Love And Pain, Me And Her - Bab 619 Aku Mending Kesepian Sepanjang Hidup

Saat pulang, Raisa tiba-tiba mengusulkan bahwa dia mau naik mobil Isyana. Aku menggendong Raisa ke dalam mobil. Aku berkendara di belakang mobil Isyana. Sebenarnya aku tahu alasan Raisa mengusulkan bahwa dirinya mau naik mobil Isyana adalah karena dia berharap Isyana bisa ikut bersama kami. Dengan demikian, aku memiliki lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan Isyana.

Sesampainya di rumah dan memasuki pintu, Raisa berkata padaku dan Isyana dengan lese: "Ugie, kamu ngobrol sebentar dengan Isyana. Aku terlalu capek, mau istirahat dulu."

Aku mengangguk. Bersama dengan Isyana, kami membawa Raisa kembali ke kamar tidur. Setelah menutupi Raisa dengan selimut dan melihat dia memejamkan mata, aku dan Isyana diam-diam keluar dari kamar tidur.

Begitu keluar dari kamar tidur, Isyana berdiri di ruang tamu dan melihat sekeliling. Rumah ini juga sangat familiar baginya. Dia pernah tinggal di sini selama lebih dari setengah tahun. Setelah memandangi rumah, Isyana menoleh dan berkata dengan suara kecil: "Ugie, ayo pergi ke balkon dan duduk sebentar."

Aku mengiyakannya, pergi ke balkon bersamanya.

Setelah menjemput Raisa kembali ke rumah ini, aku menata ulang balkon. Semuanya ditata sesuai dengan gaya semula.

Aku duduk di kursi anyaman bersama Isyana, menyeduh secangkir teh panas untuknya, lalu aku menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya sambil menatap pemandangan di luar jendela.

Sementara Isyana memegang cangkir teh, duduk di sana tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kami berdua diam saja.

Beberapa saat kemudian, Isyana menghela nafas dan berkata dengan lembut, "Ugie, kamu dengar apa yang dikatakan Raisa hari ini?"

Aku mengangguk dalam diam.

Isyana menyesap seteguk teh, berkata lagi: "Ugie, aku tidak tahu kita berdua harus bagaimana. Tapi kedepannya aku tidak akan memaksa kamu lagi. Selama waktu ini, temanilah Raisa! Dia sangat membutuhkan kamu sekarang."

Kata-kata Isyana membuat hatiku terasa sakit. Aku mengisap rokok, melihat Isyana, berkata dengan lembut: "Isyana, maafkan aku."

Kalimat maaf ini kelihatan biasa, tapi mengandung terlalu banyak emosiku yang kompleks. Ada rasa bersalah, penyesalan, sakit hati.

Isyana tersenyum tawar. Dia menggelengkan kepala dan berkata, "Ugie, kamu tidak bersalah padaku. Aku mengerti semua yang kamu lakukan, aku juga akan mendukungmu."

Sambil bicara, mata Isyana memerah. Dia menatap aku dan melanjutkan: "Aku rasa aku akan terus menunggu kamu. Semakin lama aku menunggu, semakin bahagia diriku."

Aku mengerti kata-kata Isyana. Semakin lama waktu tunggu, berarti semakin panjang umur Raisa. Melihat Isyana, aku sedikit tercekat. Aku seketika tidak tahu harus berkata apa.

Air mata Isyana mengalir. Dia mengusapnya dengan lembut, melanjutkan: "Dibandingkan dengan Raisa, aku amat beruntung. Setidaknya, aku memiliki tubuh yang sehat dan kekasih yang pantas ditunggu. Tapi bagaimana dengan Raisa? Apa lagi yang dimilikinya sekarang? Jika memungkinkan, aku mending kesepian sepanjang hidup dan berharap kondisinya bisa membaik. Tapi apa yang paling menakutkan adalah semua ini hanyalah angan-anganku."

Ujar Isyana sambil menghela nafas berat lagi.

Meskipun ini hanyalah khayalan Isyana yang tidak realistis, tetapi aku sangat tersentuh saat mendengarnya.

Setelah itu, Isyana berdiri. Dia berjalan ke sisiku, meletakkan satu tangannya di bahuku, lalu berkata dengan lembut, "Ugie, aku pulang dulu. Kamu harus menjaga Raisa dengan baik, aku akan menjenguknya lagi beberapa hari kemudian.”

Aku mengangguk, bangkit dan mengantar Isyana keluar. Aku tahu Isyana baru saja mengambil alih posisi direktur, urusan perusahaan kacau balau dan harus ditanganinya. Hari ini dia telah menghabiskan banyak waktu untuk Raisa.

Di kamar tidur, Raisa sudah terlelap. Tetapi dapat dilihat bahwa dia tidur dengan sangat tidak nyaman. Kami semua tahu tubuh Raisa tidak sekadar lesu. Penyakit itu menyiksanya selangkah demi selangkah. Setiap hari dia harus meminum banyak obat penghilang rasa sakit dan memperkuat daya tahannya karena dia tidak ingin kami mengkhawatirkannya. Jadi, walau dia kesakitan, dia tetap tersenyum pada kami.

Di ruang tamu, aku duduk sendirian sambil merokok. Saat aku melamun, ponsel tiba-tiba bergetar. Aku mengambil dan melihatnya, itu adalah pesan teks. Aku mengklik untuk membukanya dan melihat pesan yang tertulis: "Ugie, apakah kamu punya waktu hari ini? Aku mau menemuimu."

Aku tidak menyimpan nomor ini. Tapi aku ingat dengan jelas, orang yang mengirim pesan ini adalah Wulandari. Setelah berpikir sejenak, aku membalas: "Oke, sampai jumpa di cafe Moon Island satu jam kemudian!"

Pagi tiga hari kemudian. Aku membawa sup yang baru selesai dimasak ke kamar Raisa. Raisa bersandar di kepala ranjang. Aku meletakkan sup di atas meja. Hari ini kondisi Raisa kelihatan sangat baik. Setelah menyesap sup, dia tersenyum sambil menatapku dan berkata, "Ugie, masakanmu semakin bagus. Aku sudah lama tidak makan sup buatanmu."

Begitu suara Raisa merambat ke telingaku, aku terbengong. Aku menatap Raisa, perasaan hampa yang tak berdaya menjalar ke seluruh tubuhku. Tadi malam, aku baru saja membuat sup ini untuk Raisa. Aku juga menyuapnya sesendok demi sesendok. Tapi dia lupa, dia bahkan mengatakan bahwa dia sudah lama tidak minum sup buatanku.

Aku menahan kesedihan di hati, melihat Raisa, memaksa diri untuk memasang senyuman: "Kalau enak, minum lebih banyak. Aku akan sering membuatnya untukmu."

Raisa mengangguk dengan senang. Dia memegang sendok, meminum supnya seteguk demi seteguk.

Melihat Raisa, kesedihan membanjiri hatiku lagi. Saat pikiranku melayang ke mana-mana, ponselku tiba-tiba bergetar. Aku mengeluarkan ponsel, ternyata Veni yang menelepon.

Aku buru-buru berkata pada Raisa: "Panggilan dari Veni"

Raisa juga sangat senang, dia langsung mendesak aku untuk mengangkatanya: "Buruan, aku sudah lama tidak mendapat kabar dari Veni."

Telepon terhubung, terdengar suara lembut dari Veni: "Ugie, aku sedang dalam perjalanan ke bandara. Agaknya aku akan tiba di ibukota provinsi malam ini. Bagaimana kabar Raisa sekarang?"

Aku sekilas melihat ke arah Raisa, dia sedang mendengarkan percakapan antara aku dengan Veni. Aku memaksakan diri untuk senyum, berpura-pura santai: "Raisa baik-baik saja, dia sedang sarapan pagi."

Veni tersenyum bahagia saat mendengar jawabanku. Kemudian, dia berkata lagi: "Ugie, sebenarnya aku sudah mengambil cuti lebih awal. Seharusnya aku mengunjungi Raisa minggu lalu. Tapi kondisi fisikku mendadak bermasalah sehingga tertunda sampai sekarang.”

Aku terpana oleh kata-kata Veni. Aku langsung bertanya, "Veni, ada apa denganmu? Tubuh bagian mana yang bermasalah?"

Aku sudah tahu sejak lama bahwa kondisi fisik Veni tidak begitu baik. Mendengarkan dia berkata demikian, aku agak khawatir. Veni terkekeh, menjawab dengan suara rendah: "Aku hamil."

Novel Terkait

Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
5 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
4 tahun yang lalu
My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
4 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu