Cantik Terlihat Jelek - Bab 104 Sherin Pergi dengan Cara yang Berbeda

Bab 104 Sherin Pergi dengan Cara yang Berbeda

Di stasiun kereta, Sherin memeluk tas di dalam pelukan, merapatkan bibir, kepala agak menengadah, tapi tetap tidak bisa menghentikan air mata yang terus mengalir.

Dia berpikir, dia benar-benar jatuh cinta pada Devan.

Kalau tidak, saat ini dia ingin pergi, dia tidak akan begitu sakit hati.

Hatinya berterima kasih pada Devan, juga tersentuh amat dalam olehnya, karena bagaimanapun, pria yang tampan sungguh banyak, pria kaya juga sangat banyak, tapi, pria yang perhatian, pengertian serta sayang pada dirinya, malah hanya bisa didambakan, tak dapat dipaksakan.

Devan bersedia mengusulkan pembatalan pernikahannya dengan Gabriel demi dia, makna di tengah hal ini, dia tidak bodoh, dia mengerti.

Namun, semakin begitu, dia semakin merasa bersalah.

Keegoisan mereka berdua, melukai Gabriel.

Dia menundukkan kepala, melihat dua tiket kereta api yang ada di tangannya, satunya bertujuan ke kota Seroja, satunya lagi ke kota Wol.

“Mama …” suara Simon, saat memutuskan untuk pergi, dia tidak bisa melepaskan Devan, apalagi Simon, jadi, berpikir dalam waktu lama, dia memutuskan untuk bertemu Simon sebelum pergi.

“Mama, papaku sudah menyukai kamu, kenapa kamu masih ingin pergi?” Kelopak mata Simon bengkak besar, mata merah, bisa dilihat, dia mestinya menangis amat lama di sepanjang perjalanan datang.

Sherin tidak menceritakan masalah Gabriel padanya, dia merasa walau Simon pintar, tapi bagaimanapun dia masih terlalu kecil, tidak seharusnya menanggung semua ini.

“Simon, masalah orang tua, kamu tidak mengerti, aku dan papamu tidak boleh bersama lagi.”

“Kenapa?”

Sherin tersenyum, menggelengkan kepala, mengelus kepala Simon, kemudian perlahan-lahan menekannya ke dalam pelukan, tidak menjawab, juga tidak tahu bagaimana menjelaskannya, apakah mengatakan pada anak ini, bahwa kebahagiaan dirinya dan papanya hanya bisa dibangun di atas penderitaan orang lain?

“Mama, aku tidak rela kamu pergi.” Simon mengangkat kepala di pelukan Sherin, entah sejak kapan wajahnya sudah penuh dengan air mata.

Sherin merasa hatinya kram, sakit hingga dia tidak bisa bernapas.

Tidak rela? Dia, apakah rela? Namun, dia tidak punya pilihan, meskipun dia bersedia berada di sisi Devan tanpa status apapun, tapi dalam hatinya akan terus disalahkan oleh hati nurani seumur hidup, dia percaya Devan juga demikian, mereka ditakdirkan tidak akan bahagia.

“Mama, apakah kamu benar-benar harus pergi tanpa kecuali?”

Sherin mendongak, tidak berani melihatnya, hanya mengangguk.

“Mama, kalau kamu pergi, apakah masih akan pulang?”

Sherin mengigit bibir, kepala tetap terangkat, dia tidak berani berjanji lagi.

Setelah berlalu amat lama, dia berusaha keras mengatur emosinya dengan baik, berjongkok, bertatapan dengan Simon, “Simon, mama juga tidak rela, tapi, mama mau menikah, jadi, mama tidak bisa terus tinggal di kota ini lagi, paham ya? Setelah mama pergi, Simon harus baik dan patuh, tumbuh besar dengan sehat, seumur hidup ini, mama tidak akan melupakan Simon, mama janji!”

Dia terdiam, perlahan-lahan menarik napas, mengangkat jari, membantu Simon mengusap air mata, “tapi, mama berjanji padamu, Mama pasti akan pulang melihat kamu, oke?” tunggu waktu meratakan semuanya, tunggu Devan dan Gabriel sudah menikah, dia, mungkin akan pulang lagi.

“Kamu bisa menikah dengan papaku saja kan? Kamu bisa menikah dengan papaku saja? Papaku juga menyukaimu, ya kan?” Simon menjawab dengan tergesa-gesa, Sherin berusaha tersenyum, mengelus kepala kecil Simon, berpura-pura berkata dengan santai: “ tapi, aku tidak menyukai papamu? Papamu terlalu luar biasa, aku tidak cocok dengannya.”

“Jangan, Mama, tolong, jangan pergi ya? Simon tidak punya mama, kalau kamu juga pergi, maka tidak ada orang yang baik pada Simon lagi....mama, aku mohon ya? Jangan pergi...”

Saat ini, Simon tidak manja, tidak ada lagi IQ tinggi, hanya seorang anak berusia 5 tahun yang biasa.

“Mama, aku akan mendengar semua perkataanmu, oke? Aku menjadi putramu, oke?” Dia bertanya ulang.

Air mata Sherin, pada perkataan ini, akhirnya tidak bisa ditahan lagi, dia berdiri, memejamkam mata, menarik koper, berbalik badan dengan tegas, melangkah menuju arah pintu check in.

“Mama, jangan pergi!”

“Mama, aku mohon padamu, jangan pergi, oke?”

“Arh… …” Sherin terdengar suara jeritan Simon, membalikkan kepala, langsung nampak Simon yang terjatuh di lantai, refleksnya ingin langsung maju dan mengangkatnya, tapi pada saat kaki diangkat, dia menurunkan lagi, menggigit bibir, dia menarik napas dalam-dalam, membalikkan badan.

“Mama, kamu jangan pergi…?”

“Mama… …”

Dulu belum menjadi ibunya, Sherin tahu rasanya merindukan anak ini, sekarang, dia baru paham, perpisahan antar anak dan ibu, seperti apa rasanya, tapi, bagaimana? Jika tidak meninggalkan ini, maka yang akan menderita adalah semua orang.

Sampai masuk ke dalam area check in, Sherin tetap bersikap tegap, tidak berani memutar kepala ke belakang untuk melihat, dia takut, setelah melihat, dia tidak ada keberanian untuk meninggalkan tempat ini lagi.

Sampai masuk ke dalam kereta, ketika pintu ditutup, saat kereta mulai jalan, barulah dia berjongkok dekat pintu, memeluk kedua lutut, menangis menjerit-jerit.

Dia menangis amat lama, lama hingga orang-orang yang datang pada melihatnya, kemudian, dia mengambil tas di sampingnya, lalu kembali ke tempat duduk semula terlebih dahulu, di sebelahnya, duduk seorang bapak tua, dia dengan ramah menyapa bapak tua itu, setelah itu pun bertanya ke mana bapak tua itu akan pergi?

Mereka bedua mengobrol sebentar, mendengar kereta menyebutkan bahwa sudah mau sampai di tujuan selanjutnya, Sherin bangkit, pergi ke toilet, kereta berjalan, sampai saat kereta berhenti lagi.

Dia baru keluar, dia, bukan dia yang sama.

Kemudian, mengikuti orang-orang, dia sembarang mencari tempat kosong dan duduk kembali.

Pemandangan di luar kereta berjalan mundur, ingatan Sherin juga sedang mundur, mundur sampai hari pertama dia masuk ke rumah Devan… …

Segalanya, seolah-olah seperti mimpi, saat ini, sudah terbangun dari mimpi.

Kereta tiba di tujuan berikutnya, tidak lama setelah berjalan lagi, Sherin terdengar secara samar-samar suara keributan dari kereta di seberang rel lain.

Secara naluriah mengangkat kepala, dia langsung terlihat Devan yang berdiri di tengah-tengah sekumpulan orang berpakaian hitam.

Seperti biasanya, berpakaian jas dan sepatu kulit, dasi tertarik sampai ke posisi kancing kedua, rasanya sedikit berantakan, tetapi di antara kekacauan itu ketampanannya masih saja tidak berkurang. Raut mukanya terlihat buruk nan gelap, walaupun berjarak sangat jauh, tetap bisa merasakan kemarahan dan kecemasannya.

Dia pergi, Devan tentu saja khawatir? Namun, Devan, jika aku berada di sisimu, bagaimana caramu menjagaku? Kita, bagaimana caranya kita berdua meneruskannya?

Tidak mungkin ada kebahagiaan!

Namun, hatinya tetap terasa hangat, paling tidak, dia masih juga mengejar kemari.

Sayangnya….

Dia duduk tegak, melepaskan topi di kepala, menampakkan wajah cantiknya, riasan mukanya lumayan tebal, kehilangan penampilan wajah aslinya, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan kecantikannya yang luar biasa, sweater putih di leher, celana kulit hitam, aroma parfum yang kuat.

Dia, sekali lagi sudah bukan Sherin.

Sejak saat ini, dunia ini, tidak ada Sherin lagi.

Devan, selamat tinggal!

Novel Terkait

Eternal Love

Eternal Love

Regina Wang
CEO
4 tahun yang lalu
Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Renita
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu
Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
5 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
His Soft Side

His Soft Side

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
My Charming Lady Boss

My Charming Lady Boss

Andika
Perkotaan
5 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu