Cantik Terlihat Jelek - Bab 488 Aku Memiliki Seorang Anak Gadis

Tiba-tiba suatu hari, Bima jarang-jarang pulang pada jam awal, pada saat maka dia mengumumkan suatu hal.

"Ayah, Mama, apakah besok malam kalian memiliki waktu? Orang tua Wen Jing berkata ingin bertemu dengan kalian"

Angin topan dan hujan deras yang datang terlalu tiba-tiba, kalimat ini adalah kalimat yang paling sesuai untuk mendeskripsi suasana hati Weni pada saat ini.

Weni menundukkan kepalanya dan terus makan, pada saat menyadari tangannya yang memegang sumpit mulai bergetar, dia pun merasa agak panik.

Untungnya pembantu di lantai atas berteriak, "Nona Weni, Kiki sudah bangun, tetapi dia berkata harus anda yang memakaikan bajunya"

Hari ini adalah hari sabtu, tadi sore Weni dan ibu Bima membawa Kiki pergi membeli sedikit pakaian musim dingin, setelah kembali, Kiki pun berkata mau tidur sebelum sempat makan.

Weni meletakkan sumpitnya, berdiri kemudian mengangguk kepada orang tua Bima sebelum berlari ke lantai atas.

Weni menutup pintu kamar dengan pernapasan sesak.

Kata-kata sudah tidak bisa mendeskripsikan seberapa sakit hatinya sekarang.

Wen Jing, wanita yang memiliki marga yang sama dengan Weni.

Tetapi, Weni tidak mengerti, wanita itu terlihat sama sekali tidak mirip dengan Suya dari sisi apa pun, mengapa Bima bisa jatuh cinta kepadanya?

Awalnya Weni mengira paling tidak Bima akan mencari wanita yang mirip dengan Suya.

Weni menarik bajunya dan berjongkok di lantai, setelah beberapa saat dia tetap tidak merasa agak lega.

"Mama, aku sudah lapar" Sampai Kiki memanggilnya, Weni baru ditarik kembali ke realitas.

Pada saat Weni turun ke bawah lagi, Bima baru selesai makan, melihat Weni mengendong Kiki, Bima segera menghampiri mereka dan mengendong Kiki.

"Kiki, kamu sudah begitu besar, lain kali tidak boleh membiarkan Mama terus mengendong kamu lagi, sangat berat"

Mendengar kata-kata Bima, Weni hanya berdiri di tempat dan menjilat bibirnya tanpa berbicara.

Selain masa sebelum dan setelah insiden orang tua Weni, sikap Weni terhadap Bima selain jahat, dia kembali ke sikap 'penakut' dulu lagi.

Bahkan karena dia tinggal di rumah Bima sekarang, karena merasa terima kasih atas bantuan Bima, sikap 'penakut' itu menjadi semakin berat.

Dulu Weni masih berani saling menatap mata dengan Bima, sekarang, untuk melakukan hal itu saja Weni harus mengumpulkan keberanian dulu.

"Paman, aku sudah mau memliki tante ya?"

Bima melamun sejenak sebelum menatap ke Weni, "Iya, besok, minta Mama membawa kamu pergi menjumpai tante baru kamu, mau?"

"Besok malam aku dan Vema mereka sudah janjian mau makan bersama, Kiki akan ikut aku pergi" Weni menolak dengan segera.

Weni tidak pernah berpikir kemampuan berpikir dan bereaksi dirinya begitu lemah, dia mengira dirinya seharusnya bisa menghadiri acara besok, tetapi, hanya mendengar saja dia sudah merasa begitu sakit hati, kalau pergi besok, Weni takut dirinya tidak bisa menahan.

Seolah-olah sama sekali tidak kaget dengan reaksi Weni, Bima hanya mengangkat sudut mulutnya.

"Kalau tidak kalian mengganti waktu saja? Besok abangmu mau berjumpa dengan menantunya, kamu harus pergi membantu aku mengumpulkan keberanian!" Bima menghalang di depan Weni dan berkata dengan nada suara biasa.

Tetapi, dulu Weni merasa sikap Bima seperti ini biasa saja, hari ini dia merasa sedih dan ingin menangis.

Membantu mengumpulkan keberanian? Weni hanya ingin meghancurkan acara besok saja.

Weni menundukkan kepalanya, sama sekali tidak berani menatap mata Bima, "Aku... aku tidak pintar berbicara juga, aku pergi pun tidak bisa membantu apa-apa"

"Jangan-jangan kamu tidak menyukai Wen Jing?"

Bima memperpanjang suara mengucapkan kata terakhir dan membawa sedikit aura lucu.

Weni berpura-pura memasang ekspresi mana mungkin, "Tidak, dia lumayan baik kok! Orang yang abang suka mana mungkin bisa tidak baik?" Seperti Suya......

Tetapi, dari awal sampai akhir, Weni tidak mengangkat kepalanya.

Jadi, Weni juga tidak melihat ekspresi Bima.

Dia hanya merasa Bima berhenti beberapa saat sebelum berkata, "Kalau adik tidak suka, besok jangan ketemu dulu?"

Weni menarik nafas dan otaknya terasa kosong, dia menatap ke Bima, "Tidak ada, aku pergi! Aku pergi!"

Kali ini Weni melihat ekspresi Bima dengan jelas, wajahnya memiliki senyuman ringan, mendengar kata-kata Weni, dia hanya mengangguk dengan ringan dan berkata kepada Kiki, "Ayo, paman bawa Kiki pergi makan dulu"

Suasana hati Bima terlihat sangat bagus, tetapi Weni mengigit bagian bawah bibirnya dan merasa sangat sedih.

Menyuruh dia melihat Bima berpasangan dengan wanita lain? Mengapa bisa begini?

Malam hari, kamar Bima.

"Bima, ada satu masalah, setelah berpikir Mama memutuskan mau membahas dengan kamu"

Waktu Weni dan Bima sedang berbicara, ibu Bima yang duduk di sofa tidak jauh dari mereka mensaksikan seluruh proses percakapan mereka, setelah berpikir, ibu Bima merasa harus bertanya kepada anaknya.

Bima melepaskan jam tangannya dan meletak di lemari samping tempat tidur.

Kemudian dia menoleh ke ibunya, "Mama, ada masalah apa? Mengapa ekspresi kamu begitu serius?"

Ibu Bima duduk di atas kursi, sepertinya dia sedang berpikir harus bagaimana berkata.

"Kamu mau berkata atau tidak, kalau tidak aku mau pergi mandi, jarang-jarang bisa pulang lebih awal" Sambil berkata, Bima menguap dengan gaya berlebih-lebihan.

"Mama tidak mengerti kamu" Setelah menatap anaknya beberapa saat, ibu Bima berkata.

"Kemarin kamu berpikir segala cara meminta aku dan ayahmu menyuruh orang tinggal di sini, nantu mengaku dia sebagai keluarga, nanti membujuk dia dengan cara mencuci otak, Mama mengira kamu menyukai dia, tetapi.... mengapa sekarang keluar satu Wen Jing lagi?"

Ibu Bima masih ingat, hal itu terjadi pada 4 bulan lalu.

Suatu hari, Ibu Bima menerima telpon Bima pada saat dia sedang spa, Bima meminta bantuannya.

Ibu Bima sedikit tidak bisa menerima setelah mengetahui seberapa ribet masalah ini, dia benar-benar tidak bisa menyukai seorang wanita yang mengandung anak orang lain di belakang suaminya.

Tetapi, Bima tidak pernah meminta tolong apa pun sejak kecil, setelah berpikir, Ibu Bima menuruti permintaan Bima.

Ibu Bima membantu Bima membujuk ayahnya dan membatu akting bersamanya.

Setelah itu, Ibu Bima benar-benar menyukai Kiki, ditambah setelah berinteraksi dengannya, Ibu Bima merasa personalitas Weni jauh lebih bagus dari ekspektasinya, setelah berpikir mungkin semua ini adalah takdir, Ibu Bima pun memperlakukan Weni dan Kiki dengan tulus.

Kemarin Wen Jing datang, Bima berkata itu hanya rencana Suya untuk kakek dan nenek Bima.

Tetapi, Ibu Bima tidak mengerti mengapa Bima bisa bertemu dengan orang tua Wen Jing.

Bima melihat ke arah kamar seberang dengannya yang dipisahkan oleh sebuah tangga, kamar itu adalah kamar Weni.

"Mama, aku hanya merasa dia kasihan, orang berkata, sekali menjadi suami istrinya, budinya itu selamanya, aku hanya berusaha sebisa mungkin untuk membantu dia, dari mana aku menyukainya?"

Setelah berkata dengan nada suara santai, Bima melepaskan bajunya dan melempar ke samping.

Ibu Bima melamun sejenak, selanjutnya dia berdiri dengan alis mengerut dan ekspresi yang marah, "Kamu... bukannya kamu sedang sembarang bertingkah kalau begitu?"

Ibu Bima mengangkat tangannya dan memijat dahinya, "Kamu merasa dia kasihan, kita bisa memberikan dia rumah dan uang, bisa memberikan dia banyak bantuan, kamu.... mengapa kamu harus memilih cara seperti ini membuat dia tinggal di rumah?"

Bima menyandar di dinding membesarkan matanya secara sengaja dan memasang ekspresi tidak percaya setelah mendengar keluhan ibunya.

Bab 488 Aku Memiliki Seorang Anak Gadis

"Mama, bukannya kamu ini jelas sudah mendapat keuntungan masih pura-pura rugi? Dia menjadi anak gadis kamu, kamu bisa rugi?" Bima memeluk bahu ibunya dan meminta dia duduk dulu.

"Weni adalah orang yang tahu berterima kasih dan orang yang bisa mengontrol diri, dia tidak akan berpikir mau mengambil kekayaan kalian, sementara kalian juga menyukai Kiki, kamu lihat, sejak dia berpindah masuk, suasana hati kamu dan ayah menjadi jauh lebih baikan, aku merasa Mama harus merasa senang dan berterima kasih kepada aku, mengapa menjadi aku yang sembarang bertingkah lagi?"

Mulut Ibu Bima terbuka, dia menatap ke anaknya sendiri dan menarik sebuah nafas berat, kemudian dia menusuk ke bahu Bima dengan jarinya sebelum memejamkan matanya.

"Mama mengaku aku dan ayahmu memang menyukai dia dan Kiki, kami berdua yang sudah pensiun tiba-tiba ditemani oleh dua orang, kami juga merasa suasana rumah menjadi agak ramai, tetapi Mama takut kalau orang lain mengetahui hubungan kalian dulu bisa mempengaruhi pernikahan kamu pulak. Tinggal bersama mantan istri itu merupakan masalah yang sangat serius, kamu... aku benar-benar sudah mau muntah darah"

Bima menggerakan bahunya, "Tenang saja, tidak akan ada yang tahu, lagian kalau istriku begitu pelit dan tidak bisa membedakan masalah benar dan salah, aku juga tidak mau bersama dengan wanita seperti itu"

Sikap santai dan tidak peduli Bima membuat Ibu Bima merasa tekanan darah sudah mau meninggi.

Bertemu dengan anak yang melakukan kelakuan mereka tidak bisa mengerti, untuk pertama kali Ibu Bima merasa kecerdasan dirinya juga tidak berguna.

Weni yang berdiri di depan pintu memegang piring berisi buahnya dengan erat agar dia tidak jatuh ke lantai.

Awalnya Weni datang karena mau membahas dengan Bima agar dia tidak pergi ke acara besok, mental dia benar-benar tidak bisa menerima.

Tidak menyangka malah mendengar begitu banyak hal.

Ternyata, alasan utama Weni bisa tinggal di sini bukan orang tua Bima menyukainya.

Ternyata, alasan utamanya adalah Bima meminta tolong kepada orang tuanya agar merek kasihani dia.

Ternyata mereka sama sekali tidak pernah menyukai dia.

Walaupun Weni adalah orang yang begitu berprestasi di mata Bima.

Di dalam masalah cinta, orang lain tidak akan mencintai kamu walaupun kamu baik.

Weni, sudah begini kamu masih tidak mau menyerah?

Kembali ke kamarnya, Weni mengurung dirinya di dalam kamar mandi dan menangis sangat sangat lama.

Weni terus berkata kepada dirinya, setelah selesai menangis malam ini, dia harus menyembunyikan cinta ini yang tidak akan pernah dapat balasannya.

Subuh.

"Weni, mengapa matamu menjadi begitu bengkak?"

Waktu sarapan Ibu Bima bertanya.

Weni mengigit roti sebelum memegang matnaya, "Sepertinya aku minum terlalu banyak air semalam"

Setelah berkata, Weni menoleh ke Bima, "Bang, malam ini makan dimana? Nanti kamu mengirim alamatnua ke aku, aku akan pergi setelah pulang kerja"

Weni berkata dengan nada suara jelas dan lancar, bahkan tatapannya memiliki senyuman.

Bima yang melihat ekspresi Weni jelas melamun sejenak dan gerakan mengunyah makanannya pun berhenti, dia merasa Weni menjadi agak berbeda, tetapi dia tidak bisa berkata lebih jelasnya di bagian mana!

Bima mengeluarkan sebuah batuk ringan dan mengangguk, "Baik, nanti aku mengirim kepada kamu"

Kiki tetap diantar oleh orang tua Bima ke sekolah, kedua orang tua Bima sepertinya sangat menyukai 'pekerjaan' ini, sehingga Weni pun tidak berkata mau merebut pekerjaan tersebut.

Weni menghampiri Bima dan memanggilnya dengan sopan : "Bang"

"Masuk ke dalam mobil, aku antar kamu pergi kerja"

Weni menggelengkan kepalanya, setelah berpiir dia menoleh ke sisi jendela, "Tidak perlu, bang, jalan kita tiak searah, sekarang jam macet juga, aku duduk bus di depan saja"

Setelah berkata, Weni berjalan melewati mobil Bima dan menuju ke jalan depan.

Di jalan depan memiliki tempat bus berhenti.

"Ti ti" Suara klakson berdering lagi, Weni mengerutkan alisnya, dia ingin memberi tahu Bima benar-benar tidak perlu.

"Halo Weni!" Sebuah suara agak familiar berdering dari belakang.

Weni melamun sejenak dan menoleh ke belakang, kebetulan bertabrak dengan tatapan Altius, "Kamu... salam kenal!"

Sejak pertemuan kemarin dilihat oleh orang tua Bima, Weni sudah tidak kontak lagi dengan Altius.

Altius pernah mencoba untuk menambah Weni sebagai teman beberapa kali di sosial media, tetapi Weni tidak pernah menerimanya.

Alasan pertama adalah Weni merasa dirinya masih tidak bisa melepaskan Bima, sangat tidak adil untuk Altius kalau Weni menerima dia begitu saja.

Alasan kedua adalah keberadaan Kiki, hal ini membuat Weni tidak memiliki kepercayaan yang cukup bahwa Altius akan menerimanya.

Setelah itu, insiden orang tua Weni pun terjadi dan Weni pun tidak berpikir tentang hal itu lagi.

Pertemuan seperti ini membuat Weni merasa sedikit canggung.

Weni memijat dahinya sambi menjilat bibirnya.

"Kamu juga tinggal di sini ya?"

Satu kalimat ini menjelaskan bahwa Altius juga tinggal di sini.

Weni mengangguk, "Iya aku tinggal di rumah tante, di atas sana saja" Weni sembarang menunjuk.

Pada saat menoleh ke belakang, Weni kebetulan melihat Bima yang berada di jarak tidak jauh darinya, sebelum Weni sempat berekasi, Bima tiba-tiba mengulurkan ibu jempolnya kepada Weni sebelum mengendari melewatinya.

Debu yang bertebaran menghalang tatapan Weni.

"Kamu mau kemana? Biarkan aku antar saja!"

Weni melamun sejenak sebelum menggelengkan kepalanya, "Tidak perlu, aku naik bus saja, terima kasih ya!"

Sampai usia sekarang, Weni tidak pernah berpacaran, kesempatan dia berinteraksi dengan pria juga sangat seidkit, jadi, Weni tidak begitu tahu harus bagaimana menghadapi keramahan Altius.

"Mau aku yang turun membuka pintu untuk kamu?"

Jelas, Altius tidak bermaksud mau menyerah.

"Ah? Tidak perlu!"

Akhirnya, Weni pun masuk ke dalam mobilnya dan duduk di tempat penumpang.

"Iya, apakah kamu tahu bangunan di jalan Jiu Xing itu?" Weni mengatakan nama sebuah bangunan yang agak terkenal di sekitar tempat kerjanya.

Altius mengangguk, "Sabtu minggu masih harus lembur kerja?"

"Iya, ada sedikit urusan"

Setelah perjalanan sekitar beberapa ratus meter.

Altius berkata : "Aku bertanya masalah tentang kamu beberapa kali kepada Hutu, setelah itu dia ada menceritakan masalah kamu...."

Pegangan Altius pada alat steril mengerat, kebetulan waktu itu lampu lintas merah, Altius menoleh ke Weni dengan ekspresi yang sedikit berat, "Aku turut berduka!"

Ada beberapa masalah, mau seberapa lama pun dia berlalu, orang yang mengalami tetap akan merasa sedih ketika masalah tersebut dibahas lagi, mendengar Altius berkata tentang orang tuanya yang sudah meninggal, hidung Weni terasa masam, dia berusaha berkata dengan nada suara meahan air mata, "Terima kasih!"

Selanjutnya, suasana di dalam mobil pun menjadi sunyi.

Setelah sampai di tempat tujuan, pada saat Weni sedang melepaskan sabuk pengaman, Altius tiba-tiba bersuara : "Kalau ada yang membutuh bantuan aku, silahkan katakan saja"

Weni menatap ke Altius, dahinya sudah dibasahi oleh keringat, sudut mulutnya yang sedikit bergetar itu menunjukkan dia merasa sangat gugup.

Perasaan dan ekspresi seperti ini terlalu familiar untuk Weni, ada banyak kali, ekspresi ini merupakan ekspresi Weni ketika dia bertemu dengan Bima.

Weni menyipitkan matanya dan berkata : "Altius, apakah kamu sudah mendengar aku memiliki seorang anak gadis?"

Novel Terkait

Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
5 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
5 tahun yang lalu
Aku bukan menantu sampah

Aku bukan menantu sampah

Stiw boy
Menantu
4 tahun yang lalu
Akibat Pernikahan Dini

Akibat Pernikahan Dini

Cintia
CEO
5 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Cinta Adalah Tidak Menyerah

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Clarissa
Kisah Cinta
5 tahun yang lalu
Jalan Kembali Hidupku

Jalan Kembali Hidupku

Devan Hardi
Cerpen
5 tahun yang lalu