Love And Pain, Me And Her - Bab 614 Menikahlah Denganku

Sambil bicara, Isyana mendadak tertawa. Dia melihatku, lanjut mengatakan: “Ugie, demi kamu. Aku bisa melepaskan perusahaan, melepaskan seluruh dunia. Karena kamu adalah seluruh duniaku. Tapi sekarang, kamu memberitahuku, kamu mau menikah Raisa. Lalu bagaimana dengan aku? Ugie, kamu beritahu aku, aku harus bagaimana?”

Saat mengucapkan kalimat terakhir, Isyana sudah penuh air mata. Dia menatapku dengan tatapan kosong, sedang menungguku memberinya sebuah jawaban yang aku sendiri tidak tahu.

Setelah beberapa saat, Isyana baru menghentikan air mata, sambil melihatku, dia perlahan mengatakan: “Ugie, semua yang kamu lakukan hari ini hanya untuk memberi kompensasi padaku, benar tidak?”

Isyana mengacu pada masalah aku membantu dia menjadi CEO Djarum Grup. Aku segera menggeleng, melihat Isyana, aku perlahan mengatakan: “Isyana, ini dua hal berbeda! Walaupun tidak ada masalah Raisa, aku juga akan berbuat seperti ini, seharusnya kamu tahu itu.”

Isyana mengangkat kepala, dia menghela nafas panjang, perlahan mengatakan: “Sebenarnya aku benar-benar berharap orang yang sakit itu bukan Raisa melainkan aku!”

Sambil bicara, air mata Isyana mengalir lagi. Kemudian, dia menggunakan jari dengan lembut menyeka bekas air mata. Melihatku, Isyana perlahan mengatakan: “Ugie, kamu pergi saja! Pergi lakukan hal yang harus kamu lakukan, tenang saja, aku akan baik-baik saja.”

Begitu selesai bicara, Isyana langsung membalikkan badannya. Dia membelakangiku, tapi tubuhnya sedikit gemetar, aku tahu, dia tetap mengalirkan air mata.

Melihat Isyana yang sedih, tiba-tiba aku memiliki dorongan hati, aku ingin maju ke depan memeluk dan menghiburnya. Tapi aku tetap tidak bergerak. Dalam hati aku diam-diam mengatakan sepatah kata maaf, selanjutnya, berjalan ke arah pintu.

Tak pernah terpikirkan olehku, aku dan Isyana berakhir dengan cara ini. Kami saling mencintai, tapi tidak bisa tidak berpisah. Mungkin inilah hidup, selamanya cinta bukanlah satu-satunya hal dalam hidup.

Saat membuka pintu, mendengar Isyana memanggil namaku lagi: “Ugie.”

Spontan hatiku bergetar sejenak. Membalikan kepala melihatnya, melihat Isyana tetap berdiri membelakangiku. Dia perlahan mengatakan: “Baik-baik menjaga Raisa.”

Aku diam-diam mengangguk, tanpa suara jalan keluar dari pintu.

Pertama kalinya aku merasakan, apa namanya kehilangan separuh jiwa. Aku bahkan tidak tahu, bagaimana aku pulang ke rumah. Aku hanya ingat dengan jelas, sepanjang jalan ini, ekspresi putus asa Isyana selalu ada di depan mataku.

Tiba di rumah, saat aku membuka pintu. Aku menarik nafas dalam-dalam. Kemudian, aku berusaha untuk tersenyum. Aku tidak ingin Raisa melihatku sedih.

Pembantu sudah menyiapkan makanan. Di bawah bantuan perawat, Raisa sudah makan. Beberapa hari ini, kondisi Raisa semakin memburuk.Ketika kami datang, masih bisa dipaksakan untuk berjalan. Tapi, beberapa hari ini, kondisi penyakitnya sudah bertambah parah. Dia sama sekali tidak bisa berjalan, semuanya harus mengandalkan kursi roda.

Raisa tidak tidur, aku pelan-pelan membuka pintu kamar tidur. Melihat Raisa memegang bingkai foto dan sedang melihatnya dengan teliti. Foto yang ada di dalam bingkai foto adalah foto kami berdua di depan gerbang kampus. Setiap hari Raisa akan meletakkannya bingkai foto ini di tempat yang bisa dijangkaunya. Selama ada waktu santai, dia akan mengambil bingkai foto dan melihatnya dalam waktu yang lama sekali.

melihat aku masuk, Raisa meletakkan bingkai foto ke samping. Dia mengangkat kepala, tersenyum padaku sambil mengatakan: “Ugie, kenapa begitu awal sudah pulang kerja?”

Raisa tidak tahu, selama beberapa waktu ini aku sudah cuti. Hanya saja beberapa hari ini sibuk mengurus masalah Djarum Grup, jadi, masih akan sering keluar.

Aku berusaha menunjukkan senyuman, mengangguk sambil berkata: “Ya, hari ini di perusahaan tidak banyak pekerjaan, aku pulang duluan.”

Sambil bicara, aku berjalan ke samping ranjang. Duduk di sebelah Raisa.

Raisa bersandar di kepala tempat tidur, dia berbicara dengan suara lembut: “Ugie, kelak kamu tidak perlu pulang seawal ini, aku tidak apa-apa. Jangan sampai pekerjaanmu tertunda karena aku.”

Aku sedikit tersenyum. Raisa tetap begitu berpikir demi kebaikan orang lain. Kondisi penyakitnya sudah parah sampai tahap ini, tapi dia tetap mempertimbangkan aku.

Menggenggam tangan Raisa dengan lembut, tangannya sudah kurus sekali. Melihat tangannya, hidungku terasa berair. Tapi aku tetap berusaha menahannya, tidak membiarkan perasaanku terlihat.

Selanjutnya, aku mengeluarkan satu kotak perhiasan dari dalam saku. Setelah dibuka, sebuah cincin berlian berkilauan sedang bersinar di dalam kotak perhiasan. Menyodorkan kotak perhiasan ke hadapan Raisa, aku tersenyum sambil mengatakan: “Raisa, lihat kamu suka apa tidak?”

Raisa mengulurkan tangannya. Menerima kotak perhiasan, dengan lembut dia mengeluarkan cincin berlian yang ada di dalam. Setelah melihat-lihat, baru mengangkat kepala melihatku sambil bertanya: “Ugie, ini adalah?”

Aku tersenyum. Mengambil cincin dari tangan Raisa dan melihatnya sejenak. Kemudian, menoleh untuk melihat Raisa, aku berkata dengan tulus: “Raisa, cincin ini khusus dipersiapkan untukmu. Pakai dia dan menikahlah denganku, boleh tidak?”

Begitu kata-kataku dilontarkan, seketika Raisa terbengong. Dia merasa terkejut sambil melihatku, lama sekali tidak berbicara. Dan aku lanjut mengatakan: “Raisa, sama seperti yang kamu katakan. Kita bisa mengabaikan panjang pendeknya umur, tapi kita bisa memperluas ketebalan kehidupan. Pernikahan kita, dua tahun yang lalu sudah seharusnya dilaksanakan, tapi karena aku, kamu memilih untuk mundur. Meskipun pernikahan ini sudah terlambat dua tahun, tapi untungnya, kita bersatu kembali lagi. Jadi, Raisa, jangan menolakku. Menikahlah denganku, boleh tidak?”

Sambil bicara, aku mengangkat cincin itu ke hadapan Raisa. Raisa menundukkan kepala melihat cincin berlian yang berkilau itu, air matanya juga mengalir keluar. Raisa terbengong bertanya: “Ugie, karena hidupku sudah akan berakhir. Jadi, kamu merasa kasihan padaku dan baru melamarku, benar tidak?”

Kata-kata Raisa membuat hidungku berair, air mata hampir saja menetes. Aku segera menggeleng, berkata pada Raisa: “Raisa, orang yang harus dikasihani bukan kamu melainkan aku! Jika dua tahun yang lalu, kita sudah bersama. Dalam hidupku mungkin tidak ada penyesalan lagi. Tapi kamu malah meninggalkanku, untung tuhan mengasihani kita, membuat kita bersama lagi. Oleh karena itu, kita harus baik-baik menghargainya, boleh tidak?”

Raisa sudah diam-diam meneteskan air mata. Aku meraih tangan kirinya, dengan lembut memakaikan cincin. Raisa tidak menolak sedikit pun, tapi setelah cincin dipakaikan, awalnya dia ingin mengangkat tangan untuk melihatnya. Tapi tangannya sudah kurus sekali, dan cincin terlepas dari jari tengahnya yang kurus.

Pemandangan ini, membuat Raisa semakin sedih. Air matanya mulai menetes tanpa henti. Sambil meneteskan air mata, dia sambil menggeleng, dengan suara terisak mengatakan: “Ugie, tuhan tidak membiarkan kita bersama lagi. Aku bahkan tidak bisa memakai cincin.”

Melihat Raisa,hatiku terasa sakit sekali.

Novel Terkait

Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
4 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Cinta Di Balik Awan

Cinta Di Balik Awan

Kelly
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Doctor Stranger

Doctor Stranger

Kevin Wong
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Behind The Lie

Behind The Lie

Fiona Lee
Percintaan
3 tahun yang lalu
The Break-up Guru

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu