Cantik Terlihat Jelek - Bab 539 Kejamnya Paman Kecil

Raven menatapnya, menarik sudut bibirnya dengan tidak kelihatan, “Dia tidak cocok tinggal di bawah, tinggalnya di lantai atas.”

Selesai bicara, dia memutar badannya, dan keluar dari kamar, “Cuci tangan dulu terus keluar makan mie.”

Tidak cocok tinggal di bawah ? Di lantai atas masih ada kamar ?

Hutu melihat bayangan punggung Raven, kalimat ini terus mengulang di telinganya.

Rasa pahit dan cemburu di dalam hatinya, langsung mulai memudar.

Kane memang terampil dalam memasak.

Hanya mie yang sederhana, namun dapat dimasak menjadi hidangan yang bervariasi.

Setelah selesai makan, Hutu membereskan piring dan sumpit dengan inisiatif, setelah selesai membereskan semuanya, Kane sudah naik ke lantai atas, Raven sedang di dalam ruang buku, dia menuangkan segelas teh, dan mengetuk pintu ruangannya.

“Masuk.” Suara yang rendah menjawabnya, meskipun sangat datar, namun tetap membuat jantung Hutu berdetak debar.

“Paman kecil.”

Hutu memanggilnya, meletakkan gelas di hadapannya.

Namun, dia tetap berdiri di sana.

Kelihatannya dia ada keperluan, Raven memindahkan jarinya yang panjang dari papan ketik, mengangkat gelas itu, dan meminumnya, aroma yang wangi dan rasanya sedikit pahit, membuat orang menjadi sadar dan bersemangat.

Dia mengangkat kepalanya dengan perlahan-lahan, menatap Hutu, pelan-pelan membuka mulutnya, “Masih ada masalah ?”

Hari ini Raven memakai kaos polo yang berwarna abu muda, sepertinya baru selesai memangkas rambutnya, membuat orangnya kelihatan lebih segar dan tampan.

“Paman kecil, kamu besok boleh temani aku ke Universitas T ? Aku...... Aku sedikit buta arah.”

Selesai berbicara, melihat dia sedikit mengerutkan alisnya, Hutu buru-buru menyambung, “Tidak apa-apa, kalau kamu tidak ada waktu, aku.......aku minta Agus Chen saja, jadi, paman kecil lanjut kerja saja.”

Hutu ingin bersamanya, akan tetapi, dia tidak berharap, dirinya akan menjadi sebuah beban baginya.

Kening Raven sedikit berkedut, dia mengangkat matanya dan menatap pada bayangan punggung Hutu, “Besok siang aku temani kamu, sore tidak ada waktu.”

Hutu berbalik badan, mengangguk dengan cepat, asalkan bisa menemaninya, sepanjang siang, atau bahkan satu jam saja.

Sudut mata Raven mengaitkan sebuah senyuman, “Cepat tidur.”

Berbeda dengan rasa tidak nyaman pada pertama kalinya tinggal di sini, pada kali ini, Hutu tidur dengan nyenyak.

Mungkin juga karena tidurnya terlalu cepat, sehingga dia juga bangun dengan pagi.

Sebenarnya dia ingin keluar dan membeli sarapan untuk Raven, tetapi ketika keluar dari kamarnya, sudah terdengar suara pembicaraan mereka berdua.

“Pekerjaan ini, ada pembantu yang mengerjakannya, kamu tamu di sini, tidak peru mengerjakan ini.”

Dia berdiri di lorong, melihat Kane sedang membungkuk badannya dan mengepel lantai, Raven memegang segelas air, dengan ekspresi yang datar, namun bahasanya terkesan menjauh.

Secara refleks, tatapan dia terjatuh pada tubuh Kane.

“Tidak masalah, aku cuma melihat sudah sedikit kotor, jadi sekalian mengepel saja.”

Dibandingkan dengan reaksi Raven yang tenang, perubahan pada suasana hati Kane kelihatannya lebih besar, jika berdiri di posisi Hutu, dia bahkan dapat melihat tangan Kane yang sedikit gemetar.

Dia menoleh dan melihat Raven yang tetap bereaksi santai, dia mencibirkan bibirnya, Raven memang menyakiti perasaan orang dengan cara yang tidak terlihat.

Jelas sekali perasaan dari Kane, tetapi dia malah menyebutnya tamu, menolak perasaan orang dengan sejauh mungkin.

Berpikir sampai di sini, dia juga menarik sebuah nafas yang panjang, apakah saat ini dia harus merasa bersyukur, setidaknya dia memiliki status sebagai keponakannya ?

Jika tidak, jangankan mendapatkan perlakuan yang spesial ini, bahkan untuk mendekati dengannya saja, juga tidak memungkinkan.

Hanya saja......paman dan keponakan ? Ini bukan yang dia mau, bukan.

“Ganti baju, aku bawa kamu sarapan di bawah.”

Kata-kata Raven, menarik kembali pemikiran Hutu, dia memegang ujung rambut sendiri dengan sedikit canggung, menatap Raven, dan mengangguk, “Iya, terima kasih paman kecil.”

Setelah dia selesai mengganti bajunya, dia keluar dari kamarnya, Raven sudah berpakaian rapi dan sedang menelepon di balkon, melihat dia sudah keluar, meminta dia tunggu sebentar.

Beberapa menit kemudian, Raven menutup teleponnya.

Raven berjalan masuk, melihat Hutu yang sedang melamun, dia berbatuk ringan dan berkata, “Ayo.”

Melihat dia sedang ganti sepatu, Hutu menunjuk lantai atas dan bertanya, “Paman kecil, Kak Kane, tidak ikut ?”

Bagaimanapun, kalau meninggalkan dia sendirian di rumah, rasanya segan juga.

Raven mengambil tas kecilnya yang letak di atas rak sepatu, sekalian mengambil kunci dan tas dirinya, menjawab dengan nada datar, “Waktunya tidak sempat, dia sudah berangkat.”

Hutu melihat waktu pada jam di pergelangan tangannya, baru jam tujuh lebih, mana mungkin tidak sempat ?

Kalau memang tidak sempat, mana mungkin masih bantu mengepel lantai ?

Kelihatannya dia pergi karena merajuk dengan paman kecil.

Akan tetapi, dari segi apapun, dia juga tidak boleh banyak bertanya.

Sehingga dia mengangguk kepalanya, mengikuti langkah Raven dan keluar dari rumahnya.

Kawasan lokasi Universitas T dan rumahnya Raven, adalah dua kawasan yang berbeda, dia semalam sudah mempelajari di internet, hambatan perjalanan kalau naik mobil, dari hasil telusuri internet, katanya harus membutuhkan waktu dua jam lebih kalau naik mobil, malahan naik MRT baru menghabiskan waktu satu jam lebih saja.

Pada saat sarapan, dia tetap ingin bertanya.

“Paman kecil, aku.....kita naik MRT saja boleh ? Waktu sekarang sedang ramai, aku takut macet.”

Hanya saja, apabila kalau ingin Raven juga ikut naik MRT, Hutu jadi tidak terlalu yakin.

Raven mengangkat kepala dan meliriknya sekilas, dia ragu sejenak, baru menjawabnya :”Iya, boleh, tetapi, harus pindah keretanya tiga kali, akan sedikit repot.”

Hm, tahu juga harus pindah keretanya tiga kali ?

Hutu muntah lidahnya dengan iseng, kelihatannya dia salah menilai paman kecilnya ini.

Kenyataannya membuktikan bahwa, Raven memang bukan pertama kalinya naik MRT, sepanjang jalan, dia telah menghafal di mana tempat beli tiket, tempat pengecekan, belok kanan belok kiri, hampir tidak perlu melihat petunjuk lagi, sehingga dapat disimpulkan bahwa, jalan ini, dia telah melewatinya berkali-kali.

Hal ini mengubah penilaian Hutu terhadap paman kecilnya, mengubah pengetahuannya terhadap paman kecilnya yang hadir bagaikan Tuhan.

Rupanya, dia juga bisa hidup seperti manusia pada umumnya.

MRT di pagi hari, sangat menyempitkan, dibanding dengan Raven yang terbiasa, Hutu sebagai orang yang mengusulkan, kali ini malahan hanya kedua kalinya dia naik MRT.

Apalagi saat pertama kalinya adalah beberapa tahun yang lalu.

Oleh sebab itu, ketika melihat MRT yang dipenuhi keramaian, dia menoleh menatap Raven, “Paman kecil, ramai sekali.”

Raven meliriknya sekilas, tatapannya sangat tenang, jelasnya dia tidak kaget dengan kondisi seperti ini.

Pada saat ini, MRT telah sampai dan berhenti, tiba-tiba Raven mengulurkan tangan, dan memegang erat pada pergelangan tangannya, “Ikut aku.”

Hati Hutu menjadi hangat, sebenarnya dia mengetahui bahwa, pada saat ini, hanya seorang paman yang menjaga keponakannya, namun jantungnya tetap berdetak dengan kencang.

Raven sangat tinggi, lebih kurang ada seratus delapan puluh dua senti, meskipun Hutu juga bertambah tinggi dalam tahun ini, tetap saja tidak mencapai seratus enam puluh lima senti, oleh sebab itu, ketika di gandeng, rasanya seperti orang dewasa yang menggandeng anak kecil.

Setelah masuk ke dalam MRT, Raven mencari tempat yang mendekati pintu, menyuruh dia memegang sandaran, lalu melepaskan tangan yang sedang memegang di pergelangannya, lalu berdiri di belakangnya.

Karena berdekatan, Hutu bahkan dapat mencium dengan jelas aroma wangi bajunya.

Penumpang semakin bertambah, semua orang sedang buru-buru untuk berangkat sekolah atau bekerja, sehingga juga berusaha menyempit ke dalam.

Hutu yang tidak pernah mengalami kondisi seperti ini sejak kecil, sedikit terbengong, dalam keadaan menyempit lagi dengan penumpang di sampingnya, dia melepaskan tangan dari pegangan, langsung menarik lengan Raven dengan erat.

Pada saat ini, pemberitahuan pintu tertutup berbunyi, semua penumpang semakin menyempit ke dalamnya lagi.

Hutu merasa bahwa dia hampir jinjit ujung kakinya.

Nafasnya juga sedikit kesusahan, sehingga tangan yang menarik lengan Raven menjadi semakin erat.

Tiba-tiba, ada tangan di pinggangnya, yang menarik dirinya ke dalam sebuah pelukan.

Novel Terkait

Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
3 tahun yang lalu

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu

Seberapa Sulit Mencintai

Lisa
Pernikahan
4 tahun yang lalu

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu

Rahasia Seorang Menantu

Mike
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
4 tahun yang lalu

Mi Amor

Takashi
CEO
4 tahun yang lalu