Cantik Terlihat Jelek - Bab 26 Anak Itu Meninggal

Bab 26 Anak Itu Meninggal

Langsung saja, benak Sherin menjadi kacau, Devan sepertinya masih meberitahu hal lainnya tapi tidak terdengar lagi olehnya, karena benaknya hanya dipenuhi dengan kata “Simon kecelakaan”.

Secara reflex dia mengenggam tangannya, mengigit erat bibir bawah, muka gelisahnya sampai-sampai menjadi pucat.

Hingga saat dia menghentikan taksi, baru teringat olehnya, tadi tidak bertanya ke Devan, dimana mereka berada?

Berpikir sejenak, lalu menelpon nomor telpon tadi, tapi karena tangannya gemetar, handphone-nya pun terjatuh ke bawah kursi mobil itu.

“Halo….” Sherin mendengar suara Devan menjawab.

“Kalian ada dimana? Kasih tahu aku…. tempatnya.” Suaranya yang gemetar itu sudah agak serak.

“Kamu berikan handphonemu ke sopir, biar aku beritahu dia.” Tidak tahu apakah terdengar oleh laki-laki itu perasaan Sherin saat itu sudah tidak betul lagi, makanya Devan pun menyuruh Sherin memberikan handphone-nya ke sopir.

Kemudian, Sherin terus memanggil sopir itu untuk mengemudi lebih cepat dan cepat lagi.

“Sudah sampai, Non.”

Sherin menganggukkan kepala, mendorong pintu mobil mau turun, baru teringat perlu membayar, mengambil dompetnya dengan tangan yang gemetar heboh itu.

“Sudah lah, tidak perlu tidak perlu lagi, kamu segera turun saja, siapa yang tidak pernah bertemu dengan masalah darurat seperti ini?” Sepertinya sopir itu memahami kondisi Sherin lalu ia pun membantunya membuka pintu mobil, “Rumah sakit yang di depan itu lah yang dikatakan bapak itu tadi.”

Sopir menunjuk ke depan, baru lah Sherin kelihatan, kapan-kapan mobil sudah sampai di rumah sakit di pinggir laut ini, terdengar dari telinganya suara sirene ambulans.

Wanita ini dengan agak sedikit kebingungan mengangguk terhadap sopir.

Angin pinggir laut yang berhembus yang agak menusuk tulang itu pun tidak terasa sama sekali olehnya, karena sekujur tubuhnya sudah dari tadi menjadi dingin.

Dia tadi sampai-sampai tidak berani bertanya ke Devan, sebetulnya Simon tertabrak sampai seperti apa, dia sendiri takut dia tidak bisa menerimanya.

Di dunia ini, hanya tinggal anak itu seorang yang mempunyai hubungan darah dengannya, orang satu-satunya, dia tidak berani membayangkan kalau saja terjadi apa-apa dengan anak itu, apa dia masih ada keberanian untuk melanjutkan hidupnya.

Dia seakan menancap gas ke ruang UGD.

“Dokter, tadi ada seorang anak yang kecelakaan diantar ke sini, kamu tahu tidak dimana?” dia berusaha keras agar suaranya terdengar tidak begitu gemetaran.

Dokter itu melepaskan stetoscope dari lehernya, lalu dengan sangat emosi mengatakan: “Kalian ini bagaimana seh jadi orang tua, masih ada hati tidak? sudah berapa lama dari anak itu tertabrak sampai sekarang, kamu kenapa sekarang baru datang?”

Usai berbicara, menarik lengan Sherin, dan berjalan dengan cepat menuju ujung lorong itu.

“Kamu masuk saja, paru-paru anak itu tertusuk membuatnya kehilangan terlalu banyak darah, kita sudah berusaha.”

Usai berbicara, meninggalkan Sherin dan pergi.

Sherin hanya merasakan kulit kepalanya mati rasa, bibirnya juga gemetaran, dia tidak bisa mengontrol kedua kakinya, satu langkah demi satu langkah berjalan masuk.

“Apa kamu adalah keluarganya?” dia merasa ada orang yang mengiringinya.

“Pergi!” Sherin mengulurkan tangannya mendorong orang itu ke samping, dan menelungkupkan badannya ke atas ranjang, tubuh kecil di bawah tubuhnya itu sudah jadi dingin seperti es, dia merasa jantungnya pun seakan mau berhenti berdetak.

Kenapa bisa pergi begini saja?

“Simon, apa kamu sudah lupa bahwa kamu pernah bilang kamu mau menjaga mama seumur hidup? kamu pernah bilang bahwa kamu besar nanti, mau melindungiku, kamu tadi baru saja memanggilku mama? kenapa bisa pergi begitu saja?”

Apakah mama yang mencelakaimu? Kalau mama tidak menemuimu, tidak mencarimu, kamu hari ini juga tidak akan pergi keluar dan kecelakaan ini pun tidak akan terjadi, benar tidak?

Simon, ayo buka lah matamu lihat diriku….”

Dia menangis sampai-sampai seakan-akan tidak dapat bersuara lagi, kedua tangannya gemetaran bersiap-siap membuka kain putih itu.

Melihat kondisinya seperti ini dokter di belakangnya, menariknya dan berkata “Jangan lihat lagi, muka anak itu sudah tertindih sampai tidak berbentuk lagi. Kamu tanda tangan di sini, kita akan mendorongnya ke kamar mayat.” Dokter itu menepuk-nepuk pundak Sherin.

Kamar mayat? Anakku kenapa bisa pergi ke kamar mayat? Dia belum saja melihat anak itu tumbuh dewasa, dia masih belum pernah mendengarnya dengan sah memanggilnya sebagai mama, bagaimana bisa memperbolehkannya diantar ke kamar mayat?

Sherin membalikkan badan, mencengkram kerah baju orang itu, melototinya dengan mata yang besar, dan berteriak mengatakan kepadanya: “Kamu beritahu aku, dia belum mati, ayo katakan!”

Menghadapi emosinya ini dokter itu hanya bisa terus menerus menenangkannya, “Dengan kondisi seperti ini, anak ini pergi, baginya mungkin juga adalah sebuah pembebasan. Ibu, kamu perlu tabah menerimanya.”

“Pembebasan, dia masih terlalu kecil, bagaimana mungkin ini adalah pembebasan? Kamu ini manusia bukan seh?”

Teriakan ini seakan menggunakan semua tenanga dalam dirinya, jadi suara itu pun dengan cepat tersebar di lorong UGD itu.

Selanjutnya, ada bayangan hitam satu besar dan satu kecil berlari ke arah itu.

“Ibu, tolong ibu dengar penjelasanku dulu, anak ibu terlalu kecil, saat dia diantar ke sini paru-parunya sudah tertusuk, ditambah dengan sudah kehilangan begitu banyak darah, kita sudah benar-benar berusaha.”

Dokter itu melihat mata Sherin yang sudah memerah itu menjadi sedikit takut dia bisa melakukan hal-hal yang bodoh, jadi suaranya pun agak sedikit gemetar.

“Bagaimana mungkin sudah berusaha, dia masih begitu kecil, dia masih….” Sherin belum selesai berbicara, matanya menjadi gelap dan hilang kesadaran.

“Mama!”

Ada satu bayangan kecil berlari ke sana, bersamaan dengannya datang juga seorang laki-laki yang besar tinggi. Laki-laki itu memandangi anak itu, dan menyentil dahinya, “Lihat, gagasan bagusmu.”

“Kamu juga bukannya tidak menentang?” anak kecil yang berpakaian baju pasien itu memuncungkan mulutnya.

Saat Sherin sadar kembali, dia pun mencium bau obat di rumah sakit.

Teringat kejadian sebelum dia pingsan itu, langsung terduduk di ranjang, mencabut dengan kuat jarum yang ada di tangannya, mau mengendap-ngendap keluar.

Saat ini, sudah larut malam, Devan baru saja menidurkan Simon di ruang pendamping pasien di luar sana, anak cilik ini bilang dia mau menjaga wanita ini, jadi dia juga tidak bisa apa-apa selain ikut menemani anak itu.

Ini baru saja dia mau menutup matanya beristirahat sebentar, dia pun melihat bayangan orang di ranjang itu duduk, mencabut jarum.

Melihat ini, dia langsung buru-buru ke sana, mengulurkan tangannya untuk menghentikan wanita itu.

“Apa yang kamu lakukan?”

Sherin mendengar perkataan Devan, tubuhnya terdiam dahulu, kemudian melihat raut wajah laki-laki itu tidak ada keanehan itu membuat hati terdalamnya menjadi dingin.

Sorotan matanya terus memandangi laki-laki itu, ada kebencian yang dalam pada pandangan yang jauh itu, dia mengegamkan tangannya ke arah dada laki-laki itu, terus menerus memukulnya, “Devan, bukannya kamu hebat? Kamu kenapa tidak menolongnya, kenapa tidak menolongnya? Dia masih begitu kecil, bagaimana bisa kamu tidak menolongnya…..”

Raut muka Devan menjadi suram, melirik ke Simon yang bersembunyi di depan pintu.

Novel Terkait

Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
3 tahun yang lalu
Pergilah Suamiku

Pergilah Suamiku

Danis
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Jalan Kembali Hidupku

Jalan Kembali Hidupku

Devan Hardi
Cerpen
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
4 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Seberapa Sulit Mencintai

Seberapa Sulit Mencintai

Lisa
Pernikahan
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Wonderful Son-in-Law

Wonderful Son-in-Law

Edrick
Menantu
3 tahun yang lalu