Love And Pain, Me And Her - Bab 125 Tidak Ada Kemudian

Bukan hanya tidak tahu, aku juga tidak banyak membantunya. Aku juga meminjam uang pada Robi sebanyak 12 juta.

Robi mendengarkan, dia tersenyum, lalu menepuk pundakku, berkata sambil tersenyum, "Ugie, belumkah kamu dengar? pengusaha yang bangkrut tetap lebih kaya dari pemulung. Sekalipun aku tidak punya uang, aku juga lebih kuat darimu Bagaimanapun, dibandingkan dengan situasi kamu yang sedih sampai tidak ingin hidup, aku termasuk apa? "

Robi masih menggunakan sikap sinisnya. Aku minum bir dalam diam, sambil merokok. Aku tahu mengapa Robi mengatakan itu, dia tidak ingin aku merasa bersalah.

Satu kaleng bir sudah habis diminum, aku membuka satu kaleng lagi. Setelah meneguk cukup banyak, bertanya lagi kepada Robi, “Sebenarnya dulu aku juga ingin bertanya padamu, kenapa kamu tidak pulang ke Beijing, mau tiggal di sini?”

Robi tertawa, dia melihatku, mengatakan dua kata, “Karena kamu!”

“Gay! Aku berkata serius denganmu!”

Robi mulai omong kosong lagi.

Melihat aku gelisah, dia menghela nafas dan berkata perlahan, "Karena aku jatuh cinta dengan kota ini!"

Aku tersenyum dingin, balas bertanya padanya, “Sebuah kota yang terbuat dari beton bertulang, dingin dan tidak memiliki rasa. Apa bagusnya?"

Dalam kegelapan, Robi tiba-tiba terdiam. Butuh beberapa saat sebelum dia bertanya kepadaku, "Ugie, belumkah kamu mendengarnya? Karena satu orang, jadi jatuh cinta pada sebuah kota"

Kata-kata Robi agak sedih. Hatiku sedikit terkejut. Dari kuliah sampai sekarang, belum pernah melihat Robi jatuh cinta. Otakku berbalik dan aku mulai mengingat gadis-gadis yang cukup akrab dengan Robi. Tapi setelah berpikir cukup lama, aku tidak kepikiran karena siapa, sehingga membuat Robi memilih untuk tinggal.

Dia biasanya tertawa terkikik, berpostur sinis. Tapi siapa yang sangka, didalam hatinya, ternyata dia adalah orang yang seperti itu.

Aku tidak tahan untuk bertanya, “Beritahu aku, siapa dia? Aku ingin tahu siapa yang punya daya tarik sebesar itu, sampai membuat pangeran Robi melepaskan kondisi superior kota Beijing, untuk datang bekerja di bar.”

Robi tersenyum getir, dia sedikit menggelengkan kepalanya, "Maaf, Ugie. Aku tidak mau mengatakannya!"

Aku tahu setiap orang ingin memiliki ruang pribadi mereka sendiri. Sama seperti aku tidak ingin memberi tahu mereka, aku sedang mengejar Isyana.

Tetapi aku masih bertanya, "Apakah kamu sudah menyatakan perasaanmu padanya?"

Robi menganggukkan kepala, “Pernah”

“Kemudian?”

Robi tersenyum getir, “Tidak ada kemudian!”

Dia berkata, dan tiba-tiba berbalik untuk menatapku, "Ugie, tahukah kamu? Sebenarnya, aku benar-benar iri padamu. Kamu dan Raisa memiliki kenangan yang baik. Tapi, aku? Bahkan kenangan itu pun tidak."

Meskipun aku tidak tahu siapa orang ini. Tapi aku tahu, dengan Robi berkata seperti ini. Itu membuktikan bahwa ini pasti hubungan tanpa hasil. Aku memberikan Robi saran, "Robi, sebaiknya kembali ke Beijing. Temukan seseorang dan mulai lagi"

Begitu aku selesai berbicara, Robi berdiri. Dia mengambil sebuah batu dan melemparkannya dengan keras ke danau. Suara batu yang tenggelam ke dalam air terdengar sangat jelas di malam yang sunyi itu.

“Hampir! Aku seharusnya segera pulang”

Robi berkata, dia mengambil sekaleng bir. Mengangkat kepalanya, minum dengan otaknya. Meskipun aku tidak mengerti arti dari kata-katanya, tetapi kali ini, aku tidak bertanya kepadanya. Aku tahu bahwa jika dia berkata demikian, pasti ada alasannya.

Aku tidak peduli lagi dengan hal ini. Aku mengubah topik pembicaraan, berkata kepada Robi, "Dua hari ini aku mendapatkan komisi. Tidak sedikit, lebih dari seratus ribu. Katakan kapan saja ketika kamu mau menggunakan uang, aku akan mengambilnya untukmu."

Robi tersenyum, dia menganggukkan kepala dengan semangat.

Kami berdua mulai minum dan mengobrol dengan santai. Tiba-tiba, ponselku berbunyi sms masuk. Aku segera mengeluarkan ponsel, aku tebak, seharusnya pesan dari Isyana. Benar saja, nama Isyana tampil di layar ponsel.

Aku mengerutkan kening dan memukul diriku dengan tangan sendiri. Jelas-jelas mala mini aku ingin berbicara dengan Isyana, tetapi lagi-lagi aku melupakan hal ini. Isyana memintaku untuk mengejarnya, tetapi dia sudah pergi selama dua hari, bahkan sampai pulang kerja, aku tidak mengirimkan sms.

Semakin aku berpikir, aku semakin membenci diriku. Aku memencet tombol buka sms, tertulis: “Mengabari kamu satu berita baik. Aku baru saja berjumpa dengan direktur pemasaran mereka, pembicaraan yang cukup baik. Seharusnya ada hasil. Kalau kamu, apa yang kamu kerjakan?”

Melihat makna diantara barisan kata-kata Isyana. Seharusnya mood dia sedang bagus, baru saja kembali ke hotel.

Jari-jariku seperti terbang, segera membalas, "Selamat ya, semoga kamu segera menandatangani proyek ini. Aku sedang di sekolah, minum bir dan mengobrol bersama dengan Robi."

Robi melihat aku sedang mengirim pesan, dia tidak menggangguku. Lanjut merokok dan minum bir sendirian. Tidak lama kemudian, Isyana membalasku lagi: "Kalian berdua benar-benar bisa memilih tempat, pergi ke kampus untuk minum bir. Apakah sedang mengenang masa muda kalian?"

Aku tertawa melihat sms. Segera membalas: “Bukan mengenang, tetapi memperingati. Memperingati masa muda kami yang hilang.”

Isyana membalas lagi: “Kamu lanjut memperingati saja, aku mau mandi. Kemudian makan sesuatu sedikit, seharian tidak makan, lapar sekali sampai mau mati rasanya!”

Aku tebak, Isyana sebelumnya tidak pernah bertemu dengan penanggung jawab pasar, pasti tidak ada selera makan. Kali ini akhirnya bertemu, suasana hatinya pasti lebih baik, selera makanpun muncul dengan sendirinya.

Aku membalasnya lagi: “Pergilah, makan yang banyak! Ketika kamu kembali, aku sendiri yang akan masak untukmu!”

Aku kira Isyana tidak membalas lagi. Tapi ketika baru saja meletakkan ponsel, Isyana membalas 4 kata, “Yang dikatakan, harus dilakukan!”

Aku tersenyum membalas dia, “Tenang saja! Menunggumu pulang.”

Sms telah selesai dikirim. Robi baru tersenyum memandangku dan berkata, “Pasti Presdir Mirani kalian yang cantik itu kan?”

Aku tidak menyembunyikan, menganggukkan kepala.

Robi masih berdiri. Dia menyesap birnya dan bertanya lagi, "Apakah ada game?"

Maksud dia adalah mungkinkah aku dan Isyana terus berkembang. Aku menggelengkan kepala, tidak menjawab.

Robi juga tidak lanjut bertanya. Malam ini, stelah kita berdua minum habis 10 kaleng lebih bir, baru pulang ke rumah masing-masing. Sebelum berpisah dengan Robi, dia secara khusus memberitahuku. Jangan mengatakan kondisinya kepada siapapun. Aku tahu, Robi adalah seseorang yang jaga image. Dia tidak suka orang lain melihat kesulitannya. Tanpa berpikir, aku langsung menyetujuinya.

Beberapa hari Isyana dalam perjalanan dinas. Akhirnya aku merasakan apa yang disebut satu hari serasa satu tahun. Terakhir kali ada perasaan seperti ini, adalah hari-hari setelah putus dengan Raisa. Waktu itu, aku rasa waktu berhenti, berjalan dengan sangat lambat. Dan yang paling aku takuti adalah hari mulai gelap. Begitu hari menjadi gelap, aku langsung merasa bahwa aku sepertinya ditinggalkan oleh seluruh dunia. Tidak minum alkohol, tidak dapat tidur sama sekali.

Dalam beberapa hari terakhir, aku telah berhubungan dengan Isyana melalui sms. Dari sisinya, Dia telah membuat kemajuan, pihak lain cukup puas dengan usulan Amori. Namun tidak ada kemajuan lebih lanjut.

Ketika aku bertanya padanya kapan dia akan kembali, dia berkata kepadaku bahwa dia tidak bisa tenang untuk sementara waktu.

Novel Terkait

My Cute Wife

My Cute Wife

Dessy
Percintaan
4 tahun yang lalu
Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Renita
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
4 tahun yang lalu
Pria Misteriusku

Pria Misteriusku

Lyly
Romantis
3 tahun yang lalu
Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Tiffany
Pernikahan
4 tahun yang lalu