Love And Pain, Me And Her - Bab 23 Masih Saling Merindukan

Hubungan Raisa dan Veni sangat baik. Semua orang mengerti jika dia membantu Raisa. Kalau dulu, Robi tidak akan berdebat dengan Veni. Namun, beda hari ini. Dia bertanya kepada Veni, "Bagaimana tidak mungkin, ini semua Raisa sendiri yang mengatakan kepada Ugie."

Veni tidak menghiraukan Robi, dia berpaling dan bertanya kepadaku, "Kamu mungkin tidak tahu, Ugie. Dua hari sebelum kalian putus. Aku bertelepon dengan Raisa. Dan dia masih memberitahuku dia ingin pesta pernikahan yang seperti apa. Aku tidak percaya bahwa setelah dua hari dia langsung berubah pikiran."

Aku tersenyum pahit, menggelengkan kepala, menghela nafas dan berkata kepada Veni, "Mungkin karena aku terlalu tidak kompeten, pesta pernikahan yang dia ingin pun aku tidak bisa memberikannya! Sudahlah, semua sudah berlalu. Mari kita mengubah topik."

Hal yang tidak ingin aku bicarakan pada saat ini adalah Raisa. Veni kelihatannya tidak pasrah, dia berkata lembut denganku, "Singkatnya, aku tidak percaya bahwa Raisa adalah orang seperti itu."

Meskipun topiknya berhenti. Namun, hatiku merasa sedih. Raisa, apakah aku tidak bisa keluar dari bayanganmu seumur hidup?

Karena hampir setahun tidak bertemu. Kami bertiga sambil minum sambil bercerita tentang masa kuliah. Waktu kuliah, berharap agar cepat wisuda. Setelah masuk dunia kerja, malah merindukan masa kuliah.

Robi minum hingga mukanya merah dan dia mulai menceritakan hal konyol Sutan. Saat itu, Sutan masih belum kenal Veni. Waktu mengambil uang di mesin ATM, dibelakangnya ada Veni. Dia jatuh cinta dengan Veni pada pandangan pertama. Untuk mencari perhatian di depan Veni, dia sengaja memilih bahasa Inggris daripada Indonesia untuk mengoperasikan mesin ATM.

Karena bahasa Inggrisnya terlalu buruk sehingga kartunya tertelan mesin dan mengakibatkan orang yang mengantri di belakangnya mengeluh.

Ketika Robi menceritakan hal ini, Veni tetap menatap Sutan dengan lembut, dengan wajah penuh kasih sayang sehingga aku iri melihat mereka.

Aku menghela nafas di dalam hati, betapa baiknya jika Raisa juga seperti Veni sekarang masih berada disampingku.

Terus minum dan membual. Adegan ini mengingatkanku pada masa kuliah yang bahagia. tanpa sengaja aku minum berlebihan.

Di pertengahan Veni keluar untuk menelepon. Setelah kembali, dia menyingkirkan botol bir kami, tersenyum dengan lembut dan berkata, "Kalian bertiga, gantilah tempat untuk minum, pelayan sini sudah gelisah."

Memang benar, kami sudah minum tiga empat jam di sini. Setelah bicara, dia melihatku dan berkata dengan lembut, "Apakah kamu mabuk, Ugie?"

Aku menggelengkan kepala, aku merasa aku sangat sadar lebih sadar daripada aku tidak minum.

Keluar dari restoran, hari sudah gelap. Veni menyetir mobil BYD kecilnya, membawa kami bertiga yang mabuk ke bar teman lama.

Tidak banyak orang di bar. Ketika masuk, aku sengaja melihat panggung tetapi tidak nampak Elisna, hanya melihat seorang penyanyi pria yang berambut panjang sedang bermain gitar dan bernyanyi.

Robi duduk di sofa. Melihat penyanyi pria itu, berkata dengan mabuk, "pria itu ketika rambutnya diikat kelihatan seperti Iko Uwais, ketika dilepaskan kelihatan seperti Mad Dog. Tapi bagaimanapun dilihat tidak setampan Sutan."

Kami semua tertawa. Dia dan Sutan ketika bertemu selalu begitu. Kami semua sudah terbiasa.

Memesan bir, kami terus minum. Baru saja minum beberapa suap, tiba-tiba seseorang memukul pundakku. Aku berpaling, sebuah aroma wangi memasuki hidungku.

Aku melihat Elisna tersenyum berdiri di belakang. Dia juga mengenal Sutan dan Veni, namun mereka tidak dekat. Setelah menyapa, aku berkata kepadanya, "Elisna, ayo duduk dan minum."

Elisna menggelengkan kepala, menunjuk panggung, "Sudah waktunya, aku akan bernyanyi dan kalian terus minum. Lagu apa yang kamu mau dengar?"

"Orang asing yang paling akrab"

Aku menyebutnya, Elisna mengangguk, berpaling dan naik ke panggung.

Kemudian Sutan menaruh tangannya di pundakku dan berbisik, " Ugie, kalau bersama Raisa tidak punya harapan lagi, maka biarkanlah dia pergi."

Aku minum sesuap bir, menatap Elisna yang di panggung dan berkata, " Aku sudah melepaskannya."

Sutan menggelengkan kepalanya dengan tersenyum.

Suara Elisna memang merdu. Aku menikmatinya. Tiba-tiba Robi yang di seberang memanggilku. Aku melihatnya. Dia memainkan mata denganku menyuruhku melihat ke belakang.

Ketika aku berpaling, aku melihat Veni dan Raisa bergandeng masuk. Tadi Veni tidak masuk ke bar ternyata sedang menunggu Raisa.

Ketika mereka berdua tiba di meja. Raisa menyapa Sutan dan Robi kemudian aku. Aku merasa tidak nyaman dan tidak tahu harus melihat ke mana.

Veni menyadari kecanggungan kami berdua, dia menunjuk sampingku dan berkata dengan senyum, " Sasa, kamu duduk sana, dengan Ugie."

Raisa tidak menolak. ketika dia duduk aku mencium aroma tubuhnya yang tidak asing bagiku.

Bersama dengan kedatangan Raisa, suasana menjadi sedikit aneh. Robi mereka bertiga sengaja memilih topik yang sederhana tetapi Raisa sama sekali tidak menanggapinya.

Melihat ini, Robi berhenti berbicara. Kami minum bir sambil mendengar nyanyian Elisna.

Kemudian, Raisa tiba-tiba berkata denganku, " Ugie, apakah kamu akan menyerah dalam proyek KIMFAR ?"

Raisa sekali lagi berbicara mengenai proyek ini. Aku menggelengkan kepala dan berkata, " Tidak, aku sedang berusaha!"

Raisa menjawab "Oh" dan berkata, "Periklanan SHOPI sudah menghubungi presiden Bastar. Dan proposal perencanaan sudah diantar. Sekarang perusahaan sedang membahasnya."

Memang seperti apa yang dikatakan Isyana. KIMFAR dan SHOPI masih belum menandatangani kontrak secara resmi.

"Besok aku akan membantumu mengajak presiden Bastar. Kamu berusahalah untuk mendapatkan proyek ini."

Setelah Raisa selesai berbicara, Sutan melanjutkan, "Bagus sekali, Ugie. Ada Raisa membantumu. proyek ini pasti lancar. Kamu jangan minum lagi. Carilah tempat yang tenang untuk berdiskusi dengan Raisa."

Maksud Sutan sangat jelas, dia berharap aku dan Raisa berbicara secara pribadi. Sebagai teman dekat. Mereka tidak berharap kami putus begitu saja.

Aku tersenyum, melihat Elisna yang di panggung, menggeleng kepala dan berkata, "Tidak perlu, terima kasih!"

Sikap dinginku membuat Raisa marah. Dia mengerutkan kening dan bertanya kepadaku, "Ugie, aku tahu kamu menyalahkanku dan membenciku. Tapi kamu tidak boleh mencampurkan urusan pribadi ke dalam pekerjaan."

Aku tersenyum dingin dan bertanya balik, "Urusan pribadi? jika bukan urusan pribadi apakah kamu akan berbicara begitu padaku? Tidakkah kamu juga mencampuri urusan pribadi dengan pekerjaan?"

Wajah Raisa semakin buruk. Sutan menendangku di bawah meja. Kemudian, Raisa menghela nafas dan berkata, "Karena urusan pribadi, aku ingin membantumu. Karena aku merasa bersalah padamu dan ingin memberimu kompensasi."

Kata Raisa memancing bagian sensitif di hatiku. Aku melihatnya, tersenyum dingin dan bertanya, "Kamu menganggapku sebagai apa, Raisa ? Kasih sayang lima tahun kamu mau mengompensasi dengan sebuah proyek?"

Veni melihatku emosional, dia berbisik kepadaku, "Cukup, Ugie. Jangan dibicarakan lagi."

Namun, aku tidak bisa mengendalikan diriku. Di bawah dorongan alkohol, aku menatap Raisa dan terus berkata, "Raisa, kita bersama selama lima tahun. Apakah kamu tahu? Tiap pagi aku bangun aku mengecek cuaca dan memberitahumu untuk memakai baju apa. Aku takut kamu kedinginan dan kepanasan. Kamu bangun tengah malam karena saat haid. Aku pergi mengetuk pintu sepuluh toko obat dan supermarket untuk beli obat dan gula merah. Kamu ketiduran dan aku kena flu karena saat itu musim dingin dan aku hanya mengenakan baju tipis dan berkeliaran di luar selama satu jam. Namun, apakah kamu tahu? Aku berbuat begitu tidak pernah mengharapkan balasan apa pun dan aku juga tidak pernah menyesal. Karena saat itu aku mencintaimu dan aku merasa itu adalah hal yang harus kulakukan sebagai seorang pria. Kalau bisa kembali ke dulu, aku juga akan melakukan hal yang sama."

Sambil berbicara, aku minum seteguk bir. Dan Raisa sudah menangis. Aku terus berkata, "Raisa, kamu tidak mengerti. Kasih sayang tidak bisa dikompensasi. Kita tidak saling berhutang. Aku tidak perlu kamu untuk balas budi."

Berbicara sampai disini, aku menghela nafas panjang. Berusaha menenangkan diri dan berkata, "Maaf, seharusnya aku tidak memberitahumu hal-hal ini. Semoga kamu bahagia."

Setelah berbicara, aku bangkit dan jalan menuju pintu keluar.

Elisna yang di panggung sedang menyanyikan lagu karyanya sendiri, lirik sungguh bermakna seperti di tulis untukku.

" Tidak bisa kembali ke dulu, aku tidak akan mengeluh. Jelas sudah putus, buat apa masih saling merindukan."

Novel Terkait

 Istri Pengkhianat

Istri Pengkhianat

Subardi
18+
4 tahun yang lalu
Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Unlimited Love

Unlimited Love

Ester Goh
CEO
4 tahun yang lalu
Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
4 tahun yang lalu
After Met You

After Met You

Amarda
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

Chantie Lee
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
My Enchanting Guy

My Enchanting Guy

Bryan Wu
Menantu
4 tahun yang lalu
Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu