Love And Pain, Me And Her - Bab 520 Kebenaran

Kami berempat berjalan ke samping ibu Sutan. Aku bisa merasakan pemandangan yang luar biasa ini membuat ibu Sutan sangat gugup. Jelas-jelas dia bisa merasakan ada orang berdiri di sampingnya tapi dia tetap memandang lurus ke depan.

Setelah sampai di sampingnya, Raisa membungkuk dan berkata kepada ibu Sutan dengan sopan: “Bibi, apa kabar, aku Raisa, teman sekolah Sutan. Apakah bibi masih ingat aku?”

Ibu Sutan menoleh melihat kami. Sambil tersenyum, dia mengangguk dan berkata: “Ingat, bagaimana mungkin tidak ingat? Kalian semua sahabat Sutan.”

Ibu Sutan tersenyum sambil berkata dengan tidak wajar. Dia menjawab dengan gugup sambil melihat ke belakang kami. Aku bisa merasakan, dia sedang melihat apakah Veni bersama dengan kami atau tidak.

Di sebelah kursi ibu Sutan ada kursi kosong, beberapa dari kami duduk bersebelahan dengannya. Agar suasana tidak canggung, aku bertanya kepadanya dengan santai: “Bibi, paman pergi kemana? Kenapa tidak melihatnya?”

Biasanya di saat begini, ayah Sutan seharusnya sudah datang kemari. Sejak aku datang sampai sekarang tidak melihat dirinya. Begitu aku bertanya, ibu Sutan tiba-tiba tersenyum pahit. Dia berbisik: “Si pak tua itu tidak datang.”

Kami semua tercengang dengan apa yang dikatakan ibu Sutan. Mana ada ayah kandung yang tidak menghadiri pesta pernikahan putranya sendiri. Raisa duduk di sebelah kiri ibu Sutan, bertanya kepada ibunya: “Ada apa dengan paman? Kenapa tidak datang?”

Mungkin karena ibu Sutan mengetahui hubungan kami dengan Sutan, jadi dia sangat percaya kepada kami. Melihat Raisa bertanya padanya, dia menghela nafas tanpa menyembunyikannya dari kami dan langsung berkata:

“Apalagi kalau tidak sedang marah dengan Sutan? Anak ini melakukan hal-hal yang dipandang rendah oleh ayahnya. Kalian lihat, Veni gadis yang baik. Dia bilang tidak ingin menikahinya maka tidak menikahinya. Sampai harus mencari wanita yang sudah memiliki anak. Ayahnya marah padanya sampai penyakitnya kambuh dan mengatakan tidak ingin mengakui putranya lagi. Aku sudah membujuknya beberapa hari ini agar datang kemari, bagaimanapun semuanya sudah terjadi. Tapi dia tetap tidak mendengarnya. Aissh! Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa!”

Kata-kata ibu Sutan membuat kami semua tercengang. Terutama aku, terkejut sampai membisu. Karena Sutan berulang kali memberitahuku alasan dia putus dengan Veni karena orang tuanya memaksanya memiliki anak. Dan Veni sama sekali tidak bisa melahirkan.

Begitu ibu Sutan selesai berbicara, Robi langsung bertanya: “Bibi, bukankah kalian ingin menimang cucu makanya tidak setuju Sutan bersama dengan Veni?”

Ibu Sutan orang pedesaan. Kalau bukan karena Sutan, seumur hidup ini dia tidak akan pernah datang ke kota. Dia orang yang sangat sederhana, bahkan tidak berpikir mengapa Robi bertanya seperti itu. Dia langsung menjawab: “Aish, kalian ini, apa yang kalian katakan? Aku dan ayahnya memang menginginkan cucu, tapi kondisi fisik Veni tidak memungkinkan untuk melahirkan. Kami juga tidak bisa memaksa dia melahirkan bukan? Kami tidak begitu berbudaya, tapi mengerti tentang budaya. Tidak mungkin karena menginginkan cucu meminta Sutan berpisah dengan Veni, kan? Veni itu gadis yang baik, mengikuti Sutan selama bertahun-tahun, berapa banyak penderitaan yang dia alami, mungkinkah aku tidak mengetahui isi hatinya?”

Aku terbodoh melihat ekspresi tulus ibu Sutan, dia sama sekali tidak seperti berbohong. Aku segera bertanya kepadanya: “Bibi, terakhir kali kamu dan paman tiba-tiba pergi tanpa pamit, bukankah karena Veni yang tidak bisa melahirkan? Kami semua pergi ke stasiun mencari kalian.”

Saat itu aku berada di kantor Sutan. Aku, dia dan Veni bersama-sama pergi ke stasiun. Setelah Sutan mengantar orang tuanya, dia memberitahuku, ketika ayah dan ibunya melihat hasil test Veni, mereka sangat marah dan langsung pergi begitu saja.

Begitu aku selesai berbicara, ibu Sutan menatapku dengan bengong. Ibunya menggelengkan kepala dan berkata: “Tentu saja bukan, siang itu Sutan meneleponku, dia mengatakan obat ayahnya sudah ditebus, lalu meminta kami kembali lebih dulu dan menyelesaikan masalah ini. Kami pergi dengan terburu-buru sampai tidak sempat memberitahu Veni.”

Perkataan ibu Sutan membuatku terhuyung beberapa kali. Aku tidak pernah menyangka, semua ini kebohongan yang dibuat oleh Sutan.

Agar putus dengan Veni, Sutan merencanakan ini sejak awal. Alasan mengapa dia melakukan ini tidak lain untuk terus menjaga harga dirinya. Dia ingin kami merasa dirinya terpaksa, baru memilih untuk putus dengan Veni.

Aku menghela nafas berat, menatap ibu Sutan dengan tatapan kosong, lalu tersenyum pahit menggelengkan kepala. Aku tidak pernah berpikir tipu muslihat Sutan begitu dalam. Demi putus dengan Veni, dia sengaja merencanakan semua ini.

Aku yang dulu berpikir Sutan orang yang sangat baik. Aku bahkan pernah berpikir, karena dia anak yang berbakti masalah Veni membuatnya berada dalam kesulitan. Tapi sekarang aku baru menyadari, aku tidak memahaminya. Sedikitpun tidak. Aku bahkan merasa kelicikan Sutan sangat menakutkan.

Wajah Robi juga berubah pucat, dia menatap pembawa acara di panggung dengan marah. Dan Raisa juga tercengang, dia menatapku lalu menatap Isyana, menggelengkan kepala tanpa daya.

Aku duduk di sana dengan bodoh, pikiranku kacau. Tiba-tiba, Isyana yang berada di sampingku berdiri. Pada saat yang sama bersemangat melambaikan tangan ke kejauhan: “Veni, di sini.”

Kata-kata Isyana membuat kami semua segera berdiri. Aku melihat Veni berdiri kebingungan di depan pintu sedang mencari kami.

Beberapa bulan tidak melihat Veni, dia seolah tidak mengalami banyak perubahan, hanya sedikit kurus. Kondisi psikologinya sepertinya tampak baik.

Namun, kami sedikit terkejut. Karena ada seorang pria berdiri di samping Veni. Kami belum pernah melihat pria ini sebelumnya dan sepertinya dia berusia sekitar empat puluh atau lima puluh tahun. Dia tidak tinggi, memakai kacamata dan sedikit botak. Dia mengenakan setelan jas biru biasa dengan lapisan warna abu di atasnya yang memberi kesan berdebu.

Dia seharusnya tidak terbiasa dengan acara semacam ini juga. Karena ketika dia berdiri di samping Veni, dia melihat segala sesuatu di sekitarnya dengan rasa takut di matanya.

Veni segera berjalan ke arah kami sambil tersenyum. Begitu sampai di hadapan kami dan belum sempat menyapa, ibu Sutan segera berdiri menarik tangan Veni. Dengan ekspresi sedih di wajahnya, dia berkata dengan lembut kepada Veni: “Veni, Sutan bersalah padamu. Sutan kami yang bersalah padamu.”

Novel Terkait

Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
3 tahun yang lalu
My Superhero

My Superhero

Jessi
Kejam
4 tahun yang lalu
That Night

That Night

Star Angel
Romantis
5 tahun yang lalu
This Isn't Love

This Isn't Love

Yuyu
Romantis
3 tahun yang lalu
Si Menantu Dokter

Si Menantu Dokter

Hendy Zhang
Menantu
3 tahun yang lalu
My Japanese Girlfriend

My Japanese Girlfriend

Keira
Percintaan
3 tahun yang lalu