Cantik Terlihat Jelek - Bab 471 Percobaan

Tanpa berkata apa-apa, Bima mengendong Weni meninggalkan tempat dengan wajah tenggelam.

Sementara Rambo dan Mimi mengikuti di belakang dengan ekspresi yang kurang bagus.

"Seharusnya ambulan sudah mau datang" Weni berkata setelah melihat orang yang mengikuti Bima menekan tombol elevator.

"Diam!" Bima melirik orang itu dengan nada suara yang tidak ramah.

Menatap wajah Bima, Weni yang kesakitan bahkan merasa tabrakan ini lumayan pantas.

Di dalam rumah sakit.

"Pasien menderita gegar otak yang ringan, cukup istirahat beberapa hari saja sudah bisa sembuh"

Weni menjilat bibirnya sambil mengelus kepalanya sendiri.

"Maaf ya, aku membuat kamu merasa cemas"

Setelah berkata, Weni menundukkan kepalanya, tidak berani menatap ke Bima.

"Weni, kamu.... mengenal Bima?" Melihat interaksi kedua orang, Mimi pun bertanya.

Bima tidak bereaksi, dia meletakkan kedua tangannya di dalam saku celana sambil menunggu jawaban Weni.

"Itu, aku bertemu dengannya waktu Vema menikah, dia adalah teman Eli"

Setelah berkata, Weni menoleh ke arah lain, tidak berani menatap ke Bima.

"Oh, Direktur Bima, tadi benar-benar telah merepotkan kamu"

Awalanya Weni mengira sampai sini sudah tidak ada masalah dengan Bima lagi?

Tetapi, tidak mengira Bima malah berkata : "Masalah keluarga yang sekecil ini saja tidak bisa selesaikan, apakah saya boleh meragukan kemampuan bekerja manager Rambo?"

Nada suaraya sangat dingin, ekspresi dia terlihat sangat dingin dan tinggi hati, Bima yang seperti ini membuat Weni merasa sangat asing.

Di dalam kesannya, penampilan pria ini itu antara santai bermain, atau tidak peduli dengan apa pun.

Kedinginan Bima pada saat ini membuat Weni merasa takut dan asing kepadanya.

Bima menarik sebuah kursi dan duduk di depan Weni.

Jelas, ketiga orang itu tidak berpikir Bima akan berkata seperti itu.

Weni pun merasa agak senang dari dalam hati.

Sementara Mimi menarik nafas, dia berdiri di samping dengan ekspresi yang kaku.

Keringat sudah mulai membasahi dahi Rambo, dia tidak memiliki latar belakang yang kuat, tidak ada yang tahu dan bisa mengerti seberapa banyak usaha yang dia keluarkan untuk mencapai posisi hari ini.

Awalnya Rambo mengira, masalah dia bercerai, paling tidak hanya Mimi yang merajuk, hanya menghiburnya bisa menyelesaikan semua masalah, tidak menyangka, masalah akan menjadi begitu.

Kedua tangan Rambo merada di kedua sisi tubuhnya, dia terlihat sangat gugup.

Penampilan dia sekarang berbeda secara total dengan penampilannya waktu bercerai.

"Direktur Bima, anda salah paham, saya dan Rambo hanya berantem saja, hubungan kita lumayan bagus, hari ini adalah salah saya, seharusnya saya tidak... tidak merajuk sampai ke kantor"

Mimi tiba-tiba bersuara, hanya saja suara dia semakin kecil ketika berkata sampai akhir.

Mendengar kata-kata Mimi, mulut Weni terbuka dan dadanya naik turun, dia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Mimi, masalah sudah sampai sini, pria sampah seperti ini mana masih pantas dia begitu, bahkan tidak berkata tentang keburukan dia sudah termasuk sebuah budi yang besar.

Sementara Bima menoleh ke Weni, "Kalau cuman masalah suami istri berantem, buat apa kamu ikut campur?"

"Aku....aku..."

"Weni, Rambo sudah tahu dia bersalah, dia pasti tidak akan berantem bersama aku lagi, semalam aku pergi rumahmu sambil menangis, kamu pasti terkejut kan?"

Mimi tiba-tiba memotong kata-kata Weni, dari arah yang Bima tidak melihat, Mimi memberi kode meminta tolong kepada Weni.

Masalah sudah sampai sini, Weni masih bisa berkata apa?

Weni berkata dengan suara kecil : "Yang penting, kalau lain kali dia masih begitu kepada kamu, aku tetap akan pergi ke kantornya mencari dia"

Setelah berkata, Weni berhenti beberapa saat sebelum menambah.

"Mimi, kalian pulang dulu saja, aku mau berbaring di sini sebentar, aku baik-baik saja, nanti aku akan pulang" Weni tahu, di bawah kondisi seperti ini, masalah akan menjadi semakin merepotkan jika Weni berada semakin lama di sini.

Mimi sudah meminta tolong, Weni hanya bisa membantu dia.

Rambo memberikan Weni sebuah tatapan yang berterima kasih.

Weni menoleh ke arah lain, dia bukan sedang membantu Rambo, dia hanya tidak tega melihat Mimi sakit hati.

"Tidak apa-apa, aku menemani kamu di sini saja, Direktur Bima pasti sibuk kan? Biarkan dia pergi dulu saja!"

Mimi tidak mau meninggalkan rumah sakit, Weni menjadi begitu karena dirinya, dia tidak bisa pulang duluan.

"Benar, Direktur BIma, tidak perlu merepotkan kamu lagi, aku...."

"Kamu mengalami cedera di kantorku, aku memiliki tanggung jawab menemani kamu" Seolah-olah tahu apa yang Weni mau katakan, Bima langsung memotong kata-katanya.

Setelah itu, Mimi dan Rambo pun 'diusir' oleh Bima.

Di dalam ruangan hanya sisa mereka berdua.

Weni merasa sedikit tidak nyaman, dia berpura-pura memejamkan matanya dan tidak melihat ke Bima.

"Beberapa tahun tidak bertemu, keberanianmu berubah menjadi sangat besar ya, masalah seperti ini pun kamu berani ikut campur"

Bima kembali ke penampilan yang Weni familiar, dia menaikkan salah satu kakinya sambil menatap ke Weni.

"Aku..." Weni ingin menjelaskan, tetapi baru saja mulai berkata, dia mulai merasa gugup lagi.

Meskipun tingkah laku Mimi tadi terlalu merendahkan dirinya, tetapi bagaimana orang luar bisa mengerti masalah cinta?

Akhirnya, Weni pun tidak berkata apa pun.

Setelah berpikir, dia memutuskan untuk berganti topik, "Mengapa kamu bisa tiba-tiba muncul?"

Bima tidak menjawab Weni, dia berdiri dan menuangkan segelas air untuknya, "Bagaimana kabar kamu dalam beberapa tahun ini?"

"Ah?" Weni melamun sejenak karena tidak menyangka Bima akan bertanya tentang ini.

Waktu bertemu kemarin, Bima tidak bertanya apa-apa, Weni bahkan mengira Bima sama sekali tidak peduli dengan kabarnya beberapa tahun ini.

Akhirnya Weni tertawa dengan sopan, "Lumayan baik!"

Untuk mengurangi beban orang tuanya, Weni bekerja kantoran pada pagi hari, menjaga Kiki pada malam hari, waktu baru melahirkan Kiki, kesehatan Kiki kurang bagus, dia terus menderita flu dan demam pada malam hari.

Weni ingat sudah banyak kali dia mengendong anaknya ke rumah sakit sendiri pada tengah malam, karena takut orang tuanya risau, Weni selalu pergi sendiri.

Setelah anaknya menjadi agak besar, pengeluaran pun ikut menjadi tinggi.

Ibu Weni berkata, kalau mau pergi ke sekolah yang lebih bagus, syaratnya harus memiliki rumah.

Sementara rumah yang dimiliki orang tua Weni berlokasi di daerah kcil yang tidak begitu bagus.

Demi masa depan Kiki, Weni ingin menabung lebih banyak uang, sehingga dalam beberapa tahun ini, dia bahkan tidak tega membeli baju dan barang perawatan yang lebih bagus.

Waktu pagi hari Kiki akan pergi les, sementara sekarang Weni pun menambah satu pekerjaan lagi, jadi Weni sering lembur sampai subuh setelah Kiki tertidur.

Alasan mengapa rambut Weni bisa begitu pendek itu karena tekanan hidup dia terlalu berat sehingga rambutnya mengalami rontok parah, akhirnya dia pun tidak bisa memiliki rambut panjang lagi.

Jadi, kabarnya baik? Tidak mungkin!

"Belum mendapat pasangan yang sesuai?" Bima mengulangi pertanyaannya.

Melihat sikap Bima yang tidak peduli, tidak tahu mengapa, Weni tiba-tiba merasa sangat sakit hati, hidungnya terasa masam dan matanya dipenuhi oleh uap air.

Dia menundukkan kepalanya dan menarik nafas, kemudian pura-pura berkata dengan nada suara ringan.

"Ada mendapat satu, aku masih sedang memikirkan"

Novel Terkait

Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
5 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu
Dark Love

Dark Love

Angel Veronica
Percintaan
5 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
5 tahun yang lalu
Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
4 tahun yang lalu