Cantik Terlihat Jelek - Bab 493 Seharusnya Itu Clover

Pada saat itu Bima baru bangun.

"Bima....."

Bima berdiri dan membuka pintu, melihat Bima baik-baik saja, Ibu Bima baru menghela nafas lega.

"Apa yang terjadi? Kamu membuat ibu kaget!"

"Semalam aku tidurnya agak telat" Bima memijat dahinya dan berjalan ke kamar mandi dengan gaya berpura-pura tidak apa-apa.

Setelah beberapa detik......

"Bima, kamu kenapa berdarah?" Suara teriakan tiba-tiba terdengar, handuk yang dipegang Bima pun jatuh ke lantai.

Bima memejamkan matanya, setelah menghela nafas, dia mengambil handuk yang jatuh dan meletaknya di atas wastafel.

Setelah itu, dia mengambil alat pencukur kumis dan mengores paha bagian dalamnya, darah segar berwarna merah pun mengalir dari luka, sudut mulut Bima bergetar setelah berpikir tentang kejadian semalam.

Pada saat pendarahan berhenti, Ibu Bima mengetuk pintu kamar mandi, "Anakku, kamu kenapa? Kenapa bisa berdarah?"

Bima mengeluarkan nafas ringan sebelum membuka pintu kamar mandi.

Kemudian Bima menunjuk ke tong sampah di belakangnya yang berisi kertas tisu yang memiliki bekas darah, setelah itu Bima membuka gaun mandinya dan menunjuk ke bagian padanya, "Tadi malam aku tidak hati-hati mengores kakiku, sudah tidak apa-apa"

Gerakan Bima terlalu cepat sehingga ibu Bima tidak bisa melihat luka Bima itu luka baru atau lama dengan jelas, tetapi Ibu Bima menghela nafas lega setelah melihat kertas tisu di dalam tong sampah.

"Sudah berapa tahun masih seperti anak kecil, berjalan saja tidak bisa hati-hati?"

Sambil berkata, Ibu Bima melemparkan selimuat Bima ke dalam keranjang, "Sudah, cepat pergi makan siang dulu"

"Mama, aku ada sedikit urusan darurat harus pergi ke kantor, tidak sempat makan di rumah"

Melihat Bima keluar dari rumah dengan buru-buru, Ibu Bima menggelengkan kepalanya, "Benar-benar seperti anak kecil"

"Weni, makan"

Weni mengangguk dan melepaskan seragam kerjanya, setelah melegakan dirinya, beberapa adegan dan masalah yang frustrasi pun muncul kembali di otaknya.

Weni duduk di depan meja kerjanya dan merasa tidak berselera.

"Weni, ponselmu berdering" Rekan kerjanya mengetuk meja Weni dan mengingatnya.

Weni yang baru saja kembali ke realitas melamun lagi setelah melihat ke layar ponselnya.

Kemudian dia pun mematikan telpion dengan panik.

Setelah beberapa saat telponnya berdering lagi, Weni terus menolak untuk menerima.

Kemudian suasa pun menjadi hening.

Weni menghela sebuah nafas dengan berat dan berdiri untuk pergi ke kamar mandi.

Sebelum Weni sempat berdiri, dari belakangnya terdengar beberapa suara.

"Selamat siang Direktur Bima"

"Selamat siang Direktur Bima"

Selanjutnya, sebuah banyangan tubuh yang tinggi mengelilingi Weni, dia berputar balik badannya dan berpapasan dengan tatapan Bima yang seperti ingin membunuh orang, Weni menelan air liurnya dan memegang sudut meja secara refleks.

"Bang, kamu... mengapa kamu bisa datang?"

"Kamu mau berbicara di sini atau ke bawah?" Bima berbisik di telinga Weni dengan suara agak serak.

Weni menjilat bibirnya, berdiri dan mengikuti Bima berjalan ke lantai bawah tanah tempat parkir.

"Mengapa tidak mengangkat telponku?"

"Tadi sibuk!" Weni sebenarnya tidak berbohong.

Suasana di dalam mobil menjadi sunyi, yang bisa didengar hanya suara bernafas Bima dan Weni.

"Bukannya kamu harus menjelaskan masalah semalam?"

Weni mengangkat kepalanya dan menoleh ke Bima sambil berpikir apa yang Bima ingin dia jelaskan, seharusnya masalah tentang berdarah?

Tetapi, bagaimana menjelaskan kepadanya?

"Weni!" Bima memanggilnya dengan nada suara tegas.

Weni mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan ke Bima hasil pencarian informasi semalam.

Selanjutnya, ekspresi Bima mulai berubah, tidak bisa dibilang itu ekspresi tidak senang atau apa.

"Kamu mau bagaimana?" Bima mengembalikan ponsel Weni kepada dia sambil menatap ke jalan depan.

Mau bagaimana? Weni melamun sejenak sambil menggosok kunci pintu mobil dengan tangannya, setelah itu dia menoleh ke Bima, "Kita mendapatkan kebutuhan masing-masing semalam, aku tidak akan meminta kamu tanggung jawab"

Bima menatapnya dengan sudut mulut terangkat, setelah beberpapa saat dia tiba-tiba menoleh ke Weni.

"Kalau tidak kita menikah saja, kamu kan ingin menikah, kebetulan aku juga"

Tubuh Weni menjadi tegang dan ekspresinya menjadi berat, setelah beberapa saat dia menggelengkan kepalanya, "Aku tidak akan menikah dengan pria yang tidak menyukai akui"

Kalau mau menikah dengan Bima, Weni tidak akan menunggu sampai hari ini, pada saat mengandung Kiki dia sudah akan melakukan hal ini.

Mungkin, Weni akan menikah dengan seseorang yang dia tidak cintai, tetapi di dalam pemikirannya dia tidak ingin menikah dengan Bima yang tidak mencintainya.

"Kamu....bukannya semalam kamu berkata, asal ada pria yang menginginkan kamu, kamu akan menerimanya?" Nada suara Bima terdengar agak cemas.

"Itu kalau dia menyukai aku!" Weni menjawab.

Bima menatap Weni dengan dalam, sikunya menyandar di jendela dan alisnya mengerut.

"Kalau tidak ada masalah lain, aku naik dulu"

Bersama dengan Bima membuat Weni merasa sesak.

Sambil berkata, Weni pun membuka pintu mobil, kakinya belum sempat melangkah keluar dan perhatian Weni langsung tertarik ke sepasang pria dan wanita yang berjarak tidak jauh dari mereka.

Itu adalah......... Raven dan satu wanita.

Raven berdiri di posisi seberang mereka, kedua tangannya berada di dalam saku dan alisnya mengerut.

Sementara wanita itu setengah menyandar di mobil, wanita itu memiliki wajah yang sangat cantik dan mempesona.

Dari jarak jauh ini, Weni tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka katakan, tetapi wanita itu jelas bersikap agak emosional, dia menghalang Raven dengan satu tangan dan menyeka air matanya dengan satu tangan lagi.

Selanjutnya, Raven sepertinya menyerah, dia menundukkan kepalanya dan membuka pintu mobil bagian belakang agar wanita itu masuk ke dalam.

Kemudian mobil pun meninggalkan tempat.

Weni menelan air liurnya, dia menutupi mulutnya dengan wajah tidak percaya.

Raven bukannya bersama Hutu? Mengapa bersama dengan wanita lain lagi?

"Bolehkah kamu membantu aku mengikuti mobil itu?" Weni menoleh ke Bima.

Suasana di dalam mobil menjadi tertekan.

Cetaakkk-------

Suara menyalakan api terdengar, Bima menyalakan sebatang rokok: "Kamu lebih baik mengurus masalah kamu sendiri saja, jangan ikut campur masalah orang lain"

Setelah berkata, Bima menghisap rokoknya dan asap putih pun memenuhi wajahnya, hal ini membuat Weni tidak bisa melihat ekspresi Bima.

Di dalam ingatan Weni, Bima sangat jarang merokok, Weni membuka jendela dan berkata : "Kalau kamu tidak mau membantu, aku pergi sendiri"

Sambil berkata, Weni pun ingin turun dari mobil, Weni mengerti perasaan Hutu terhadap paman mudanya ini, meskipun tidak bisa membantu, Weni merasa dia harus membantu Hutu mencari tahu masalah dengan jelas setelah melihat adegan tadi.

Bima mengulurkan tangannya dan menarik Weni, kemudian dia memadamkan rokoknya dan menatap ke Weni dengan ekspresi tidak berdaya.

"Kalau aku tidak salah meihat, seharusnya wanita itu adalah nyonya presiden Ningga Group yang bernama Clover, tidak seperti apa yang kamu pikirkan"

Novel Terkait

My Tough Bodyguard

My Tough Bodyguard

Crystal Song
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
3 tahun yang lalu
Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
4 tahun yang lalu
Mi Amor

Mi Amor

Takashi
CEO
4 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
4 tahun yang lalu