Love And Pain, Me And Her - Bab 628 Sampai Jumpa Raisa

Pada waktu masa mudaku perlahan hilang, aku sudah tidak sedih lagi, bahkan sudah tidak lagi mempermasalahkan ketidaknormalan dari kehidupan ini. Karena aku tahu, kehidupan adalah seperti itu, selamanya tidak akan ada berubah hanya karena imajinasi kita.

Pada malam kedatangan Veni. Kondisi Raisa tiba-tiba memburuk. Pada pagi hari itu, ketika aku pergi, kondisi psikis Raisa sangat baik. Dia tidak hanya berbicara cukup panjang di telepon dengan Veni, dia juga mengobrol banyak hal denganku. Namun pada malam harinya, Raisa sudah setengah tersadar. Aku akhirnya mengerti, kondisinya pada pagi hari adalah waktu pinjaman.

Robi juga belum sampai. Paman dan Bibi Chen juga hari kedua baru sampai. Di depan tempat tidur ruang pasien ini hanya ada aku, Isyana dan Veni.

Aku berlutut di samping tempat tidur, memegang tangan Raisa yang dingin dengan erat, terus mengajaknya berbicara tanpa henti. Aku tidak ingin Raisa tertidur, aku takut jika dia tertidur, dia tidak akan bisa bangun kembali.

Raisa mungkin juga mengerti maksudku, dia berusaha membuka matanya. Suara Raisa semakin lama semakin kecil, namun dia terus memegang tanganku. Dengan matanya memandang kami bertiga. Dia dengan lemah bertanya "Ugie, dimana Robi? Bagaimana aku tidak melihat Robi?"

Air mata terus mengalir dari sudut mataku. Sambil menatap Raisa, aku dengan suara kecil menghiburnya "Raisa, Robi besok akan sampai. Dia menyuruhku untuk memberitahumu, kamu harus menunggunya datang. Kamu dengar kan?"

Aku tidak tahu apakah Raisa bisa mendengar dengan jelas perkataanku. Namun dia tersenyum. Sebuah senyuman yang puas. Dia kembali bertanya "Bagaimana dengan Sutan? Aku sudah lama tidak melihat Sutan, apakah dia sudah datang?"

Hatiku terasa sakit, aku segera menganggukan kepala dan berkata "Sutan juga akan datang, dia akan datang bersama dengan Robi keesokan hari."

Sudut bibir Raisa terangkat ke atas, dia berusaha tersenyum. Kemudian dia dengan suara lembut berkata "Suruh mereka cepat datang, supaya kita bisa pergi ke kelas bersama."

Setelah mengatakannya, Raisa berusaha menggerakan kepalanya. Aku tahu dia ingin melihatku. Aku langsung bangkit berdiri, memperlihatkan tubuhku di pandangan Raisa. Raisa dengan sekuat tenaga, mengulurkan tangannya yang gemetar, mengelus wajahku dengan perlahan. Dia menatapku dengan lemah dan berkata "Ugie, dimana ini? Aku tidak ingin disini, bawa aku ke sekolah ya?"

Air mataku terus mengalir. Setetes demi setetes jatuh di atas tempat tidurnya. Veni dan Isyana yang berada di sampingku juga sudah menangis dengan air mata yang mengalir deras.

Sambil memegang tangan Raisa, dengan putus harapan berkata "Raisa, ini adalah rumah, ini adalah rumah kita."

Perkataanku ini seakan membuat Raisa menjadi lebih sadar. Dia berusaha menganggukan kepala dan berkata "Oh ya, Ini rumah. Rumahku dan Ugie."

Raisa seakan memikirkan hal yang lain. Dia berusaha membuka matanya dengan suara kecil berkata "Isyana, dimana Isyana?"

Mendengar panggilan dari Raisa, Isyana langsung maju ke depan. Dia sambil menyeka air matanya, sambil berkata dengan lembut kepada Raisa "Raisa, aku ada disini, aku terus ada disini."

Raisa seakan menjadi lebih sadar. Dia menatap Isyana, sudut bibirnya sedikit bergetar. Kami semua tahu Raisa berusaha memberi kami senyuman. Namun kesakitannya membuatnya sulit untuk tersenyum.

Namun Raisa masih berusaha dan berkata "Isyana, Ugie, dia adalah orang yang baik. Cintailah dia dengan baik, ya?"

Isyana memegang tangan Raisa, air matanya terus mengalir. Namun dia menganggukan kepala dengan kuat "Raisa, aku mendengar kamu, semua sesuai apa yang kamu katakan."

Perkataan Isyana seakan membuat Raisa puas. Dia memegang tangan Isyana dan menganggukan kepala dengan perlahan.

Setelah selesai berbicara dengan Isyana, Raisa kembali melihatku. BIbirnya yang gemetar mengatakan kalimat yang tidak jelas "Ugie, bawa aku pergi, aku ingin melihat balkon."

Aku menganggukan kepala dengan diam. Bangkit berdiri menggendong Raisa dan meletakkannya di kursi roda. Badan Raisa yang lemas bersandar di kursi, dia berusaha membuka matanya. Aku tahu, di dalam pikiran Raisa saat ini dipenuhi ingatan yang pernah kita alami bersama. Karena balkon itu adalah tempat yang paling kita sering kunjungi di dalam rumah. Pikirannya dengan perlahan sudah mulai kacau, namun dia masih mengingat dan ingin melihat balkon itu.

Setelah sampai di balkon, aku meletakkan selimut di atas tubuh Raisa. Di luar jendela sudah dipenuhi oleh lampu dari rumah yang tidak terhitung. Di bahwa sinar lampu yang menyilaukan ini, membuat keseluruhan kota menjadi sangat sunyi dan tenang.

Aku menggenggam tangan Raisa, tangannya perlahan-lahan menjadi sangat dingin. Pandangannya terus memandang ke luar jendela. Setelah beberapa saat dia baru berkata dengan suara kecil "Bisa hidup benar-benar baik."

Perkataan Raisa ini membuat hatiku kembali hancur. Air mata terus mengalir dengan deras.

Mata Raisa sudah tidak bisa terbuka, namun dia masih berusaha berkata kepadaku "Ugie, foto."

Aku tahu. Raisa ingin melihat foto kami bersama sebelumnya di Biro Urusan Sipil. Aku segera kembali ke kamar dan mengambil foto itu dan kembali ke balkon.

Ketika aku ingin meletakan foto di tangan Raisa, dia berusaha mengangkatnya untuk memandangnya. Melihat aku dan dia di dalam foto, sudut bibit Raisa terangkat dan terpancar senyuman yang puas.

Selanjutnya, foto itu dengan perlahan terjatuh dari tangan Raisa dan tangan Raisa juga dengan tidak terkontrol jatuh ke bawah. Aku segera menaikkan kepala menatap Raisa, kepalanya sudah terjauh ke samping. Membawa nostalgia tidak terbatas dari dunia ini, matanya sedikit tertutup.

Kami bertiga seakan berteriak pada saat yang bersamaan "Raisa."

Sayangnya, Raisa tidak lagi bereaksi. Dia hanya berbaring miring seperti sedang tidur seperti ini.

Jika air mata bisa membangunkan seseorang. Aku percaya air mata kami bertiga sudah cukup untuk membuat Raisa menjadi orang yang paling sadar di dunia ini.

Raisa pergi dengan seperti itu. Dia pergi dengan sangat damai, namun meninggalkan kekhawatiran kepadaku. Dia pernah mengatakan kepadaku, kita akan bersama dan tidak terpisahkan selamanya. Namun dia justru pergi meninggalkanku dalam diam, pergi ke dunia yang jauh. Aku tidak tahu, apakah dia di dunia sana bisa seperti aku yang menunggu dengan diam, namun tidak mungkin bertemu lagi.

Setelah mendapat persetujuan dari orang tua Raisa. Aku membeli sebuah tanah kuburan di atas bukit di ibukota provinsi. Alasan memilih tempat ini adalah karena universitas kami searah dengan kuburan. Aku tahu Raisa merindukan universitas kami, masa muda kami. Kalau begitu aku akan membiarkannya tinggal disini, tidak perlu menaikkan pandangan pun sudah bisa melihat sekolah kami dan masa muda kami.

Pada hari pemakaman, kami pergi bersama ke atas bukit. Kami semua mengenakan kacamata hitam, tidak ada yang bisa melihat mata kami yang bengkak. Namun air mata masih terus mengalir ke bawah.

Novel Terkait

Menunggumu Kembali

Menunggumu Kembali

Novan
Menantu
5 tahun yang lalu
Unperfect Wedding

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
5 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
5 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
5 tahun yang lalu
Mr Huo’s Sweetpie

Mr Huo’s Sweetpie

Ellya
Aristocratic
4 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
4 tahun yang lalu
Takdir Raja Perang

Takdir Raja Perang

Brama aditio
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
Wanita Pengganti Idaman William

Wanita Pengganti Idaman William

Jeanne
Merayu Gadis
5 tahun yang lalu