Love And Pain, Me And Her - Bab 75 Aku Orang Norak

Hari ini, semua orang pada sibuk. Ketika waktunya makan malam, aku melihat dokumen di tangan sambil makan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, bertanya pada Lulu, "Lulu, sudahkah kamu menyelesaikan daftar perbandingan hari ini?"

Lulu tetap bersikap dingin, dia tidak menatapku, berkata dengan acuh tak acuh, "Iya, sudah selesai!"

Aku rasa aku telah memberi penjelasan yang sangat jelas kepada Lulu. Dia tidak seharusnya berbicara kepadaku dengan sikap seperti ini lagi. Apalagi sekarang kita sedang membahas persoalan kerja, tidak ada hubungannya dengan urusan pribadi kita.

Aku dengan sedikit tidak senang berkata, "Kenapa kamu tidak memberikannya kepadaku setelah selesai dikerjakan?"

Lulu mendengus dingin, dia masih saja tidak menatapku, bergumam, "Kamu juga tidak meminta padaku."

Api amarahku langsung melonjak. Tetapi aku berusaha menahannya, berkata kepada Lulu lagi, "Aku telah mengatakannya pagi tadi, berikan padaku begitu selesai dikerjakan. Aku lagi membutuhkannya."

Sebelum aku selesai berbicara, Lulu meletakkan sumpit dan langsung pergi. Setelah beberapa saat, dia mengambil sebuah dokumen dan melemparkannya ke depanku dengan keras, berkata dengan arogan,

"Kukasih sekarang belum telat kan!"

Gadis kecil ini semakin hari semakin keterlaluan. Aku berusaha menahan amarahku, menatap Lulu. Baru saja hendak bicara, Raisa menendang kakiku di bawah meja, barulah emosiku tertahankan. Aku membuka dokumen itu. Setelah melihat beberapa saat, aku langsung bertanya pada Lulu, "Lulu, kamu melewatkan beberapa opsi perbandingan di sini. Bukankah aku sudah secara khusus memberitahu kamu, harus mendaftarkan semua perbandingan?"

Siapa tahu Lulu malah mendengus dingin lagi. Sikapnya yang menghina itu benar-benar memicu kemarahan aku. Aku menghempaskan dokumen-dokumen itu dan memelototi Lulu sambil berkata, "Aku kasih tahu kamu Lulu! Ini adalah kerja! Tidak peduli seberapa tidak sukanya kamu terhadap aku, kamu juga tidak boleh membawa emosi itu ke kerja. Jika kamu merasa kamu tidak bisa melakukannya, pulang ke Nogo dan lanjutkan pekerjaanmu sebagai asisten di sana. Di sini, tidak ada yang boleh asal-asalan menyelesaikan pekerjaan."

Aku berteriak pada Lulu, aku benar-benar marah!

Siapa pun tahu pentingnya proposal ini. Tetapi aku tidak menyangka Lulu akan menanganinya dengan sikap seperti ini. Raisa segera memberi isyarat mata padaku agar aku berhenti berbicara. Sedangkan Lulu meletakkan sumpit dan menggerakkan bibir, seperti ingin membantah lagi. Tetapi pada akhirnya dia tidak berbicara. Dia berbalik dan meninggalkan ruang makan sambil menangis.

Suasana di ruang makan seketika terasa canggung. Raisa sekilas melihatku, berkata dengan cara yang aneh, "Ugie, kata-katamu agak berat, bagaimanapun juga Lulu adalah seorang gadis kecil, tidak bisakah kamu mengatakannya dengan baik-baik?"

Aku mengerutkan kening dan meletakkan sumpit. Mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Tapi emosiku masih belum reda. Melihat aku merokok, Amori juga mengeluarkan sebatang rokok dan menyesapnya. Berkata pada Raisa,

"Menurutku Ugie tidak bersalah! Pekerjaan yang begitu penting sudah muncul kesalahan seperti ini pada hari pertama, bagaimana dengan kedepannya?"

Inilah yang paling aku kagumi dari Amori. Selama bekerja, dia seperti robot, hanya fokus pada kerjaan, tiada perasaan.

Raisa juga berhenti makan. Dia bangkit dan berkata padaku, "Ugie, kamu keluar sebentar. Ada yang ingin kukatakan padamu."

Aku berdiri. Mengikuti Raisa keluar dari villa tanpa bersuara. Kami berdua berdiri di balkon, aku bersandar di pagar, merokok dengan kening berkedut. Sedangkan Raisa berdiri di hadapanku. Dia menatapku dan berkata, "Ugie, Lulu sebenarnya lumayan baik. Kamu harus menghargainya, tidak boleh memperlakukannya seperti itu."

Aku terbengong, menoleh untuk melihat Raisa, berkata dengan senyuman pahit terpasang di wajah, "Raisa, apa yang kamu suruh aku hargai?"

Raisa membelalak, berkata sambil tersenyum, "Tentu saja Lulu! Jika tidak, apa lagi yang dihargai?"

Aku menatap Raisa dengan perasaan tidak tahu harus menangis atau memasang senyuman, mengelus-elus rambutku yang berantakan. Tampaknya Raisa salah paham, ketika aku berbicara dengan Lulu kemarin, Lulu menangis. Raisa salah mengerti bahwa ada hubungan di antara aku dan Lulu.

Tetapi aku tidak mengungkapkan fakta padanya, bertanya lagi, "Apakah kamu berharap aku dan Lulu bersama?"

Mata Raisa tiba-tiba berkedip-kedip, tetapi dia tetap berkata, "Tidak peduli dengan siapa kamu, selama kamu bahagia, aku akan mendoakan yang terbaik untukmu."

Raisa berkata dengan sangat tulus. Tapi aku malah tidak senang sama sekali!

Aku menghela nafas, menggelengkan kepala dan berkata, "Kamu terlalu banyak berpikir, Raisa! Tidak ada apa pun di antara aku dan Lulu, kami hanya rekan. Jika ada lebih banyak, maka tidak lain hanyalah hubungan yang lebih baik daripada rekan lainnya. Tidak serumit yang kamu pikirkan, tidak ada yang perlu dihargai."

Raisa tersenyum canggung, dia menghela nafas, "Hei! Mungkin aku yang terlalu banyak berpikir. Tapi kamu juga tidak boleh memperlakukannya seperti ini. Pernahkah kamu berpikir, ini hanyalah hari pertama kita. Kita harus bekerja bersama selama sebulan, bagaimana dengan cara komunikasi kalian berdua untuk hari-hari kedepannya?"

Aku diam.

Raisa menatapku sambil tersenyum, berkata dengan lembut, "Sudah, dia seorang gadis kecil. Hanya perlu dibujuk. Dia ada di taman sekarang, pergilah membujuk dia. Masih ada pekerjaan malam nanti.”

Pada hari-hari ketika aku bersama dengan Raisa. Terdidik dan cakap adalah penilaian terbesar aku untuknya. Sampai pada dia putus dengan aku, aku tetap menilainya demikian. Meskipun dia mengkhianatiku.

Aku memadamkan puntung rokok. Mengangkat-angkat bahu dan memberi senyuman pahit pada Raisa. Berbalik dan berjalan menuju taman. Taman di sini tidaklah kecil, banyak bunga berwarna-warni di dalamnya. Sebenarnya, aku selalu bertanya-tanya apakah rumah ini milik perusahaan atau Isyana.

Memasuki taman, terlihat Lulu sedang duduk di ayunan, berayun perlahan. Melihatku kemari, dia pun membuang muka.

Aku berjalan ke depannya, menarik tali, dan mendorong ke depan dengan kuat. Lulu terayun tinggi diiringi suara "Ah" darinya. Sebenarnya, itu tidak terlalu tinggi, hanya saja Lulu tidak menyangka aku akan mendorongnya tiba-tiba, sehingga dia terkejut.

Kemudian, ketika ayunan berayun kembali, aku meraihnya. Melihat wajah Lulu yang dilapisi kemarahan, berkata sambil tersenyum,

"Lulu, jangan marah lagi, hari ini salahku. Aku tidak seharusnya berteriak padamu. Kamu yang baik hati jangan dendam dengan kesalahan aku, jangan seperti aku."

Dulu aku sering bercanda dengan Lulu. Kali ini aku pun memilih cara bicara yang sama seperti dulu.

Begitu mendengar aku berkata demikian, mata Lulu langsung memerah. Dia mengeroncongkan bibirnya untuk waktu yang lama sebelum dia bergumam, "Aku juga bersalah, aku seharusnya tidak melewatkan kerjaan yang begitu penting. Aku akan menambahkannya nanti."

Melihat sikap Lulu membaik. Aku akhirnya merasa lega. Aku mengambil kesempatan untuk berkata lagi, "Aku juga mau minta maaf, hari itu aku tidak seharusnya pergi terlebih dulu. Meninggalkan kamu dan Robi di bar, jika tidak,"

Mengungkit masalah ini, raut muka Lulu kembali buruk lagi. Dia bervolume rendah, "Aku juga tidak tahu kenapa aku minum begitu banyak pada hari itu, lalu Robi mengantarku pulang, dan aku tidur bersamanya dalam keadaan linglung."

Ketika aku sedang mendengarkan dengan seksama. Lulu tiba-tiba menutupi telinganya, menggelengkan kepalanya bolak-balik dan berkata, "Aduh, jangan bahas ini lagi. Menjengkelkan, sangat menjengkelkan."

Melihat sifat polos Lulu, aku tidak bisa menahan tawa. Tapi aku tetap mencoba bertanya padanya, "Lulu, sebenarnya kalian juga tidak melakukan apa-apa. Kamu tidak perlu sampai segitunya."

Lulu menoleh dan memelototiku, "Tidak melakukan apa-apa? Dia menciumku, juga"

Lulu mengatakan satu kalimat, tetapi kalimat berikutnya tidak diucapkannya karena merasa malu. Aku melanjutkan, "Sebenarnya, Robi juga tidak buruk, kalian berdua juga masih jomblo, bagaimana jika"

Lulu segera menatapku dengan waspada. Dia menggelengkan kepalanya dengan panik dan berteriak padaku, "Jomblo apaan? Aku punya pacar."

Aku terbengong. Aku sudah mengenal Lulu selama beberapa bulan, tidak pernah mendengarnya menyebut pacar. Dia sendiri juga pernah bilang bahwa pada Hari Minggu, selain berbelanja, dia pada dasarnya tinggal di rumah. Tidak pernah mendengarnya bilang bahwa dia berkencan atau lain sebagainya. Kenapa tiba-tiba muncul pacar?

Aku bertanya dengan hati-hati, "Kamu barusan pacaran?"

Lulu menggelengkan kepala, "Kami sudah saling kenal selama dua tahun! Sebenarnya, alasan aku bersikap buruk terhadap kamu dalam beberapa hari ini, juga karena masalah aku dan Robi yang kebanyakan minum pada hari itu. Aku rasa apa yang kami berdua lakukan amat mengkhianati pacarku. Begitu memikirkan ini, hatiku rerasa sangat tidak nyaman, Haish."

Aku akhirnya mengerti mengapa Lulu bersikap demikian padaku. Sikapnya ini setidaknya dapat membuktikan bahwa dia bukan gadis yang kacau.

Aku terus bertanya, "Apa pekerjaan dia, pastinya amat ganteng kan?"

Lulu mengayunkan ayunan dengan pelan, memiringkan kepala, wajah penuh kebahagiaan. Tapi kata-katanya mengejutkanku.

"Sebenarnya aku juga belum pernah bertemu dengannya."

"Ah?"

Aku memandang Lulu dengan kaget. Pacaran selama dua tahun belum pernah bertemu. Ini terlalu konyol.

"Kalian kencan online?"

Lulu mengangguk. Dia berkata perlahan, "Iya, sebelum aku wisuda, kami saling berteman di sosmed dan mulai mengobrol. Dia adalah seorang penulis, sangat berbakat. Juga bisa membuat puisi yang bagus."

Lulu berkata dengan penuh kerinduan. Aku tidak tahan untuk menginterupsi, "Kalau begitu, kalian seharusnya juga pernah video call atau saling mengirim foto kan. Bagaimanapun juga kalian sudah saling kenal selama dua tahun."

Lulu mencibir padaku, berkata dengan tidak puas, "Norak! Siapa bilang harus video call. Dia bilang kita harus punya misteri semacam ini. Semakin begitu, perasaan kita terhadap sesama akan tetap terasa segar selamanya."

Aku tersenyum canggung sambil menggelengkan kepala, "Yah, aku norak. Tidak bisa memahani pemikiran kalian. Jadi kalian tidak berencana untuk bertemu?"

Ketika aku mengajukan pertanyaan ini, Lulu tiba-tiba agak malu. Dia berbisik, "Dia bilang dia akan datang menemuiku minggu depan. Tiket pesawat sudah dipesannya."

Sambil bicara, Lulu menoleh ke arahku dan berkata, "Ugie, nantinya kamu harus memberiku cuti sehari. Aku harus menjemputnya di bandara. Dia pertama kali datang ke sini."

Sikap Lulu membuatku tidak tahu harus berkata apa. Aku dengan tak berdaya menggelengkan kepala, "Bukankah kalian ingin perasaan kalian tetap terasa segar? Kenapa malah bertemu?"

Lulu memutar mata padaku, dia sekali lagi menunjukkan ekspresi naif, dengan bangga berkata, "Perasaan di antara kami tidak bisa dipahami orang norak seperti kamu."

Aku lagi-lagi tersenyum pahit! Mungkin aku memang orang norak!

Novel Terkait

Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Takdir Raja Perang

Takdir Raja Perang

Brama aditio
Raja Tentara
3 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
3 tahun yang lalu