Love And Pain, Me And Her - Bab 114 Pasangan Yang Suka Bertengkar

Lulu merasa sedikit tidak enak. Wajahnya penuh rasa sulit, sambil melihatku mengatakan, “Ugie, pesta bersama teman-temanmu. Aku juga tidak kenal, langsung pergi begini saja tidak baik bukan?”

Sebenarnya Lulu dan Sutan juga pernah bertemu. Pada saat itu Sutan mengadakan pertemuan proposal di PT. Nogo, Lulu juga ada di sana. Tapi aku masih sengaja mempermainkannya berkata, “Kenapa tidak kenal? Setidaknya kamu kenal dengan Robi.”

“Ah? Dia juga pergi?”

Wajah Lulu terkejut sambil bertanya padaku. Aku mengangguk sambil tersenyum.

Alis indah Lulu langsung berkerut, dia merasa tidak puas melototiku, agak sengaja mengatakan, “kenapa tidak memberitahu aku kalau dia juga datang, jika dari awal tahu ada dia, aku tidak akan datang bersamamu.”

Aku tersenyum. Aku takut jika lebih awal mengatakannya dia tidak akan datang, ternyata benar dugaanku. Aku membawa buah-buahan, berkata pada Lulu yang wajahnya penuh rasa tidak sudi, “Ayo jalan! Sudah tiba di bawah. Apalagi, kamu keluarkan sikap sengit dan tidak masuk akalmu, masih perlu takut dengan Robi?”

Aku sengaja memprovokasi Lulu. Lulu agak menghina, mendesis dingin sekali, menjelaskan padaku, “Aku tidak takut padanya! Aku membencinya!”

Aku tersenyum lagi! Dua orang ini yang mana kata benar, dan mana kata palsu, dalam sesaat aku sungguh tidak mengerti.

Naik ke lantai atas dan mengetuk pintu. Ternyata yang buka pintu adalah Robi, begitu dia melihat Lulu yang ada di belakangku, langsung membelalakkan mata, terkejut dan berkata, “Lulu, kenapa kamu datang? Tidak perlu segitunya bukan? Mengejar aku sampai ke sini, bukankah hari ini kita sudah sepakat? Setelah selesai makan, kita tidak akan pernah berhubungan lagi, kenapa kamu ingkar janji.”

Robi terus bicara tanpa berhenti. Dan Lulu maju selangkah, sekuat tenaga mendorong pergi Robi. Pada saat bersamaan juga melototi Robi dengan galak, “Awas! Ugie yang menyuruhku datang, apa hubungannya denganmu? Jika kamu tidak ingin bertemu denganku, kamu bisa pergi”

Robi tidak terima, dia ikut di belakang Lulu, baru mau bicara lagi. Aku takut mulut murahannya membuat Lulu marah, dan dia benar-benar pergi. Aku bergegas menyela, “Robi, kenapa kamu begitu awal sudah datang, mereka sudah datang belum?”

Begitu kata-kataku diucapkan, Robi segera menoleh ke belakang melihatku, “Mereka? Mereka itu siapa? Selain kamu dan aku, mana ada orang lain. Oh, benar, masih ada Raisa. Tapi dengan menyesal memberitahumu, Raisa baru saja menelpon, harus lembur, tidak bisa datang.”

Kata-kata Robi, mendadak membuat aku merasa lega. Tapi selanjutnya, bahkan ada sedikit penyesalan. Sekarang perasaanku pada Raisa sangat istimewa, ada kalanya takut bertemu. Tapi dalam waktu lama, aku ingin mengetahui bagaimana kehidupannya sekarang. Ini adalah semacam ambivalensi dalam hati saat tidak mendapatkan takut mendapatkan saat sudah mendapatkan takut kehilangan, membuat aku semakin tidak tahu harus bagaimana menghadapi Raisa.

Veni sedang mengenakan celemek, berjalan keluar dari dapur. Dia memegang rambutnya, kening yang putih halus, tertutup selapis keringat. Aku segera memperkenalkan dia dan Lulu. Kedua orang saling menyapa. Veni memberitahuku, Sutan masih belum pulang kerja, tapi mungkin sebentar lagi. Dia sambil bicara, lalu sibuk memberi tempat duduk buat kami, menuangkan teh, dan mengambil buah.

Robi di samping berkata dengan santai, “Veni, kamu sibuk dengan dapurmu saja. Di sini ada aku sudah bisa.”

Lulu memonyongkan bibirnya, bergumam dengan suara pelan, “Ciihh! Berkata seperti dirimu adalah tuan rumah pria saja, sungguh tidak tahu malu.”

Perkataan Lulu ini memang menyerang Robi saja, namun Veni ternyata merasa agak canggung. Setelah dia buru-buru menyapa, berbalik dan masuk ke dapur.

Robi dan Lulu tetap adu mulut. Aku berdiri dan melihat-lihat rumah Sutan. Rumahnya ini juga sewaan, tapi jauh lebih besar dari milikku. Dua kamar tidur satu ruang tamu, dekorasi juga lebih mewah.

Di dinding depan tergantung foto mereka berdua. Foto-foto di tanam ke dalam bingkai kayu mahoni. Melihat foto-foto ini, dalam hatiku tidak tahan mendesah dengan penyesalan. Teringat dulu saat datang ke rumah Sutan bersama Raisa. Raisa mengatakan, dia juga ingin menggunakan satu sisi dinding untuk menggantung foto. Tetapi waktu telah berlalu, Raisa sudah meninggalkanku, bahkan bersama foto-foto itu, juga sudah menghilang.

Yang tersisa, hanyalah kenangan bahagia, dan menyakitkan.

Dari luar terdengar suara buka pintu yang jelas.

Begitu pintu terbuka, langsung melihat Sutan membuka pintu dan masuk. Sepertinya dia tidak terlalu banyak perubahan dengan dulu, tetap mengenakan jas dan sepatu kulit, kemeja dan dasi, gaya rambut bahkan lebih rapi.

Begitu masuk, Sutan melihat kami bertiga duduk di atas sofa. Dia tertegun dulu, selanjutnya segera bertanya, “Ugie, kenapa kalian bisa ke sini?”

Robi duduk menyilangkan kaki, sambil memegang cangkir teh. Dia meniup daun teh yang mengapung di atas, lalu minum seteguk kecil. Sengaja mengejek Sutan, “Kenapa? Tidak menyambut kami? Beritahu kamu, bukan kamu yang mengundang kami datang, Veni yang mengundang kami untuk datang. Jika kamu merasa tidak suka karena kami mengganggu, kamu bisa pergi sekarang juga”

Robi meniru nada bicara Lulu sebelumnya. Dia juga sama sekali tidak menganggap dirinya sebagai orang luar. Bahkan mau mengusir Sutan.

Sutan tertawa terbahak-bahak, juga menyerang balik Robi, “Robi, apakah kamu dari awal sudah ingin mengusirku pergi?”

Aku dan Lulu juga ikut tertawa.

Veni mendengar suara, juga keluar. Wajahnya penuh kelembutan melihat Sutan, mengambil jas dan tas tangannya, menaruhnya di samping. Sambil berkata pada Sutan.

“Sutan! Semuanya sudah lama tidak berkumpul. Kebetulan sekarang kamu juga tidak sibuk, aku langsung mengajak semuanya ke sini. Kita kumpul bersama”

Sekarang aku baru mengerti. Ternyata Veni yang mencari kami, dia tidak memberitahu Sutan terlebih dahulu.

Sutan sambil membuka dasi, sambil tersenyum mengatakan, “Benar, sekarang memang tidak sibuk! Ingin sibuk juga tidak ada yang cari. Aku belum bekerja beberapa tahun, sudah lebih dulu melewati kehidupan setengah pensiun, tapi baik juga. Sekarang ada waktu untuk menemanimu.”

Meskipun Sutan tidak terlalu banyak mengatakannya, Tapi semuanya sudah mengerti kalau dia sedang mengeluh. Penurunan jabatan kali ini, pukulannya sangat besar bagi Sutan. Veni juga tidak bicara, diam-diam membantu Sutan melepaskan dasi, di letakkan bersama dengan jas.

Seketika, bahkan aku juga tidak tahu harus mencari topik apa untuk mengajak Sutan ngobrol. Dulu bersama, selalu ada kata-kata yang tidak ada habisnya untuk dibicarakan. Tapi sekarang tidak tahu kenapa, mungkin karena kesibukan masing-masing, duduk bersama, malah tidak terlalu banyak kata yang bisa dibicarakan.

Makanan sudah siap, Lulu membantu Veni sibuk. Kami bertiga duduk di samping meja makan, Sutan mengambil sebotol vodka, sambil melihatku dan Robi mengatakan, “Kita bertiga adalah sahabat baik, sudah lama tidak bersama. Hari ini minum ini saja, bagaimana?”

Robi tidak masalah, dia langsung menyodorkan gelasnya. Tapi aku segera menggeleng dan berkata, “Sudahlah, lebih baik aku minum bir saja! Jika di rumah tidak ada, aku pergi ke supermarket yang ada di bawah untuk membelinya.”

Setelah terakhir kali mabuk di rumah Isyana Mirani, aku memiliki resistensi terhadap vodka. Tapi Sutan terus memintanya tanpa henti, langsung menuangkan secangkir untukku. Agar tidak merusak suasana, aku berusaha keras menerimannya.

Novel Terkait

The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cutie Mom

Cutie Mom

Alexia
CEO
4 tahun yang lalu
Dipungut Oleh CEO Arogan

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Be Mine Lover Please

Be Mine Lover Please

Kate
Romantis
3 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
Pergilah Suamiku

Pergilah Suamiku

Danis
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu