang berada diaujung kursi sedikit gemetar, berhenti sejenak, “Sebenarnya, tidak apa-apa, semua masakan ini seharusnya adalah makanan yang tersisa mala mini, juga termasuk masih baru.”

Pandangan mata Bima terlihat santai sejenak, tetapi kemudian ia mengerutkan keningnya, berjalan mundur dan memutar badannya, dalam sekali hentakan menarik Weni dan berjalan ke arah luar kemudian mendorongnya kedalam mobil.

Weni menggosok pergelangan tangan kanannya, pria ini kenapa akhir-akhir ini sangat suka berkali-kali melakukan hal ini.

“Tidak bisakah kamu lebih lembut sedikit?” menunggu Bima duduk dikursi setir, Weni mengeluh kepadanya.

“Dimulai dari beberapa bulan yang lalu, saat kamu masuk kedalam Keluarga Nathan, ini adalah rumahmu, dimasa depan, jika kamu sudah menikah nanti, tempat ini juga adalah rumah tempatmu kembali, kamu tidak perlu merasa tinggal dibawah rumah orang lain, makanan yang ada dirumah dan barang-barang yang ada dirumah, anggap saja seperti rumah sendiri.”

Satu tangan Bima bersandar dibagian jendela mobil sambil memegang kepala dan tangan satunya berada disetir mobil.

Bima bersandar dikursinya dengan perasaan jengkel yang bercampur aduk kemudian mengambil rokoknya, tiba-tiba teringat akan sesuatu mukanya terlihat lebih jengkel lagi, ia menoleh ke arah Weni dan tiba-tiba dadanya terasa sesak.

Terkadang Bima benar-benar jengkel dengan wanita yang pengertian ini, keluhan dan kesempurnaan wanita ini.

Weni menoleh ke arah Bima.

“Aku tahu kalian sangat baik, aku hanya tidak ingin berhutang terlalu banyak kepada kalian.” Ia kembali menatap ke arah depan, menundukkan kepalanya sambil menjawab.

Mereka sudah terlalu banyak membantu dirinya, ia bukanlah orang bodoh, jika tidak ada Keluarga Nathan, dirinya dan Kiki harus melewati hari yang seperti apapun tidak dapat dibayangkan olehnya.

“Meskipun begitu juga tidak sampai harus kekurangan makanan yang ini.” Bima mengomelinya dengan suara rendah dan memukul setir mobil dengan jengkel, kemudian menyalakan mobil dan mengendarai keluar.

Weni yang terkena amarahnya sedikit tercengang, kata-kata dan perilaku pria ini akhir-akhir ini benar-benar susah untuk ditebak, “Kemana kamu membawaku pergi?”

“Makan!” Bima dengan emosi menjawabnya, membelok dengan tajam dan membuat kepala Weni terpentuk bagian kanan kaca jendela mobil.

Weni memegang kepalanya, tidak berani bersuara sedikitpun, pria ini sepertinya sangat tidak senang.

Setelah masuk kearea kota, Weni berpikir sejenak kemudian berkata: “Bisakah kamu tidak membawaku ke restorant barat, aku sudah sangat lapar!”

Weni tidak mengeluarkan suara lagi, tetapi kecepatan mobil sangat jelas melaju makin cepat.

Melihat Nong Jiale yang sangat tidak asing didepan mata, Weni terkejut.

“Kamu juga pernah makan disini?”

Disini, saat ayah dan ibu masih belum pergi keluar negeri sering membawanya kemari, restaurant yang masakannya sangat autentik, hanya saja, tidak disangkanya Bima juga pernah makan ditempat makan seperti ini.

Bima menghela nafas ringan, melihat ke arah Weni sekilas, tidak berkata apa-apa kemudian turun dari mobil dan menutup pintu.

“Ini, ini, kemudian empat sayur ini juga, cepat sedikit ya.”

Baru saja mereka berdua duduk, Bima sudah dengan cepat menulis 4 hingga 6 menu makanan.

Disaat menunggu masakan datang, Weni berdiri untuk pergi melihat ke taman belakang restaurant, disini terdapat sebuah sumur, ia masih teringat disaat pertama kali datang kemari, ia baru saja memasuki Sekolah Dasar, ibunya selalu mengikuti dibelakangnya dan terus-menerus mengingatkannya jangan sampai jatuh kedalam sumur itu.

Hari ini, sumur itu masih ada disitu tetapi orang yang bersangkutan tidak ada disitu.

Weni menarik nafas dalam-dalam, hidungnya agak sedikit pedas.

Mungkin karena dirinya kelaparan, mungkin juga karena tempat ini sangatlah akrab, ia makan dengan sangat lahap. Kebalikan dari Bima, Bima tidak makan terlalu banyak.

Setelah selesai makan dan keluar, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam lebih.

Tidak tahu sejak kapan diluar hujan sudah turun dengan deras.

Mereka berdiri bersampingan didepan restaurant, dengan kompak tidak berjalan maju kedepan, mereka menunggu hujan agak reda sedikit. Meskipun mereka berdua tidak berkata-kata, Weni dengan anehnya merasa bahagia.

“Bima, terima kasih!”

Kata-katanya tersendat beberapa kali, tetapi pada akhirnya pun dapat diungkapkannya keluar.

Terima kasih, disaat dia menghadapi masa-masa yang paling berat, kamu ada untuknya.

Terima kasih, demi Kiki kamu melakukan segalanya.

Terima kasih, telah menganggap dirinya sebagai seorang keluarga.

Bima melihatnya sekilas, menarik tangannya untuk mundur selangkah, “Tidak terasa bajumu sudah basah seperti itu?”

Weni baru menyadarinya, bahu sebelah kirinya sudah basah kuyup, rasa dingin mulai menjalar ketubuhnya, tetapi hatinya tetap merasakan kehangatan.

Suara dering telpon yang masuk memecahkan keheningan ini.

Bima menekan tombol telpon, seketika terdengar suara anak kecil dengan tangisan, “Om Bima, ibuku pingsan.”

Weni dengan jelas melihat jemari Bima yang menggenggam telepon itu sedikit menegang.

“Apa yang terjadi?”

Bima sambil berbicara sambil berjalan ke arah mobil, langkah kakinya sangat cepat, tidak sedikitpun membalikkan kepalanya.

Weni mengetahui ini bukanlah saat untuk memperhitungkan hal ini, mengikutinya dan berdiri disamping mobil kemudian berkata:

“Aku akan naik taxi dan pulang sendiri, kamu pergi langsung saja!”

“Aku antar kamu pulang terlebih dahulu.” Bima saat ini sudah menutup teleponnya.

Weni menggelengkan kepalanya, “Kamu cepat pergi, aku mencari taxi dipinggir jalan sudah bisa!”

Weni menunjuk ke arah belakang, “Ini adalah jalan besar, sangat aman, tidak apa-apa.”

Melihat mobil-mobil yang berlalu lalang, ujung mulut Weni menunjukkan sebuah senyum, tetapi senyumannya tidak sampai kedalam hatinya.

Ini adalah perbedaan, cinta ataupun tidak.

Dingin yang berasal dari dalam hatinya dan tubuhnya, membuat Weni berjongkok ditempatnya berdiri, baru saja turun sedikit hujan tiba-tiba menjadi deras.

Tetapi Weni tidak bergerak sedikitpun, air hujan menyentuh ramburnya dan turun ke tubuhnya, mengalir keujung bibirnya, terasa pahit.

Weni juga tidak menyadari diri sendiri sudah menahan posisi ini berapa lama, hingga angina mulai berhembus kencang, ia baru perlahan-lahan bergerak, berdiri dari posisinya.

Mungkin karena berjongkok terlalu lama, kakinya agak sedikit kesemutan, begitu berdiri kakinya langsung terasa lemas dan membuatnya terjatuh kembali, tangan dan kakinya bertatapan dengan tanah dan membuatnya terluka.

Sakit. Tetapi bagaimanapun juga tidak dapat dibandingkan dengan rasa sakit yang berasal dari dalam hatinya.

Dibelakangnya, terdengar suara pintu besi restaurant yang akan diHutup, ia secara otomatis melihat ke arah belakang, orang tua itu terlihat agak sedikit terkejut melihat Weni yang masih belum pergi, kemudian membawa payung yang berada disamping pintu dan berjalan ke arah Weni.

“Kamu masih belum pulang? Malam ini sepertinya akan ada angin topan, aku lihat cuacanya sepertinya benar-benar akan datang. Bagaimana jika kamu masuk kedalam terlebih dahulu untuk menghindari hujan, kemudian telepon seseorang untuk menjemputmu kemari?

Orang tua itu terlihat berumur kurang lebih 70 tahun, kakinya agak sedikit cacat, tidak terlalu lancar untuk berjalan. Dalam kata-katanya juga terbatuh-batuk beberapa kali.

“Kebetulan sekali, bos kami sudah pulang semua, kalau tidak pasti masih bisa pergi untuk mengantarmu terlebih dahulu.”

Dapat terlihat orang tua ini benar-benar berbaik hati padanya.

Weni menggelengkan kepalanya, “Tidak apa-apa, kamu Hutup saja restaurant, temanku sebentar lagi akan datang untuk menjemputku.”

Weni tidak ingin merepotkan orang tua itu, karenanya, ia sedikit berbohong.

Setelah orang tua itu mendengar perkataan Weni, ia memeberikan payung yang berada ditangannya kepada Weni.

“Kalau begitu payung ini, kamu bawa saja dulu, aku tidak mengunci pintunya terlebih dahulu, jika kamu butuh apa-apa panggil saja langsung.”

“Baiklah, terima kasih!”

Weni menerima payung dari orang tua itu, tetapi tidak membuka payungnya. Mungkin ia harus membiarkan air hujan turun mengguyur tubuhnya untuk menyadarkan dirinya.

Hantupun dapat mengetahuinya, saat dimana ia dan Bima berdiri bersama-sama dibawah ruangan itu tadi, ia ternyata lagi-lagi memiliki sebuah pengharapan kepadanya.

Takut akan membuat orang tua itu menunggu terlalu lama, Weni berjalan ke arah jalan raya, dua sisi jalan raya itu adalah rumah penduduk, sorot lampu jalan raya yang kekuningan saling bertabrakan, angin semakin keras, dapat terdengar terkadang ada barang-barang disamping yang berjatuhan.

Novel Terkait

Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
4 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
5 tahun yang lalu
My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu