Love And Pain, Me And Her - Bab 536 Kekhawatiran Isyana

Setelah mengantar Robi dan Lulu, aku dan Isyana terasa sedih. Dalam perjalanan pulang, Isyana tidak mengatakan satu katapun. Hanya mendengarkan musik, memiringkan kepala dan melihat pemandangan yang di luar jendela. Aku tidak mengganggunya, hanya menyetir dengan sunyi.

Ketika tiba di kawasan kota, sudah pukul enam sore. Awalnya aku berencana untuk mengajak Isyana makan malam, tetapi Isyana tidak setuju, Isyana mengatakan bahwa dia ingin pulang ke kantor. Menyuruhku untuk sebarang memasak saja.

Karena suasana sedang baik, aku hanya memasak dua mangkok mie saja. Setelah selesai makan, kami berdua duduk di atas sofa. Isyana menyandar di dalam pelukanku, Isyana bertanya dengan linglung: “Ugie, menurutmu apakah Robi dan Lulu mereka berdua akan bersama?”

Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala, menjawab: “Susah untuk memprediksikan! tetapi Lulu telah berusaha keras untuk mengejar Robi. Hanya tidak tahu kapan Robi akan keluar dari bayangan Veni .”

Belum selesai berkata, Isyana menghelakan nafas. Mendongak dan menatapku, di dalam kedua mata yang cantik terdapat perasaan penyesalan, Isyana berkata dengan halus: “Ugie, ketika aku teringat Paman dan Bibi akan datang minggu depan, di dalam hatiku merasa sangat gugup. Menurutmu apakah Bibi dan Paman tidak menyukaiku?”

Aku mencubit dagu Isyana, tersenyum simpul. Kemudian berkata: “Jangan khawatir, kedua orang tuaku adalah orang yang bijaksana. lagi pula, kamu begitu hebat, bagaimana mungkin mereka tidak menyukaimu?”

Begitu aku selesai berkata, Isyana langsung mengerutkan bibir merahnya, berkata dengan nada bohong: “Aku tidak tahu mengapa, aku hanya merasa khawatir, apakah kamu masih ingat? Sebelumnya aku pernah bertemu dengan mereka berdua, tetapi aku merasa mereka berdua tidak ramah kepadaku seperti mereka terhadap Raisa .”

Apa yang Isyana katakan, adalah terakhir kali pada saat kedua orang tuaku datang ke Ibukota . Pada saat itu aku mengajak Isyana pergi bertemu dengan mereka, tetapi aku tidak menyangka ternyata kedua orang tuaku mengajak Raisa juga. Kejadian hari itu, sama seperti apa yang Isyana katakan. Mereka masih bersikap canggung terhadap Isyana, tetapi terhadap Raisa, sama seperti keluarga sendiri.

Aku memeluk erat Isyana, menunduk kepala meratapi Isyana dan berkata: “Kenapa? Pada saat itu mereka memperlakukanmu sebagai atasanku, sehingga mereka bersikap sopan kepadamu. Tetapi sekarang sudah berbeda, sekarang kamu adalah pacarku. Mereka akan memperlakukanmu sebagai keluarga. Sehingga, kamu tidak perlu khawatir.”

Kata-kataku, membuat Isyana merasa lebih tenang. Isyana masuk ke dalam pelukanku, berkata dengan nada menantang: “Bagaimanapun aku tidak peduli, apabila mereka tidak menyukaiku, aku akan melampiaskan padamu.”

Isyana bermanja kepadaku. Melihat Isyana yang sedikit malu, aku tersenyum jahat. Kemudian berbisik telingannya: “Isyana, sebenarnya aku mempunyai satu cara, cara yang dapat menghilangkan kekhawatiranmu.”

Isyana langsung mendongak, meratapiku dengan penasaran, langsung bertanya: “Cara apa, cepat bilang.”

Melihat Isyana, aku tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian berbisik di telingannya: “Ketika beras sudah menjadi bubur, kemudian memberitahukan kedua orang tuaku kamu sudah mengandung cucu mereka. Mereka berdua pasti sangat gembira.”

Begitu aku selesai berkata, tiba-tiba wajah Isyana memerah. Kedua tangannya meninju bahuku dengan halus, kemudian memarahiku sambil tersenyum: “Ugie, kamu menjadi semakin tidak tahu malu.”

Isyana belum selesai berkata, suaranya berubah menjadi isak tangis. Karena aku tidak memberikan Isyana kesempatan, langsung mencium bibir lembutnya. Awalnya Isyana menolak secara langsung, kemudian, langsung menganggapiku.

Mungkin beberapa hari ini, kita berdua berulang kali menghadapi perpisahan. Sehingga membuat kita berdua merasa tertekan. Sehingga, kita membutuhkan jalan keluar, untuk melampiaskan perasaan tertekan kita. Mungkin, karena kita berdua sudah menyatakan hubungan kita secara resmi. Diantara kita berdua, tidak ada ikatan seperti dulu. Sehingga, kita berdua mulai bertindak tidak moral.

Meskipun hanya sebuah pelukan dan ciuman. Tetapi reaksi Isyana sangat besar, Isyana terbaring lemas di dalam pelukanku. Wajah memerah, mata terpejam, Isyana terlihat seperti mabuk.

Tanganku mulai menjadi nakal. Pada saat membuka kancing baju pertama Isyana, Isyana sama sekali tidak bergerak. Kemudian aku melanjutkan, membuka kancing kedua. Tiba-tiba Isyana meraih tanganku.

Isyana membuka mata, tatapan mata terlihat bingung, menatapku dengan gugup. Aku dapat merasakan, di dalam hati Isyana merasa sangat bimbang. Isyana menggenggam tanganku, dapat merasakan genggam tersebut sangat kuat juga. Beberapa saat kemudian, Isyana terbaring lemas di dalam pelukanku. Keuda tangan merangkul di leherku, berbisik di telingaku: “Ugie, Kamu, apakah kamu benar-benar ingin?”

Tentu saja aku ingin. Tetapi aku tidak ingin memaksa Isyana . Aku menempel wajahku ke wajah Isyana yang memanas, berbisik: “Isyana, apakah aku terlalu buru-buru?”

Isyana tidak menjawab kata-kataku. Isyana mengusap wajahku. Tatapan matanya terlihat bingung, suara menjadi lebih menawan. “Ugie, tunggu sebentar, boleh? Aku, aku belum bersedia.”

Kata-kata Isyana, sudah menyalakan apiku, tetapi tiba-tiba memadamkan api. Aku tersenyum pahit, merangkul pinggang Isyana dengan satu tangan, kemudian membelai wajah Isyana dengan satu tangan, berkata dengan nada halus: “Aku mendengarkanmu.”

Tentu saja, aku tidak akan memaksa Isyana . Aku tidak tega melihat Isyana merasa dianiaya. Meskipun hal tersebut, tidak dapat merugikannya.

Isyana hanya tersenyum. Tiba-tiba, Isyana menggigit telingaku, berbisik: “Ugie, percayalah, hari tersebut, akan segera datang.”

Aku senyum sambil menganggukan kepala.

Kecepatan pengembangan Cantique menjadi semakin cepat, pengguna yang terdaftar sudah lebih dari 2 juta orang. Beberapa hari sebelum kedua orang tuaku datang. Aku masih sibuk mengerjakan pekerjaan di perusahaan. Sering bekerja lembur, lembur hingga tengah malam.

Sore ini, aku sedang bersiap-siap mengecek data bersama Papan Yan. Tiba-tiba ponsel yang di atas meja berdering, begitu aku mengambil ponsel dan melihat, ternyata panggilan dari ayah. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, seharusnya mereka akan sampai besok. Begitu menjawab panggilan, ayah langsung berkata: “Ugie, aku dan ibumu berada di stasiun kereta api, apakah kamu akan datang menjemput kita?”

Aku tertegun, tidak menyangka mereka akan datang lebih awal. Aku langsung menjawab: “Ayah, mengapa kalian datang lebih awal?”

Ayah masih seperti dulu, berbicara bersamaku selalu menggunakan nada tinggi. langsung menjawab: “Menyuruh kamu datang, langsung datang saja, banyak sekali omongan kosong.”

Aku tersenyum pahit, mendengus langsung memutuskan panggilan tersebut.

Setelah memberitahukan Papan Yan, turun ke tempat parkir, langsung menuju ke stasiun kereta api. Dalam perjalanan, aku menelepon Isyana . Memberitahukan Isyana bahwa orang tuaku sudah tiba, begitu Isyana mendengar, Isyana sangat gugup. Awalnya Isyana berencana malam ini mengajak kedua orang tuaku makan malam, tetapi aku tidak menyetujuinya, aku memberitahukan Isyana, menunggu besok saja, Isyana dan Bibi Salim keluar bersama, kita semua bertemu saja.

Novel Terkait

Uangku Ya Milikku

Uangku Ya Milikku

Raditya Dika
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
5 tahun yang lalu
Aku bukan menantu sampah

Aku bukan menantu sampah

Stiw boy
Menantu
4 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
4 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
4 tahun yang lalu
Takdir Raja Perang

Takdir Raja Perang

Brama aditio
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
Mi Amor

Mi Amor

Takashi
CEO
5 tahun yang lalu