Love And Pain, Me And Her - Bab 562 Pindah Rumah

Setelah selesai bertelepon dengan Viali, Isyana meneleponku. Dia juga menanyakan tentang pekerjaanku. Belakangan ini, Isyana juga sangat mengkhawatirkanku. Tapi dia tidak bisa membantu, hanya bisa menanyakan perkembangan masalah setiap harinya, tanpa menggangguku. Sebenarnya, aku sudah sangat puas Isyana bisa melakukan ini.

Isyana juga sangat senang, dia ingin mentraktirku makan malam, sebagai tanda memberi dukungan untukku. Aku langsung setuju. Sebenarnya, aku ingin memberitahunya bahwa masalah ini juga berhubungan dengan Tyas. Tapi pikir-pikir lupakan saja, temperamen Isyana terlalu tidak sabar. Aku takut setelah mengetahuinya, dia akan langsung pergi mencari Tyas. Ini malah akan membuat kekacauan.

Insiden Luluk telah berlalu. Hari-hari berlalu dalam kesibukan, cuaca semakin dingin, daun-daun di jalan telah layu dan perlahan-lahan berjatuhan tertiup angin musim gugur.

Pada hari Jumat sore, aku sibuk di kantor seperti biasanya. Isyana meneleponku, begitu menjawab, langsung mendengar Isyana bertanya: "Ugie, apakah kamu punya waktu besok?"

Begitu Isyana bertanya, aku baru ingat. Isyana membeli rumah di kota dan sebelumnya pernah mengatakan akan pindah di akhir pekan ini. Memikirkan hal ini, aku langsung bercanda dengannya: "Nona Mirani pindah rumah adalah urusan besar, meskipun sibuk, aku juga harus meluangkan waktu untuk pergi."

Isyana tersenyum setelah mendengarnya. Dan berkata: "Dasar, mulutmu semakin jahat."

Aku tersenyum. Belakangan ini memang agak sibuk, tapi meskipun tidak ada waktu untuk bertemu dengan Isyana, kami berdua tetap berkontak setiap hari. Hubungan kami semakin dekat, ini juga memungkinkanku mendapatkan semacam kehangatan keluarga dalam kesibukan kerja.

Isyana membeli rumah. Perusahaan juga memberikanku sebuah rumah di pusat kota sebagai penghargaan dalam insiden Luluk. Aku telah keluar dari studio dan pindah ke rumah baru. Studio tersebut juga digunakan oleh perusahaan sebagai penjangkauan departemen penjualan.

Sabtu pagi, aku mengendarai mobil, membantu Isyana pindah rumah. Katanya membantu, tapi semuanya telah dikemas, setelah petugas dari perusahaan pemindahan memuat barang ke truk, semuanya selesai.

Ketika aku pergi, Bibi Salim sedang memerintah para pekerja. Dan Isyana juga tidak bisa membantu, jadi dia menarikku berdiri di balkon, memandang pemandangan di komunitas. Kursi anyaman di balkon masih ada, saat pertama kali Isyana menginap di rumah ini, kami berdua juga duduk mengobrol di sini.

Melihat pemandangan di luar jendela, Isyana tiba-tiba berkata, "Ugie, sebenarnya aku suka tinggal di sini. Meskipun bangunannya agak tua, tapi tenang. Tidak berisik seperti pusat kota."

Aku tersenyum, baru saja ingin menjawab. Isyana tiba-tiba bertanya lagi padaku: "Ugie, apa yang akan kamu lakukan dengan rumah ini?"

Pertanyaan Isyana membuatku tertegun. Sewa rumah ini awalnya dibayar oleh Isyana, dan sekarang sudah jatuh tempo. Dia sedang bertanya apakah akan terus menyewa rumah ini?

Aku tersenyum, menggelengkan kepala dan bertanya padanya, "Maksudnya?"

"Berhenti menyewa?"

Isyana bertanya lagi padaku. Aku mengangguk. Isyana tiba-tiba tersenyum. Dia memutar kepala, melihat kembali ke kamar dan berkata dengan lembut: "Tempat ini membawa semua kenangan antara kamu dan Raisa. Sebenarnya, setelah tinggal di sini, aku selalu sembarang berpikir. Aku selalu merasa nafas kehidupan kamu dan Raisa masih di sini."

Kata-kata Isyana membuat suasana hatiku tiba-tiba menjadi tertekan. Sejak Veni dan Robi pergi, aku tidak pernah berkontak lagi dengan Raisa. Aku tidak mengetahui situasinya saat ini.

Aku tidak ingin Isyana menyadari perasaanku saat ini, jadi tersenyum dan bercanda dengannya, "Kalau begitu, tidakkah kamu merasa cemburu?"

Isyana memiringkan kepalanya dan menjawab dengan serius: "Tidak mungkin tidak cemburu sama sekali. Tapi, begitu memikirkan Raisa melepaskan pria yang begitu baik, dan memberikannya padaku. Memikirkan ini, aku menjadi lega."

Isyana berkata dan berbalik menatapku. Lalu kami tersenyum bersama, aku merentangkan tangan memeluk pinggang Isyana, dia dengan patuh meletakkan kepalanya di pundakku.

Meskipun aku terlihat tenang, tapi ada gelombang di hatiku. Mulai hari ini, setelah pindah dari sini, kenangan antara aku dan Raisa benar-benar telah berakhir.

Setelah semuanya dikemas. Kami mengendarai mobil pergi ke rumah baru Isyana. Rumah barunya sangat besar, dengan luas lebih dari seratus enam puluh meter persegi. Begitu petugas pemindahan pergi, Bibi Salim memandang rumah baru dan berkata sambil mendesah, "Isyana, akhirnya kita punya rumah baru. Tapi aku selalu merasa ada yang kurang."

Isyana tercengang, dan langsung bertanya: "Bu, apanya yang kurang, aku akan membelinya."

Bibi Salim mondar-mandir di ruang tamu yang luas. Beberapa saat kemudian, dia berhenti, memutar kepala menatap Isyana dan aku, lalu tersenyum berkata, "Kurang seorang cucu! Kalau ada cucu, aku akan memasak untuknya setiap hari, mengajaknya jalan-jalan, dan membujuknya. Itulah hidup yang aku inginkan."

Kata-kata Bibi Salim membuat Isyana tersipu. Aku memandang Isyana dengan senyuman segan. Isyana segera memelototiku. Bibi Salim lanjut berkata:

"Isyana, kamu dan Ugie sudah tidak muda lagi, sudah waktunya menikah. Sudah lumayan telat kalau kalian menikah sekarang, aku benar-benar tidak mengerti, apa lagi yang kalian tunggu?"

"Ibu."

Isyana bersikap manja pada Bibi Salim. Dan aku tersenyum di samping. Isyana tiba-tiba memutar kepala, dan mencubit lenganku, lalu berkata pada Bibi Salim : "Bu, meskipun aku ingin menikah, juga harus ada seseorang yang melamarku. Tidak mungkin aku bermuka tebal dan meminta seseorang datang menikahiku, kan?"

Ketika Isyana mengatakan ini, pandangan Bibi Salim langsung tertuju padaku. Aku terdiam beberapa saat dan tidak tahu bagaimana mengatakannya. Tapi kata-kata Isyana membuatku semangat. Setidaknya dia bersedia menikah denganku sekarang, aku berpikir sendiri setelah investasi babak B selesai, aku akan melamar Isyana, sudah waktunya memiliki keluarga.

Aku baru saja ingin berkata, dan mengatasi situasi yang canggung ini. Ponsel Isyana tiba-tiba berdering. Dia melihat, dan sedikit tertegun. Kemudian segera pergi ke kamar tidur. Mengunci pintu dan menjawab telepon di dalam.

Biasanya, Isyana tidak pernah bersembunyi menjawab telepon. Dapat dipastikan bahwa panggilan ini tidak ingin didengar olehku ataupun Bibi Salim. Tapi aku merasa dia tidak ingin didengar Bibi Salim. Memikirkan ini, samar-samar aku dapat menebak bahwa itu seharusnya panggilan dari Djarum.

Tidak lama kemudian, Isyana memegang ponsel dan keluar. Bibi Salim sudah pergi mengemas barang. Isyana berjalan ke arahku dan berbisik di telingaku: “Ayahku baru saja meneleponku, dia bilang ingin bertemu denganmu besok.”

Novel Terkait

The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Blooming at that time

Blooming at that time

White Rose
Percintaan
5 tahun yang lalu
Air Mata Cinta

Air Mata Cinta

Bella Ciao
Keburu Nikah
5 tahun yang lalu
Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu
Unperfect Wedding

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
5 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
5 tahun yang lalu